Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Pada 6-7 Oktober 2017 silam, Teater Cahaya Universitas Muhammadiyah Tangerang menggelar ‘Konser Turbulensi’ di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta. Yang menarik dari konser itu adalah salah-satu pentasnya yang bertajuk ‘Muharram di Titik Utopia’ yang merupakan pemaknaan puisinya Dr. Away Enawar yang juga Ketua Seni Budaya Muhammadiyah Banten dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) di mana beliau sendiri yang menggawangi kelompok teater itu. Konser itu, ternyata, tak semata menghadirkan muatan kesenian semata, tapi juga renungan keagamaan dan kebangsaan kita.
Upaya metaforis dan sindirian puisi itu rupa-rupanya, salah-satunya, hendak menegur kita tentang etos Muharram yang sepertinya belum sanggup diwujudkan secara utuh dan total oleh kita sebagai ummat Islam dan sebagai anak-anak bangsa ini – di tanah dan di sudut bumi di mana kita hidup dan berada. Haruslah kita akui, kita masih berada dalam jazirah-jazirah keterpurukan dan terdominasi oleh Negara-negara yang berusaha mendapatkan keuntungan dari keberadaan kita, terutama Negara-negara yang terlebih dulu maju dan ‘menginginkan’ kita hanya sebagai pengekspor bahan mentah saja. Terhegemoni dari ekonomi hingga politik.
Di sisi lain, kita juga prihatin dengan masih adanya gesekan dan konflik sektarian di internal ummat Islam, yang dapat menghambat usaha untuk mencapai kemajuan bersama. Padahal, konflik sektarian itu hanya akan menguras energi, waktu dan pikiran kita untuk sesuatu yang tidak produktif atau kontra produktif. Contohnya upaya membenturkan Sunni dan Syiah di saat perwakilan ulama muktabar dari seluruh Negara muslim menetapkan di Amman, Jordania bahwa keduanya adalah dua mazhab besar Islam.
Selama ini, kita mungkin memahami turbulensi hanya terjadi di pesawat udara. Namun turbulensi juga sesungguhnya terjadi dalam kehidupan keseharian kita, terutama berkenaan dengan ‘kepandiran’ atau ‘banalitas’ praktik atau prilaku politik kita yang melanggengkan kebodohan dan ‘menghalalkan’ cara-cara yang tidak patut dan tidak pantas hingga menyebabkan gesekan bahkan guncangan yang juga tidak produktif, dan malah semakin mengekalkan kebodohan kita, dan ujung-ujungnya menghambat kemajuan pula.
Semangat Muharram, yang sejatinya adalah semangat hijrah menuju perbaikan dan kemajuan, sudah semestinya tak hanya dimaknai dan dipraktikkan sekedar seremonial belaka. Begitu pun bagi muslim Syiah yang memperingati Muharram, yang puncaknya adalah peringatan kesyahidan Sayidina Husain bin Sayidina Ali di Karbala pada 10 Muharram (Asyura) pun pastilah bisa melakukannya dengan arif dan tetap menjaga komunikasi dengan sesama muslim dari kalangan Sunni, sehingga nantinya sama-sama bisa menghadirkan kesejukan.
Saat ini kita lebih membutuhkan ukhuwah atau persatuan demi kekuatan dan keberdayaan kita bersama, ketimbang ‘kepongahan sektarian’. Kita pun sudah tentu membutuhkan taqrib atau dialog setara antar mazhab dalam banyak forum dan kesempatan, dan berusaha mempertemukan dan merekatkan identitas kita sebagai warga Negara Indonesia sekaligus sebagai sama-sama ummatnya Muhammad. Islam mengharamkan kezaliman dan aniaya, mengharamkan persekusi, apalagi terhadap sesama muslim hanya karena berbeda mazhab.
Sesungguhnya, peristiwa Asyura yang diperingati saudara-saudara kita muslim Syiah, juga bahan refleksi dan renungan kita bersama. Seperti pelajaran untuk menjadi manusia-manusia merdeka yang bisa ‘melawan’ upaya hegemoni atau penindasan oleh keserakahan dan ketidakadilan yang dipraktikkan siapa saja. Kaum mana saja atau kekuatan apa pun dan kekuatan dari mana pun yang bertentangan dengan fitrah kita yang diciptakan dan dilahirkan merdeka oleh Yang Maha Kuasa. Muharram sudah seyogyanya menjadi bulan pembuka ‘pintu tahun’ yang produktif dan menjadi langkah menuju kemajuan, bukan kemunduran.
Seperti kita tahu, dalam sejarah nasional bangsa Indonesia, Muhammadiyah hadir dan berdiri dengan spirit melakukan perubahan dan perbaikan sosial-kemasyarakatan yang terinspirasi Surah Al-Ma’un Al-Quran. Menciptakan kultur dan gerak kebangkitan dan keberdayaan ummat agar tidak terjerembab dalam kemiskinan dan keterbelakangan mental dan spiritual. Dalam pemaknaan kekinian, gerak perubahan dan perbaikan menuju kemajuan bangsa itu juga dicapai melalui pencerahan dan penguasaan kapasitas keilmuan, keberdayaan dalam ranah sains dan pengetahuan. Saat ini ini, dalam banyak hal, Muhammadiyah pun sudah bersinergi dengan Nahdhatul Ulama (NU).
Secara intelektual dan kebudayaan, ikhtiar mencapai kemajuan itu ditempuh dengan transmisi dan komunikasi dalam ranah kebudayaan dan ilmu pengetahuan bersama publik (masyarakat) sebagai upaya menyebarkan literasi dan menggairahkan kecintaan kita kepada khazanah ilmu dan pengetahuan, khususnya khazanah kebudayaan yang merupakan kekayaan khazanah dan jati-diri bangsa kita. Sehingga kita pun bisa sama-sama melakukan dakwah kultural yang mendidik dan produktif. Dalam konteks Muhammadiyah Banten, diantaranya adalah sebagai upaya silaturahmi intelektual Muhammadiyah Banten dengan publik demi sama-sama mendapatkan inspirasi berkelanjutan bagi cita-cita dan spirit perbaikan dan kemajuan bersama.
Sebagai sesama anak bangsa dan warga Negara Indonesia, baik Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama sesungguhnya sudah sama-sama menegaskan ke-Islam-an dalam konteks ke-Indonesia-an. Sebagai muslim kita tidak boleh tercerabut dari akar di mana kita tumbuh dan berada. Dan akar kebangsaan kita sudah tentu Indonesia, dan karena itu tanggungjawab kebangsaan kita sudah tentu sejalan dengan nilai-nilai dan spirit ke-Islam-an kita yang sudah seyogyanya memberikan kiprah dan kontribusi kepada masyarakat dan bangsa kita.
Sulaiman Djaya, Pengurus Wilayah Muhammadiyah Banten