Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Usai berpuasa Ramadan sebulan penuh, umat Islam diarahkan agar mengevaluasi diri, sampai sejauh mana ibadah itu dapat membentuk dirinya menjadi insan yang bertakwa. Puasa Ramadan seharusnya dapat mengubah sikap dan perilaku manusia muslim menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih produktif.
Amaliah pasca Ramadan, merupakan suatu indikator mengenai berhasil atau ti¬daknya pembinaan pribadi dalam ibadah puasa yang lalu. Bila ibadah itu memberikan dampak yang positif, tentunya segala kegia¬tan yang dilakukan dalam bulan Ramadan akan diikuti dan dibiasa¬kan dalam bulan-bulan berikutnya sampai Ramadhan yang akan da-tang. Amaliah pasca Ramadan hendaknya diisi dengan kebiasaan-kebiasaan yang diamalkan dalam bulan Ramadan sesuai dengan syariat Islam.
Pada malam-malam Ramadan, kita melaksanakan shalat Tarawih dan shalat Witir. Shalat seperti itu kita lakukan juga dalam bulan-bulan lain yang disebut dengan shalat Tahajjud dan shalat Witir. Mengerjakan shalat Tahajjud, utamanya dilakukan setelah lewat tengah malam dan telah tidur atau setelah masuk dua pertiga malam. Disebutkan dalam al-Qur’an: “Dan pada sebagian malam, shalat Tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”. (QS. al-Isra, 17:79).
Shalat Tahajjud merupakan shalat sunnah yang sangat istime¬wa, ia merupakan shalat sunnah yang syariatnya disebutkan dalam al-Qur’an, sebagaimana disebutkan di atas. Nabi Muhammad s.a.w. menjelaskan keutamaan shalat ini dalam hadisnya. Tatkala Nabi s.a.w. ditanya: “Apakah shalat yang paling utama selain shalat lima waktu?”. Nabi menjawab: “Shalat pada waktu tengah malam”… (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1983). Shalat Tahajjud, sebagaimana shalat Tarawih, ditutup juga dengan shalat Witir.
Shalat Witir sebagai penutup shalat Tahajjud, boleh dilaku¬kan dengan satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat atau lebih dari itu, asal rakaatnya ganjil. Rasul Muhammad s.a.w. bersabda: “Witir itu adalah hak, siapa yang suka mengerjakannya dengan lima rakaat maka kerjakanlah, siapa yang suka mengerjakannya dengan tiga rakaat maka kerjakanlah, siapa yang suka mengerjakannya dengan satu rakaat maka kerjakanlah,”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 1212 dan al-Nasa’i: 1692). Dalam hadis lain yang diriwayatkan ‘Aisyah r.a. disebutkan: “Nabi s.a.w. shalat sebe¬las rakaat di antara setelah shalat Isya sampai terbit fajar. Beliau memberi salam setiap dua rakaat (shalat Tahajjud) dan ditutup dengan satu rakaat (shalat Witir)…”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 5835 dan Muslim: 1216).
Dalam ibadah puasa, disyariatkan agar melakukan makan sahur yang dikerjakan kira-kira satu atau setengah jam sebelum Shubuh. Kegiatan ini membiasakan kita untuk bangun seperti waktu sahur tadi, meskipun di luar bulan Ramadhan. Hal itu hendaknya dipergu¬nakan untuk melaksanakan shalat Tahajjud dan shalat Witir, dilan¬jutkan dengan membaca doa dan beristighfar sebelum Shubuh. Waktu seperti itu merupakan saat yang baik (mustajab) untuk memohon pada Allah s.w.t. Dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Shubuh, sehingga shalat Shubuh di luar bulan Ramadan tidak pernah tertinggal.
Membaca al-Qur’an dan tadarrus merupakan kegiatan rutin yang kita kerjakan di bulan Ramadan. Pada bulan-bulan lain, hendaknya kebiasaan itu kita rutinkan dengan mendalami ajaran al-Qur’an dan memahami isinya, selain membacanya seperti yang sudah dilestarikan. Dengan kegiatan ini diharapkan, manusia muslim dapat memahami al-Qur’an dengan baik dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi setiap pribadi muslim, untuk meniti kehidupannya agar menca¬pai kesuksesan yang agung pada masa kini dan masa depan.
Kebiasaan bersedekah dan membantu fakir dan miskin dalam bulan Ramadan, hendaknya dilanjutkan juga dalam bulan-bulan lain. Dengan ibadah puasa dan kebiasaan bersedekah akan mening¬katkan solidaritas yang tinggi terhadap orang-orang fakir, miskin, anak-anak yatim, orang tua dan para jompo. Ajaran Islam sangat mementingkan hal ini, sebagaimana tercantum dalam berbagai ayat al-Qur’an seperti surat al-Ma’un dan surat-surat lainnya. Dalam surat al-Ma’un disebutkan bahwa orang-orang yang menga¬baikan orang-orang miskin dan menelantarkan anak-anak yatim digolongkan sebagai pendusta agama.
Di luar bulan Ramadan disyariatkan kepada kita agar melak¬sanakan puasa sunnah, sehingga ibadah itu rutin kita laksanakan dan menyatu dengan kehidupan kita. Di bulan Syawwal disyariatkan puasa sunnah enam hari, pada bulan lain disyariatkan puasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis serta puasa Ayyamul Baidh (puasa pada hari putih), yaitu puasa pada tanggal 13,14 dan 15 setiap bulan dalam tahun Hijriyah. Puasa Arafah pada bulan 9 Dzul¬hijjah, dan puasa-puasa sunnah lainnya. Amaliah pasca Ramadan pada dasarnya adalah pelestarian aktifitas Ramadan, yang dapat diterapkan pada bulan-bulan lain, sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syamrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)