Jakarta, Liputan9.id – Ilmu akidah merupakan salah satu dari sekian banyak ilmu yang wajib dikaji oleh seorang muslim. Ilmu akidah telah mengalami kodifikasi semenjak masa tabi’ tabi’in atau sekitar abad ke-3 H.
Salah satu ulama yang berjasa dalam proses kodifikasi ilmu akidah adalah Imam Abul Hasan Al-Asyari (w. 324), yang pada masanya banyak bermunculan kelompok-kelompok teologis yang memiliki paham menyimpang dari apa yang telah diajarkan oleh Nabi saw. serta para sahabatnya.
Pemahaman Imam al-Asyari kemudian berkembang dan menjadi mazhab akidah yang dianut oleh mayoritas umat Islam dari segala kalangan. Hal ini disebabkan Imam Asyari dan para pengikutnya berhasil memadukan logika akal dengan nas syariat, di samping memiliki pemahaman yang inṣāf dan tawasuṭ.
Pondok pesantren di Indonesia menjadi salah satu pusat kajian kitab bergenre akidah Asyari, kitab-kitab akidah Asyariyah menjadi muatan wajib yang harus dikaji oleh setiap santri, sebut saja Umm al-Barāhin, salah satu kitab akidah Asyariyah yang banyak dikaji di pondok pesantren yang ada di Indonesia. Kitab yang berukuran kecil, tetapi memiliki kedudukan istimewa di tengah masyarakat Indonesia karena merangkum pokok-pokok pemikiran Imam Al-Asyari sehingga menjadi pegangan wajib bagi para santri.
Jika kita tarik ke belakang, di Semenanjung al-Maghrīb al-Aqshā (Maroko, Mauritania, al-Jazair, dan Tunisia) atau yang kita kenal sekarang dengan sebutan Maroko, tempat kitab ini lahir, maka akan kita ketahui mengapa dan bagaimana kedudukan kitab ini bisa mendominasi tradisi keilmuan, khususnya dalam bidang akidah selama berabad-abad lamanya.
Sebelum masuk pada abad ke-9 H/15 M, ada sejumlah matan kitab yang mendominasi di tengah-tengah kajian keilmuan masyarakat Maghrib, antara lain Aqidah ibn Abi Zaid al-Qairawani (w. 386 H/996 M) yang menjadi mukadimah kitab Risalah al-Qairawaniyah, kemudian kitab al-Mursyidah fi al-Aqaid milik Syekh Muhammad bin Tumrat (w. 524 H/1129 M), lalu ada al-Aqidah al-Burhaniah karangan Syekh Abu Amru Usman bin Abdullah as-Sulaliji (w. 574 H/ 1178 M), dan terakhir kitab Nur al-Qulub fi Marifah Allam al-Ghuyub karangan Syekh Abu Ali al-Hasan bin al-Majiri al-Asafi (w. 668 H/ 1269 M).
Hanya saja dominasi ini kemudian tergantikan oleh datangnya sebuah mahakarya kitab akidah yang berjudul Umm al-Barāhīn, yang dikenal juga dengan nama al-‘Aqīdah as-Ṣughrā, as-Ṣughrā, atau Ṣughrā as-Sanūsī, sebuah kitab yang lahir dari tangan Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as-Sanusi (w. 895 H/ 1489 M).
Kedudukan kitab ini sebagai mercusuar keilmuan di Semenanjung Maghrib diperoleh karena sebab-sebab khusus, yang menjadi pembeda dari kitab bergenre akidah lainnya, di antaranya kitab ini berhasil memuat inti sari dari perkataan Imam al-Asyari yang membuatnya diterima oleh masyarakat luas dengan banyaknya kajian serta orang yang menghafalnya, hingga tak perlu lagi untuk mengkaji kitab-kitab babon ilmu kalam (teologi) lainnya. Sebagaimana ungkapan Imam as-Sanusi:
تزهو بمحاسنها على كبار الدواوين – لأنها – مع اختصارها ففيها من تحقيق البراهين، ما يجلو عن النفوس الميسَّرة لفهم الحق وقبوله من أهله كل كرب
Akidah Umm al-Barāhīn mengungguli kitab-kitab babon dengan apa yang terkandung di dalamnya, karena walaupun dikemas dengan ringkas, di dalamnya terdapat bukti-bukti yang kuat yang dapat menguraikan segala kerancuan yang ada dalam jiwa untuk dapat mengenal Allah Swt. dengan sebenar-benarnya.
Maka tak mengherankan lagi jika masyarakat Maghrib menerima dengan sukacita atas hadirnya kitab ini, baik dengan cara menghafal, memahami, mengajar, menyalin, serta memberikan pujian dan sanjungan, seperti apa yang diungkapkan oleh Abu Abdillah Muhammad bin Umar al-Malali at-Tilimsani (w. 897 H/1492 M) salah seorang murid Imam as-Sanusi:
من أجلّ العقائد، ولا تعادلها عقيدة من عقائد من تقدم ولا من تأخر
Akidah Umm al-Barāhīn merupakan akidah yang paling agung, tidak ada akidah yang dapat menyamainya, baik yang terdahulu maupun yang datang setelahnya.
Ungkapan ini mengindikasikan bagaimana begitu mulia dan tingginya kedudukan yang dimiliki oleh Ṣughrā as-Sanūsī di tengah masyarakat Maghrib. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana perhatian khusus yang diberikan masyarakat Maghrib untuk memuliakan akidah Umm al-Barāhīn ini.
Umm al-Barāhīn berhasil mendapatkan sederet sanjungan dan pujian yang tidak pernah didapatkan oleh kitab akidah lainnya. Sejumlah ulama Maghrib telah bersaksi atas keunggulan kitab ini dari kitab lainnya, tidak hanya dalam bentuk prosa, bahkan tak sedikit dari mereka yang menyanjungnya dalam bentuk syair. Sebut saja salah satunya Syekh Ibnu Askar as-Syafsyawani (w. 986 H/ 1578 M) yang memasukkan kitab ini ke dalam daftar deretan kitab terbaik yang pernah ditulis dalam keilmuan Islam sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Douḥah an-Nāsyir li Mahāsin Man Kāna bi al-Maghrib min Masyāyikh al-Qarn al-‘Āsyir.
Ibnu Askar juga menukil perkataan Syekh Abdullah al-Waryajili (ulama abad 10 H/ 16 M) yang mengungkapkan:
والله ما خرج هذا الكلام، إلا من صدر منَّور
Demi Allah, perkataan semacam ini tidak keluar, melainkan dari hati yang bersinar.
Sebagaimana disebutkan pula dalam Douḥah an-Nāsyir bahwa Syekh al-Waryajili bernazar kepada dirinya untuk tidak pernah sekalipun berpisah dari naskah kitab Umm al-Barāhīn, dengan selalu membawanya di dalam saku, ini disebabkan keutamaan yang dimiliki oleh Umm al-Barāhīn sehingga banyak orang yang menghafal dan mengkajinya.
Syekh Ahmad bin Arafah as-Syadzili al-Maliki menyebutkan dalam kitabnya I’ānah al-Mājidin:
العقيدة المسماة بـ أم البراهين الفائقة مع صغر حجمها كبار الدواوين. عرف ذلك لها من أشرق قلبه بأنوار اليقين، وشهد به من وقف عليها من العلماء العاملين
Meskipun akidah Umm al-Barāhīn dikemas dengan ringkas, namun ia telah berhasil mengungguli kitab-kitab induk – dalam displin ilmu akidah. Mereka para ulama dan orang-orang yang hatinya bercahaya bersaksi atas hal ini.
Syekh Muhammad at-Talib bin al-Haj as-Sulami (w. 1273 H/ 1857 M) dalam kitabnya al-Azhar at-Tayyibah juga memberikan sanjungan terhadap kitab ini:
بأنها من – أنفس المؤلفات الكلامية، التي يتعرض فيها لبيان كل عقيدة ببرهانها العقلي والسمعي، من غير تعرض لمذاهب المبطلين
Umm al-Barāhīn merupakan kitab dalam disiplin ilmu kalam (teologi) yang paling berharga, yang hadir untuk menjelaskan permasalahan akidah dengan menyertakan bukti-bukti baik dari logika akal maupun nas syariat, dengan tanpa menyerang/merendahkan mazhab-mazhab yang berlawanan.
Selanjutnya sanjungan Syekh Abdussalam bin Nashir dalam kasidah gubahannya yang berjudul Qasīdah fī ‘Ilm at-Tauhīd:
ومن يرد تقوية العقائد ∗∗∗ بحجج كدرر القلائد
فليتعاط كتب السنوسي ∗∗∗ إن لها الشرف في النفوس
لا سيما صغراه فهي جامعة ∗∗∗ أدلة لكل لبس دافعة
جزاه ربنا جزاء حسنا ∗∗∗ ولسلوك نهجه وفقنا
Barang siapa yang ingin memperkokoh akidahnya dengan landasan dan dalil yang bersinar bak kalung mutiara.
Maka perdalamlah kitab-kitab karangan Imam as-Sanusi yang memiliki kedudukan mulia.
Terlebih kitab Ṣughrā-nya yang menghimpun dalil-dalil yang mematahkan segala kerancuan.
Semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baik ganjaran dan menuntun kita agar senantiasa mengikuti jalannya.
Masih banyak lagi sanjungan dan pujian dari ulama Maghrib, baik dalam bentuk prosa maupun syair.
Dari deretan sanjungan di atas yang menunjukkan betapa mulia kedudukan kitab Umm al-Barāhīn, tak heran jika kitab ini diijazahkan – dengan sanad yang bersambung kepada Imam as-Sanusi – kepada mereka yang telah selesai mempelajarinya atau bahkan sekadar membacanya.
Sebagaimana penuturan Syekh Muhammad al-Arabi bin Yusuf al-Fasi al-Fihri dalam kitabnya Mir’āh al-Mahāsin min Akhbār as-Syaikh Abi al-Mahāsin bahwa Syekh Muhammad bin Abdurrahman bin Jalal (w. 981 H/1573 M) mengkaji sekaligus mengambil sanad as-Ṣughrā kepada Syekh Abu Usman al-Kafif dari Imam as-Sanusi sebagaimana Syekh Muhammad bin Qasim al-Qasshar (w. 1012 H/1603 M) mengambil ijazah as-Sughra dengan sanad yang sama.
Tradisi ijazahan kitab ini masih terus berlanjut di Maroko hingga hari ini, yang dilakukan usai para santri mengkhatamkan atau sekadar membaca – ngalap berkah – di depan Syekh.
Ijazah ini juga tidak terkhusus pada matan kitab saja, tetapi juga termasuk syarḥ, ḥawāsyi, ta’liqāt, dan naẓam-nya.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah syarḥ, ḥawasyi, dan ta’liqat atas matan Umm al-Barāhīn mencapai bilangan yang belum pernah dicapai oleh matan kitab akidah lainnya, di antaranya syarah yang ditulis oleh Imam as-Sanusi sendiri dan syarah muridnya al-Malali, keduanya merupakan syarah yang paling masyhur, kemudian ada syarah yang dikarang oleh Syekh Muhammad al-Makmun bin Muhammad al-Murakisyi.
Selanjutnya ada dua ḥasyiyah yang paling masyhur, yaitu Itḥāf al-Mughram al-Mughrā bi Takmīl Syarḥ as-Ṣughrā karya Syekh Ahmad al-Maqarri dan Ḥasyiyah ad-Dasūqī karya Syekh Ahmad bin Arafah ad-Dasuqi. Syekh al-Maqarri juga mentransformasi matan Umm al-Barāhīn ke dalam bentuk nazam (syair) agar mudah untuk dihafal, nazam yang terdiri dari 500 bait ini berjudul Iḍa’ah ad-Dujunnah fī ‘Āqaid Ahl as-Sunnah.
Selain itu, banyaknya salinan tangan (makhtūṭah) akidah as-Ṣughrā ini menjadikan indikasi kuat bahwa kitab ini telah diterima dan mendominasi keilmuan masyarakat Maghrib sejak lama, terkhusus dalam disiplin ilmu akidah dan teologi.
Hal ini juga menjadi bukti sekaligus pengukuhan dominasi Ṣughrā as-Sanūsī yang “mengalahkan” kitab-kitab akidah lainnya sebagaimana disebutkan di awal. Ketika Khizanah Hasaniyah di Kota Rabat hanya menyimpan makhtūṭah matan al-Mursyīdah yang berjumlah 6 salinan serta 1 salinan dari matan Nūr al-Qulūb, naskah makhtūṭah matan Umm al-Barāhīn mencapai 40 salinan ditambah salinan syarah Imam as-Sanusi yang berjumlah 50 salinan.
Keberkahan atas matan mahakarya Imam as-Sanusi ini juga menular kepada para pensyarahnya, di antaranya syarah Syekh al-Malali yang naskah makhtūṭah-nya mencapai 40 salinan sebagaimana syarah yang ditulis oleh Syekh al-Makmun al-Murakisyi yang naskah makhtūṭah-nya berjumlah 30 salinan, seluruhnya terdapat di Khizanah Hasaniyah Rabat.
Tak diragukan lagi, banyaknya salinan naskah makhtūṭah terhadap syarah-syarah ini menunjukkan bagaimana matan Umm al-Barāhīn beserta syarahnya tersebar luas dan banyak dikaji di kalangan ulama dan para santri.
Perhatian dan kepedulian besar yang diberikan oleh masyarakat Maghrib atas kitab Umm al-Barāhīn ternyata bukan tanpa alasan, hal ini memiliki sejumlah tendensi yang begitu mulia, di antaranya menjaga akidah ahlu sunnah wal jamaah di Semenanjung Maghrib dari aliran-aliran dan kelompok-kelompok yang menyesatkan. Banyaknya penulisan syarḥ, ḥawāsyi, ta’līqāt berhasil menghidupkan tradisi penulisan di tengah-tengah masyarakat Maghrib, khususnya penulisan yang berkaitan dengan pemikiran Imam al-Asyari.
Rekam jejak sejarah ini juga menjadi salah satu saksi sejarah perkembangan mazhab Asyari, khususnya di Semenanjung Maghrib, maka tak heran jika mulai periode Imam as-Sanusi hingga saat ini dijuluki sebagai marhalah sanusiyah karena peranan penting karya-karya Imam as-Sanusi dalam perkembangan mazhab Asyari, bukan hanya di Semenanjung Maghrib, melainkan di seluruh bagian belahan dunia. (Sumber Altsaqafah.id)























