Bondowoso | LIPUTAN9NEWS
Warga Bondowoso seharusnya kenal dengan nama Santawi. Apalagi, nama itu fenomenal setelah ditetapkan dalam Program Legislasi Daerah (Proglegda) Bondowoso menjadi nama jalan di Kelurahan Nangkaan, Kecamatan Bondowoso. Alamat kantor penting di Bondowoso, seperti Pengadilan Negeri (PN) Bondowoso, juga beralamat di Jalan Santawi.
HASIL dari penelitian yang dilakukan oleh Forum Pemerhati Sejarah Prajekan (FPSP), pahlawan tersebut pimpinan Laskar Hizbullah wilayah Prajekan pada tahun 1940-an. Dia berjuang di bawah komando Koesnadi yang saat itu menjadi pimpinan Laskar Hizbullah di Bondowoso dan namanya juga diabadikan sebagai rumah sakit daerah Bondowoso.
Ketua FPSP Fandi Shofan menyampaikan, nama Santawi bukan nama aslinya, melainkan nama anaknya. Sementara, nama dagingnya atau nama asli yaitu Sadrian. Hal itu berangkat dari tradisi Madura bahwa setiap panggilan seseorang diambil dari nama anak pertama. “Sampai saat ini, putra pertama dari pahlawan itu masih hidup, sekarang tinggal di Lumajang,” katanya.
Di dalam sejarah perjuangannya, Santawi tewas di tangan Belanda setelah tertangkap saat proses gerilya yang berpusat di Desa Lanas, Kecamatan Botolinggo. Yakni pada tahun 1948 saat agresi militer Belanda. Dia dihukum mati oleh pemerintah Belanda dengan alasan telah melakukan pemberontakan. Padahal, waktu itu Indonesia telah merdeka. “Santawi dikenakan pasal berlapis karena terus memberontak terhadap kemauan Belanda. Lalu, dia dihukum mati oleh 10 orang penembak Belanda pada hari Jumat. Bahkan, saking kejamnya Belanda, Santawi diopinikan sebagai orang biasa yang telah merusak tatanan Belanda di Bondowoso,” ungkapnya.
Konon informasi dan data yang saya dapati dari seorang informan depan rumah kyai Santawi yaitu bapak Kukun, M. Pd. pensiunan kepala sekolah dan pengawas bahwa sebelum dieksekusi kyai Santawi minta izin untuk shalat dua rakaat terlebih dahulu.
“Tuan, saya minta satu syarat sebelum ditembak mati untuk shalat dua rakaat terlebih dahulu.” Pintanya dengan penuh harap.
“Baik. Permintaan saudara, saya kabulkan.” Jawab Belanda.
Setelah menunaikan dua rakaat shalat sunnah, kyai Santawi di hukum mati oleh team penembak hingga menemui ajalnya.
Saya teringat dengan kisah dramatis seorang sahabat nabi Muhammad Saw. Umumnya jika seseorang akan meninggal dunia, yang diingat adalah keluarga atau pun hartanya. Sedangkan beberapa sahabat, menjelang kematiannya hanya shalatlah yang mereka inginkan. Seperti kisah kematian sahabat yang satu ini, ialah Khubaib ra.
Dikisahkan dari Buku yang berjudul “Himpunan Fadhilah Amal” karya Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi Rah.a. bahwa setelah syahidnya Abdullah bin Thariq ra maka Zaid bin Datsnah dan Khubaib ra dibawa ke Makkah dan dijual sebagai budak. Zaid bin Datsnah ra dibeli oleh Shafwan bin Umayah seharga lima puluh ekor unta sebagai balas dendam atas kematian ayahnya.
Sedangkan Khubaib ra dibeli oleh Hujair bin Abu Lahab seharga seratus ekor unta sebagai balas dendam atas kematian ayahnya. Khubaib ra ditawan oleh Hujair selama beberapa hari. Seorang budak perempuan Hujair yang di kemudian hari memeluk Islam berkata, “Ketika Khubaib kami tahan, pernah kami melihatnya memegang setangkai anggur sebesar kepala manusia yang sedang ia makan. Padahal, ketika itu di Makkah tidak ada anggur sama sekali.”
Budak tersebut menceritakan bahwa di hari kematiannya, Khubaib meminta pisau cukur untuk membersihkan bulu-bulunya. Permintaannya itu dipenuhi. Kebetulan ada seorang anak kecil yang bermain-main di dekatnya. Semua penghuni rumah merasa ketakutan karena di tangan Khubaib ada sebuah pisau cukur sedangkan anak itu ada di dekatnya.
Khubaib berkata, “Kalian tidak paham, apakah kalian pikir aku sanggup membunuh anak kecil yang tidak berdosa ini? Aku tidak mungkin melakukannya.”
Lalu ia dibawa keluar tanah Haram. Sebelum dilaksanakan hukuman mati terhadap dirinya, ia ditanya, “Jika kamu menginginkan sesuatu, katakanlah.” Jawabnya, “Izinkan aku mengerjakan shalat dua rakaat karena tidak lama lagi akan kutinggalkan dunia fana ini untuk menemui Allah.”
Permintaanya pun dikabulkan. Kemudian ia melaksanakan shalat dua rakaat dengan tenang. Setelah selesai shalat ia berkata, “Seandainya aku tidak khawatir kalian menyangka aku takut mati sehingga aku memperpanjang shalatku, niscaya aku akan menambah shalatku dua rakaat.”
Ia pun diikat lalu berdoa, “Ya Allah, adakah seseorang yang akan menyampaikan salamku yang terakhir kepada Rasulullah SAW?” Ternyata salamnya itu sampai kepada Nabi SAW, melalui wahyu Allah. Rasulullah SAW menjawab, “Wa’alaikum salam, ya Khubaib.” Lalu Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Khubaib telah syahid di tangan kaum Quraisy.”
Pembunuhan terhadap khubaib ra dilakukan oleh empat puluh orang Quraisy yang menikam dengan lembing dari empat arah sehingga badannya hancur.
Begitu juga dengan sepuluh eksekutor yang menjadi team penbak kyai Santawi memberondong tembakan dengan senjata laras panjang yang menimpa seluruh tubuhnya hingga ia menemui ajalnya. Semoga pengorbanan jiwa raganya tersebut dicatat kematian yang syahid. Amin.
Salam perjuangan, Kafe Ayah Bunda Situbondo, 9 Januari 2025
Dr. KH. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis buku Desain Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Teori dan Praktik Penelitian