Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Volume 1,5 Polemik tentang Tambang dan Lingkungan. Dari Ideologisasi Fiqh Lingkungan menuju Pencapaian Maslahah Liberatif
Tulisan kedua dari polemik konfrontasi dengan Mas Ulil ini sengaja saya beri judul 1,5 bukan Volume 2, sengaja saya beri judul demikian karena pada bagian ini dalam polemic menyangkal argumen dari beliau, saya hendak menunjukkan sangat mungkinnya fiqh sosial terutama fiqh lingkungan berkorespondensi dengan gagasan-gagasan dari perspektif teori kritis (kuasa asimetris, kritik ideologi, pertarungan sosial, relasi kepentingan, keadilan), sesuatu yang saya baca dari penjelasan Mas Ulil tidak nampak satu kalimat pun tertuang didalamnya (jadi tulisan ini adalah suplemen dari tulisan sebelumnya, untuk kemudian akan saya lanjutkan dalam bagian kedua yang kembali berpijak pada uraian sosial berbasis metode critical realis).
Sehingga dari perspektif ini melalui pertautan khasanah fiqh Islam yang sangat kaya dengan terobosan-terobosan dalam kajian sosial kritis kalangan alim ulama (saya sendiri adalah awam agama atau Muslim abangan KTP jadi tidak pantas meneruskan hanya memberi sumbangan 100 rupiah dalam disiplin ilmu ini), dapat merintis pijakan fiqh sosial yang tidak hanya dapat menjawab persoalan sosial terkini tapi juga memiliki dimensi kritis terkait dengan bekerjanya dunia yang tidak pernah lepas dari pertarungan sosial dalam pusaran kepentingan, kekuasaan maupun politik. Sesuatu yang apabila diabaikan dalam pembahasan akan menjadi penghalang bagi terciptanya kemaslahatan bersama (maslahah-mursalah).
Sebelumnya saya berterimakasih pada almarhum Guru Saya -seorang Kyai Kampung-Kyainya mahasiswa-KH Muhammad Dhiyauddin Kushwandhi Allahu Yarham yang mengajarkan saya akan pandangan kritisnya berbasis kajian-kajian agama saat saya mahasiswa sekuler ini sedikit-sedikit menguping dalam kajian beliau yang sangat mencerahkan. Beliaulah yang pertama kali mengajarkan pandangan kritis sebelum saya mengenal kajian-kajian yang berpijak dari teori kritis. Semoga amal jariyah ilmu yang kritis bermanfaat selalu mengalir dan menyinari tempat peristirahatannya dalam lindungan Allah SWT.
Tentang Fiqh Maslahah Ibn Ashur
Kembali kepada uraian dari Mas Ulil dalam tulisannya edisi pertama, khususnya ketika membahas tentang fiqh lingkungan, kita menyaksikan uraian problem sosial tapi kita tidak menemukan konteks ekonomi-politik didalamnya. Tidak ada penjelasan terkait dengan pertambangan tentang dimana posisi negara, dimana posisi bisnis pertambangan, dimana posisi dari relasi bisnis-politik, dimana dunia bekerja dalam tatanan kapitalisme?
Dimanakah letak relasi kepentingan-kekuasaan dan mekanisme politiknya bekerja didalamnya. Benarkah hal-hal tersebut memang absen dalam pembahasan fiqh? Apakah ulama maupun intelektual Islam tidak pernah memproblematisir hal-hal tersebut dalam pandangannya tentang Islam dan juga fiqh, atau memformulasikannya dalam merumuskan fiqh sosial?
Pertanyaan-pertanyaan ini langsung saya temukan jawaban pastinya begitu cepat, saat saya membaca ulang kitab babon dari karya ulama Ibn Ashur berjudul Treatise on Maqasid al-Shariah sebuah kitab yang pasti sangat akrab bagi kalangan ulama yang mengabarkan maqasid al-shariah (termasuk didalamnya Mas Ulil). Ibn Ashur (1879-1973) adalah ulama fiqh di dunia modern asal Tunisia bermazhab Maliki. Beliau dikenang sebagai ulama yang menampilkan kembali maqasid shariah dengan thesisnya bahwa bahasa sifatnya ambigu, maka seluruh medan sosial yang mengelilingi kata tersebut harus dipertimbangkan, maka disini suatu makna maupun argument fiqh juga harus mempertimbangkan konteks.
Saat saya membuka Bab 12 dari karya faqih tersebut terutama dalam bab 12 berjudul The General Objectives of Islamic Legislation (Tujuan Utama dari Shariah Islam), Ibn Ashur langsung membawa kita pada ayat-ayat Allah dalam dialog antara Nabi Musa dengan Nabi Harun yaitu QS Al-A’raf ayat 142 yang bunyinya: Wa wâ‘adnâ mûsâ tsalâtsîna lailataw wa atmamnâhâ bi‘asyrin fa tamma mîqâtu rabbihî arba‘îna lailah, wa qâla mûsâ li’akhîhi hârûnakhlufnî fî qaumî wa ashliḫ wa lâ tattabi‘ sabîlal-mufsidîn.
(Kami telah menjanjikan Musa (untuk memberikan kitab Taurat setelah bermunajat selama) tiga puluh malam. Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka, lengkaplah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Musa berkata kepada saudaranya, (yaitu) Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, perbaikilah (dirimu dan kaummu), dan janganlah engkau mengikuti jalan orang-orang yang berbuat kerusakan.”).
Serta disambung dengan ayat Allah lainnya yaitu Surah Al-Qashash ayat 4 yang bunyinya: inna fir‘auna ‘alâ fil-ardli wa ja‘ala ahlahâ syiya‘ay yastadl‘ifu thâ’ifatam min-hum yudzabbiḫu abnâ’ahum wa yastaḫyî nisâ’ahum, innahû kâna minal-mufsidîn. (Sesungguhnya Firʻaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah. Dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil). Dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuannya. Sesungguhnya dia (Firʻaun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan).
Dalam pembahasan terkait dengan dua ayat Allah tersebut sang fuqaha Ibn Ashur menegaskan secara terang bahwa kualitas karakter seorang Fir’aun sebagai sumber dari segala kerusakan (korupsi) dengan kesewenang-wenangannya yang berada pada jalan yang salah. Sementara Musa hendak membawa kaumnya Bani Israel untuk memisahkan dari korupsi atau kerusakan yang dibuat oleh Fir’aun. Dari sini lanjut Ibn Ashur bahwa kerusakan atau korupsi dalam kehidupan manusia tidak identik dengan ketidakpercayaan atau kufr (dari Fir’aun) namun lebih mengarah pada aktivitas yang buruk di bumi manusia.
Dalam pembahasan Ibn Ashur ini kita bisa melihat potensi yang sangat besar bagaimana ilmu fiqh dalam tradisi Islam bisa berdialog secara mendalam dengan tradisi mazhab kritis yang memproblematisir bagaimana konteks relasi kuasa, kepentingan dan tindakan koruptif menjadi penghambat atau sesuatu yang harus dipertimbangkan untuk dibincang bagi terciptanya kemaslahatan.
Memang beliau tidak menguraikan problem keburukan dalam relasi kuasa yang dalam term khasanah ilmu sosial modern disebut dengan istilah struktural dalam pembahasan fiqhnya. Kekuasaan dalam perspektif Ibn Ashur merujuk pada figur Sang Fir’aun, pemimpin (persona) belum masuk pada pembahasan relasi sosial, namun dari situ kita dapat mengambil kesimpulan bahwa arah dari kekuasaan akan sangat menentukan bagaimana kehidupan manusia di muka bumi menuju jalan keburukan atau kemaslahatan.
Perumusan kemaslahatan umat manusia dalam hikmah Ibn Ashur tidak bisa absen dari jalan politik, posisi otoritas dan segenap mekanisme kepentingan dan kekuasaan bekerja di muka bumi. Demikian pula dalam pesan Nabi Musa kepada Nabi Harun terkait pesan kepemimpinan politik yang menurut Nabi Musa sangat fundamental untuk membawa ummat menjauh dari jalan kerusakan dan menuju jalan kemaslahatan.
Uraian yang lebih radikal lagi dapat kita temukan misalnya dari Sang Ulama tanpa Sorban asal Iran Ali Shariati yang begitu dicintai oleh para sarjana kiri mulai dari Jean Paul Sartre yang menyatakan kalau aku beragama, maka aku akan memilih jalan agama dari Ali Shariati, Asef Bayat yang menulis dengan kepedihan luar biasa atas wafatnya Ali Shariati, maupun John T Sidel yang dalam salah satu diskusinya di youtube menegaskan kalau saja Ali Shariati masih hidup pada saat Revolusi Iran, mungkin kita akan menyaksikan persatuan politik antara kaum kiri dan Islam.
Ali Shariati memandang dalam pertarungan sosial antara pihak Fir’aun dan ummat Nabi Musa perjuangan untuk mencapai kemaslahatan dan menutup jalan kerusakan di bingkai dalam pertarungan antara kekuatan sosial yang dia sebut sebagai Mustakbirin vis a vis Mustadh’afin dalam penghampiran yang berdimensi kental atas pertarungan berbasis relasi sosial. Bukan saja Fir’aun sebagai figur penindas namun juga Bala’am (intelektual/agamawan yang korup) dan Qorun (kaum pemilik modal) yang rangkaian benturan antara aliansi mereka dan aliansi dari ummat Nabi Musa menghadirkan benturan kepentingan, benturan kuasa dan benturan politik untuk memajukan kemaslahatan maupun menghindari kerusakan di muka bumi.
Dalam uraian tafsir Qur’an Ali Shariati kita dapat menemukan bahwa relasi sosial antara kuasa politik, kuasa agama/ilmu dan kuasa kapital adalah tembok besar yang harus ditembus oleh Musa dan pengikutnya untuk mencapai kebahagiaan dan meninggalkan kehidupan yang merusak bumi. Sesuatu yang dijelaskan oleh Ali Shariati bahwa perjalanan Nabi Musa as dan Bani Israil melintasi Laut Merah adalah perjalanan terjal untuk menghadapi tantangan struktural untuk mencapai hidup yang lebih bermartabat.
Dalam dimensi perjumpaan antara fiqh mencapai kemaslahatan maupun tradisi sosial kritis kita menyaksikan fiqh juga memiliki dimensi yang sangat kaya untuk dikembangkan sesuatu yang selama ini absen dibahas oleh perspektif agamawan mainstream padahal begitu nyata menghambat pencapaian kesejahteraan bumi (elephant in the room) bagaimana dunia bekerja tidak bisa terlepas dari kuasa, kepentingan dan politik.
Kembali pada penjelasan Ibn Ashur dengan menyitir ayat Allah Surah Al-A’raf ayat 85 tentang Nubuwah dari Nabi Shuayb kepada warga penduduk Madyan: Wa ilâ madyana akhâhum syu‘aibâ, qâla yâ qaumi‘budullâha mâ lakum min ilâhin ghairuh, qad jâ’atkum bayyinatum mir rabbikum fa auful-kaila wal mîzâna wa lâ tabkhasun-nâsa asy-yâ’ahum wa lâ tufsidû fil-ardli ba‘da ishlâḫihâ, dzâlikum khairul lakum ing kuntum mu’minîn
(Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman.”).
Ternyata Ibn Ashur, Sang Faqih besar yang darinya dirumuskan kajian maqhasid shariah menguraikan banyak sekali untaian ayat Al-Qur’an dalam perumusan yang menegaskan tujuan dari syariah yang berpijak pada kemaslahatan manusia dan bumi, tidak terpisah bagaimana dengan corak kekuasaan bekerja, dan dengan demikian bagaimana metode pencapaian kesejahteraan maupun kebahagiaan ummat manusia terhubung dengannya.
Bahkan dalam kisah Nabi Shuayb dengan rakyat Madyan yang beliau sitir dari Qur’an, ditegaskan dimensi fundamental politik liberasi tentang pentingnya keadilan, pemenuhan hak-hak dari rakyat yang berkontradiksi dengan kerusakan di muka bumi yang menjadi tanda dari keberimanan suatu kelompok sosial (ummah) adalah unsur yang tak dapat dilepaskan dalam pencarian atas kemaslahatan di muka bumi.
Apabila kita maju pada zaman Indonesia kontemporer terkait dengan penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal oleh NU (sesuatu yang disebutkan oleh Mas Ulil dalam tulisan awalnya), kita juga dapat melihat kearifan dari Gus Dur yang menimbang pentingnya pertimbangan politik dan kekuasaan. Dimana kita masih ingat bahwa Gus Dur menegaskan bahwa dihadapan penguasa yang lalim, yang kerapkali menggunakan Pancasila untuk melegitimasi kekuasaannya, maka kita lakukan counter-hegemony dengan mengakui dan menempatkan Pancasila sebagai kekuatan civil society untuk mengembalikan kuasa dan hak-hak rakyat.
Kritik Ideologi Fiqh Lingkungan Ulil
Selanjutnya apakah urgensitas dari uraian fiqh maslahah Ibn Ashur, dimana dimensi politik arah dan mekanisme kekuasaan bekerja pentingnya keadilan dan hak-hak rakyat untuk mencapai maslahah dan menolak mudharat yang terang dalam ayat-ayat Al-Qur’an dikemukakan dalam dalam polemik ini? Disini kita bisa menyaksikan bahwa dalam parameter yang dikemukakan oleh sang perumus tradisi Maqhasid Shariah sendiri bahwa metode untuk menjawab suatu persoalan sosial yang hadir dihadapan kita, maka konteks sosial-politik maupun ekonomi-politik tidak boleh diabaikan dalam uraian-uraian ushul fiqh yang hendak digunakan ketika menjawab masalah tersebut.
Dalam konteks fiqh lingkungan, penting mengelaborasi pertautan antara tambang dan lingkungan bagaimana kekuasaan selama ini bekerja, struktur kapitalisme dalam pertimbangan antar profit dan interseksi yang saling mempengaruhi antara aktivitas ekonomi-politik, kemaslahatan dan kerusakan yang terhubung dengan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dalam pembahasan tambang dan lingkungan sebagai bagian dari arena kekuasaan.
Serta tentunya temuan sains mengabarkan kepada kita apakah bumi ini berjalan pada kemaslahatan dan kerusakan yang sangat terkait dengan bagaimana aktivitas sosial, aktivitas ekonomi, maupun aktivitas politik bekerja harus ditaruh diatas meja perdebatan dan musyawarah saat membahas fiqh lingkungan.
Mengapa pembahasan tentang dimensi soal konstelasi kekuasaan sangat penting untuk dikemukakan dalam pembahasan fiqh?
Apa yang hilang dalam ulasan fqh apabila arah gerak bekerjanya politik dan kekuasaan juga sensitivitas atas benturan berbagai kepentingan tidak dikemukakan dalam elaborasi soal fiqh, sehingga fuqoha Ibn Ashur sendiri menyitir beragam ayat Allah tentang misi politik para nabi kontras dengan corak merusak kepemimpinan musuh-musuhnya berlembar-lembar dalam kitabnya sebelum masuk pada ulasan soal tujuan dari penerapan shariah?
Sebab apabila semua hal tersebut tidak dikemukakan maka setiap uraian pembahasan fiqh sosial, akan terjebak menjadi ulasan ortodoksi realism. Uraian-uraian tersebut gagal membahas realitas, namun hanya menjadi penjelasan realisme yang dibatasi oleh pagar-pagar pembatas, sehingga pembahasan terhadap suatu persoalan yang sejalan dengan apa yang oleh narasi resmi dipandang sebagai suatu realitas, untuk membatasi rakyat memahami bagaimana realitas yang konkret kekuasaan kerap membentuknya, yang bertentangan dengan aspirasi dan kebutuhannya.
Disinilah maka pembahasan soal fiqh terjebak menjadi ideologisasi fiqh karena sebelumnya telah menetapkan asumsi, parameter dan bahasa yang membentuk, membatasi dalam rangka menginformasikan realitas pada rakyat. Dalam tradisi teori kritis disebutkan argumen apolitis terhadap suatu persoalan sosial yang wataknya politis akan membuat segenap alternatif jawaban terhadap problem yang kontras dengan kehendak kuasa dominan tidak terbayangkan, dan rakyat tidak akan pernah membayangkan hal tersebut akan terjadi.
Itulah mengapa sadar atau tanpa disadari ketika fiqh lingkungan ala Mas Ulil menguraikan setiap dalil demi dalil dan maslahat dan keburukan terhadapnya, uraian tersebut mengabaikan bagaimana konfigurasi kekuasaan dan bagaimana mekanisme ekonomi-politik membentuknya tak jarang menghasilkan perampasan tanah, pengorbanan nasib dan hak-hak rakyat dan kehancuran bumi. Fiqh lingkungan disini tidak sedang membahas realitas tambang dan lingkungan, tapi menjadi ideologisasi berbasis ortodoksi realisme atas realitas itu sendiri. Fiqh pertambangan gagal menjadi analisa konkret terhadap kondisi konkret terkait dengan persoalan tambang dan lingkungan!
Tanpa masuk dalam dimensi political, maka pembahasan tentang fiqh lingkungan tidak hanya bersifat cherry-picking menggunakan argumen, data maupun metafor yang membenarkan pandangannya, namun akan terjebak dalam sikap ideologis untuk membenarkan suatu corak kekuasaan yang membawa kepada keburukan bumi dan kemanusiaan atas nama penjelasan fiqh! Sayangnya itulah yang kita dapatkan dari uraian Mas Ulil tentang fiqh Lingkungan, atau saya sebut sebagai ideologisasi fiqh lingkungan!
Mengapa saya berani menegaskan pandangan diatas, berlebihankah saya dengan pandangan tersebut? Saya serahkan kepada sidang pembaca untuk menilainya. Saya hendak membawa tulisan ini lebih mendalam, kita bicara tentang ideologi dan ideologisasi. Tradisi intelektual teori kritis misalnya semenjak Mazhab Frankfurt generasi pertama Walter Benjamin, Max Horkheimer, Theodore Adorno berkecimpung dalam riset kritik ideologi untuk menemukan apakah suatu pandangan intelektual maupun riset ilmiah memiliki tendensi ideologi didalamnya.
Ajay Singh Chaudhary (2024;25) menggunakan metode mereka untuk menemukan tendensi ideologis dari argumen climate skeptic atau climate denial dengan menunjukkan pertanyaan mulai dari kapan, bagaimana dan mengapa suatu argumen dibangun?; dimana kriteria dari suatu penelitian didapatkan?; bagaimana basis dan peran posisi pengetahuan dalan produksi ekonomi maupun reproduksi sosial-ekonomi bekerja?; mengapa suatu pertanyaan maupun pandangan dan asumsi dikemukakan sementara bukan yang lainnya? Dan corak kekuasaan seperti apakah yang dilayani dari proses produksi dan reproduksi pengetahuan bekerja?
Dari metode ilmu sosial kritis inilah kita bisa menilai tendensi ideologi dari corak pengetahuan yang sedang dikerjakan oleh Mas Ulil dalam opininya. Mari kita membongkarnya dari pengetahuan fiqh lingkungan yang dipakai oleh Mas Ulil. Dalam uraian Mas Ulil tentang fiqh sosial-lingkungan beliau hanya menjelaskan bahwa fiqh maslahat memiliki dua kaidah yaitu: (1) dalil al-istishab, yakni kebolehan segala sesuatu sebagai hukum asal; dan (2) kemaslahatan (al-maslahah al-mursalah). Tentu saja bisa ditambahkan dalil atau pertimbangan lain sebagai pendukung (tidak diuraikan dalil-dalil lain yang mendukungnya).
Mas Ulil tidak menempatkan kontradiksi para Nabi-Nabi Allah dengan corak kekuasaan yang merusak sebagai konteks utama dari perumusan dalil-dalil tersebut. Sesuatu yang begitu terang dan jernih dikemukakan oleh Ibn Ashur sejak awal dalam perumusan tujuan dari syariah atau maqhasid shariah (saya jadi ingat lirik lagu dari Didi Kempot baca tulisan Mas Ulil, lali opo pancen ngelali mas? Yen eling mbok enggal mbali, just kidding Mas Ulil guyon hehehe).
Artinya Mas Ulil tidak membincangkan bagaimana sejak masa kolonialisme-kapitalisme mutakhir bahwa operasi pertambangan adalah bagian tak berkesudahan dari proses akumulasi kekayaan melalui proses penjarahan dengan menghancurkan ruang sosial dan merubahnya sebagai ruang ekonomi. Wilayah yang tidak saja bekerja melalui kuasa ekonomi namun juga kuasa politik. (Sehubungan dengan kerangka ilmu pengetahuan yang digunakan, saya masih menunggu seri kedua dari artikel Mas Ulil).
Selanjutnya ada detail yang penting dan perlu dipertimbangkan, ketika Mas Ulil melupakan variabel relasi dan mekanisme kekuasaan, kepentingan dan politik dalam uraian fiqhnya, sementara beliau menafsirkan pertimbangan mashlahat-mafsadat dengan harm-benefit, saya teringat dengan logika cost and benefit. Suatu penjelasan dalam ortodoksi makroekonomi yang menekankan tentang keuntungan maupun biaya yang dibangun dalam benteng asumsi bahwa kalkulasi ekonomi harus mengabaikan problem kelangkaan sumber daya (resource) karena bekerjanya mekanisme pasar dan perkembangan tekhnologi manusia akan menyelesaikan problem tersebut dengan penemuan sumber daya lain. Disini kita berpikir dimana fakta temuan saintifik bahwa saat ini planet kita telah melampaui ketahanannya untuk menyesuaikan diri dengan bagaimana dunia bekerja dalam tatanan kapitalisme?
Selanjutnya mengapa Mas Ulil mengabaikan dalil fiqh lainnya ketika sebelumnya dia menambahkan ada dalil lain selain dua dalil yang telah diuraikan sebelumnya? Mengapa beliau tidak mengemukakan dalil fiqh dari mazhabnya Imam Malik, Imam Hambali dan Imam Syafi’i yakni dalil Saddudz Dzari’ah bahwa sesuatu yang mubah (boleh) bisa menjadi haram untuk menutup kerusakan yang akan mungkin terjadi.
Contoh ilustrasinya apabila kita hendak makan di restoran Padang, apabila kita memesan Nasi Padang dengan rendang daging tambah paru dan kikil maka semua itu halal dan mubah, lalu bagaimana kalau pemesannya orang yang sedang mengalami komplikasi asam urat, darah tinggi dan diabetes? Menjadi bolehkah makan makanan tersebut? Ilustrasi diatas saya pikir tidak berlebihan apabila dalam pembahasan volume sebelumnya ternyata daya tahan bumi telah melewati batas-batas daya tahannya dihadapan ekspansi kapitalisme pertambangan.
Disini kita kembali pada bagaimana metode ilmu sosial kritis dalam melakukan investigasi terhadap suatu pandangan fiqh yang dirumuskan oleh Mas Ulil. Menuju pada pertanyaan selanjutnya terkait pertanyaan mulai dari kapan, bagaimana dan mengapa suatu argumen dibangun?; dimana kriteria dari suatu penelitian didapatkan?; bagaimana basis dan peran posisi pengetahuan dalan produksi ekonomi maupun reproduksi sosial-ekonomi bekerja?; serta corak kekuasaan apakah yang sedang dilayani. Kita akan membahasnya pada volume kedua dari polemik ini. Wassalam, Merdeka!