Banten, LIPUTAN 9 NEWS
Apa yang membuat usia menjadi monumen dan tetap berada di tempatnya? Jawabnya tentu saja adalah ingatan. Seseorang bisa menyimpannya ke dalam sebuah sajak atau menjelmakannya menjadi komposisi musik, dengan warna-warna pada sebuah kanvas, tempat ia bisa bebas menggerakkan tangan dan pikirannya. Hal itu pulalah yang ingin kuceritakan dengan biografi imajiner ini.
Kurenungi sejenak perabot rumah tangga yang menempel dan bergelantungan di dinding dapur yang bisu dan telah ditinggalkan ibuku. Sesekali aku menggunakannya untuk memasak menu makan kesukaanku, semisal tumis kangkung atau pepes tahu. Setelah itu, seperti biasa, kuhisap rokok kretekku yang ujungnya telah merah dan membara, dan memandangi malam yang jauh lewat sebuah pintu yang terbuka. Sementara, di pagihari, kubaca November yang sibuk merapihkan daun-daunnya setelah cukup sekian lama bertarung dengan kemarau jingga.
Sebenarnya, ada banyak sekali yang ingin kukatakan, seperti ketika di waktu senja, angin terus saja bercengkerama dengan keheningan, dengan waktu yang tak tampak dan selalu saja menyamar sebagai gugusan warna, entah terang atau pun pucat, seperti seorang perempuan yang putus-asa karena terserang demam cinta.
Ke belakang rumah, di mana sawah-sawah terhampar, dapat kudengar ricik air, meski samar dan lebih mirip gumam di dalam hatiku sendiri. Dan memang, di luar, di mana aku sebenarnya ingin bebas seperti burung-burung yang terbang dan hijrah dalam kebisuan, mendung masih membentang, tetapi tak apa, sebab karenanya aku jadi ingat yang sempat kulupakan untuk jangka waktu yang cukup lama. Seperti sayap-sayap mereka yang mengarungi awan dan cakrawala.
Bila sudah kuingat-ingat bagaimana seorang lelaki menceritakan kesepian masa kanak dan masa remajanya yang jauh dari sebuah dunia yang riuh, ramai dan gembira, aku ingin sekali mengajaknya berbincang, sekedar untuk menghibur masa silamnya yang tak bahagia dan kesepian. Betapa hampir setiap malam ia menggerakkan jari tangannya pada lembar-lembar catatan harian, tempat ia bisa mengungkapkan keluh-kesahnya sebagai seorang lelaki yang kesepian, dan tak memiliki kesibukan selain merenung, mengkhayal, menulis atau membaca di dalam ruangannya yang bersahaja. Anda, para pembaca, jika saja anda tertarik dengan apa yang ingin kuceritakan, mungkin saja akan jatuh iba padanya.
Kadangkala ia pun lupa untuk membasuh badannya karena terlampau asik membaca dan menulis di mejanya. Ia baru akan menyadari hal itu bila tubuhnya mulai berkeringat dan t-shirt yang dikenakannya terasa basah dan menyebarkan aroma tak sedap. Itu hanya salah satu kebiasaannya saja, sebab adakalanya ia bisa tertidur di atas mejanya, tak ubahnya pengarang romantik abad ke-18 yang kehabisan tenaga ketika sedang menulis sebuah sajak cinta.
Di hari ia terduduk di depan mejanya itu, contohnya, sebenarnya ia sudah cukup bosan menjalani waktu-waktu kesehariannya sebagai seorang lelaki yang hanya menghisap rokok dan menyeruput kopi hitam. Namun apa boleh buat, ia sudah terlanjur merasa tak ada hal lain yang sanggup ia lakukan, atau minimal mengerjakan pekerjaan yang cocok dengan hatinya.
Entah kebiasan yang wajar ataukah terbilang buruk, setiapkali ia terbangun dari tidurnya, yang pertama-tama ia lakukan adalah memanaskan segelas air dengan kompor gas demi membuat segelas kopi hitam. Tentu saja setelah ia membasuh mukanya, meski ia merasa tak perlu merapihkan rambutnya yang acak-acakan karena selama bejam-jam bergelut dengan bantal. Dan setelah itu, yah seperti biasanya, ia hanya akan mengkhayal, memikirkan kata-kata apa saja yang cocok untuk ia tuliskan di lembar-lembar catatan hariannya.
Di pagi itu, ia mencoba untuk menyelesaikan sebuah puisi yang belum sempat ia rampungkan. Tak seperti di waktu-waktu sebelumnya, kali ini tak ada alunan suara musik atau lantunan suara penyanyi sopran di ruangannya. Mungkin, ia sudah cukup merasa nyaman dan damai karena suara-suara cericit dan kicauan burung dari balik pintu dan dinding yang tak jauh dari tempatnya menulis. Bisa juga dikatakan, bahwa ia sebenarnya tak sadar bila selama ini ia terserang wabah obsesif. Sebab, untuk beberapa kali dan berulangkali, ia tak bisa menyelesaikan apa yang ingin ditulisnya, hingga ia harus memulai lagi tulisan yang lain. Untunglah, kali ini ia akhirnya dapat menyelesaikan tulisannya, meski sempat tertunda untuk beberapa hari.
Aku sendiri sempat mengambil kesimpulan, bahwa mungkin saja ia sebenarnya bisa disebut seorang lelaki yang agak sedikit gila, karena sikap keras kepalanya yang telah membuatnya lebih mirip seorang lelaki dungu yang terlampau terobsesi pada satu hal saja. Oh, seandainya saja ia menjadi seorang penjual kosmetik atau menjadi seorang bartender di sebuah kafe atau diskotik di kota besar, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda, dan ia tak perlu dipusingkan dengan kata-kata yang ingin ia tuliskan. Sebab, kalau pun ia memiliki kesibukan lain, paling-paling hanya membaca beberapa berita sebuah koran lokal sembari bersandar di kursinya.
Oh ya, aku hampir lupa menceritakan kepada Anda, para pembaca, salah satu tingkah-lakunya yang cukup mengherankanku, yaitu saat ia lupa menghisap rokok kreteknya yang ia letakkan pada asbak keramik ketika kata-kata di dalam pikirannya mengalir deras melalui tangannya, dan saat ia sadar dengan hal itu, ia akan tampak kecewa karena telah membiarkan sebatang rokok kreteknya terbakar sia-sia. Rasa kecewanya itu kemudian berganti rasa kesal saat ia juga tahu bahwa sebatang rokok kreteknya yang telah terbakar sia-sia itu memang hanya satu-satunya di pagi ketika ia menulis. Dan, pada saat itu pula, ia akan menyalahkan dirinya sendiri sebagai tak ubahnya seorang lelaki dungu.
Demi mengobati rasa kesalnya itu, ia akan berpura-pura termenung sembari memandangi mendung lewat pintu ruangannya yang memang selalu ia buka setiap pagi saat ia terbangun dan bosan bergelut dengan bantal. Atau, ia akan berpura-pura membaca beberapa majalah dan jurnal yang memang bergeletakan di meja kerjanya bersama beberapa gelas yang berbaris dengan sisa-sisa dedak kopi hitam bekas konsumsi kesehariannya, yang beberapa di antaranya telah mengering dan warna hitamnya telah berubah coklat.
Pernah suatu kali ia bercerita kepadaku, tentu saja tentang perasaan-perasaannya sebagai seorang lelaki, ketika ia kembali jatuh cinta. Saat itu ia tergoda untuk, lagi-lagi seperti biasanya, menulis sebuah sajak cinta, dan kali ini ia berhasil melakukannya. Sebenarnya sebuah sajak cinta yang terbilang singkat yang ia bacakan dengan datar dan pelan saja di dalam hati dan pikirannya setelah ia baru saja menyelesaikannya. Jujur saja, saat itu aku ingin sekali tertawa, tetapi rasa ibaku berhasil mencegah keinginanku itu. Sebab menurut dugaanku saat itu, di dalam hatinya ada sedikit rasa sedih dan getir, meski ia jarang menceritakannya karena watak dan pembawaannya yang pemalu dan canggung.
Bisa jadi aku sebenarnya ingin menertawakannya. Hanya saja, lagi-lagi, rasa lucu yang syahdu berhasil menghalangiku untuk tergoda pada hal-hal yang sentimentil seperti itu. Memang, awalnya aku tak membayangkan jika ia adalah seorang lelaki yang lemah dan rapuh, maksudku tentu saja adalah perasaannya. Terlebih lagi saat bertahun-tahun dulu ia pernah jatuh cinta dengan perasaan yang teramat mendalam kepada seorang perempuan. Sampai-sampai ketika itu ia lebih mirip seseorang yang terjebak di dalam sebuah jurang yang curam dan ia hampir saja tak bisa keluar untuk jangka waktu yang terbilang cukup lama.
Kepada Anda, para pembaca, jujur aku katakan bahwa awalnya aku tak percaya ketika akhirnya ia berhasil menyelamatkan dirinya, setelah keadaan dirinya yang berlarut-larut terjerembab dalam sentimentalitas yang tak karuan itu, yang ketika ia sadar tak ubahnya seperti seseorang yang kembali menemukan nyawanya setelah mengalami koma selama berbulan-bulan. Karena pengalamanku bersamanya selama bertahun-tahun itu pula, tanpa kusadari antara aku dan dirinya telah terjadi persahabatan yang mendalam secara diam-diam. Aku pun kerapkali jatuh cinta dengan sajak-sajak yang ia gumamkan di hati dan pikirannya.
Tetapi di atas semua itu, kegemarannya bercerita kepadaku sungguh telah membuatku jadi kagum pada sikapnya. Termasuk ketika ia menceritakan kisah-kisah yang menurutku terbilang sangat pribadi, yang untungnya hanya aku yang tahu. Seakan-akan ia memperlakukan diriku tak ubahnya kekasih tercintanya yang paling setia dan yang paling mengerti dirinya, dan yang paling bisa dipercaya untuk merawat rahasia gelapnya, yang hanya kadang-kadang saja ia samarkan ke dalam sajak-sajak yang ditulisnya.
Lain lagi ceritanya bila di waktu malam, di waktu-waktu ia bisa menkonsumsi bergelas-gelas kopi hitam hingga tengah malam. Di waktu-waktu itu, ia bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk menemukan kata yang paling tepat demi menyempurnakan bunyi parafrase sajak yang sedang ditulisnya. Itulah kenapa aku hampir saja menyebutnya sebagai seorang lelaki setengah gila dengan semua yang dilakukannya selama berjam-jam itu.
Bahkan ia pernah menuliskan beberapa kalimat yang berbunyi seperti ini kepadaku: “Jika aku mati, berapa banyak orang yang akan membaca apa yang kutulis. Ataukah hanya akan terselip sia-sia di antara buku-buku yang tak dibaca di perpustakaan?” Sebenarnya aku hampir tertawa terbahak-bahak karena apa yang digumamkannya itu, jika saja rasa iba tak berhasil mengalahkan niatku itu. Sebab, betapa pun mungkin apa yang ditulisnya itu terdengar kekanak-kanakkan, terus-terang aku merasakan kejujuran yang langka. Juga, siapa sangka, hanya kepadaku, yah hanya kepadaku, ia bisa bebas menceritakan apa saja tanpa sungkan, termasuk perasaan kekanak-kanakkan yang sebenarnya agak menggelikan itu.
Sulaiman Djaya, Penyair di Kubah Budaya




















