Setelah pusing dan bosan gonta-ganti profesi, Ki Rangan memutuskan untuk bertemu guru ngajinya, Ki Yambaan. Kepada Ki Yambaan, Ki Rangan bermaksud meminta sebuah doa atau amalan agar hidupnya menjadi mudah. Mendapat pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhannya.
Namun Ki Yambaan adalah seorang guru yang bijaksana. Dia bukan saja paham tentang benar atau salah dari suatu tindakan, tapi juga pantas atau tidak dari tindakan tersebut. Oleh karena itu, Ki Yambaan tidak langsung memberi doa dan amalan pada Ki Rangan. Meskipun sebenarnya dirinya bisa melakukan itu. Ki Yambaan malah menyarankan Ki Rangan untuk menemui seseorang
“Rangan, pergilah kamu ke desa Sumber Winih. Temui orang yang bernama Kiai Dhohir wa Batin. Dia dulu satu pesantren dengan aku. Tapi sekarang dia sudah menjadi ulama besar. Nah, mintalah doa dan amalan dari beliau, Rangan.”
“Tapi, Ki. Bukankah Anda juga seorang ulama besar, bahkan banyak orang dari luar daerah ini datang dan konsultasi pada Ki Yambaan? Dan rata-rata mereka berhasil dan menjadi orang sukses setelah diberi doa dan amalan dari Anda? Kenapa saya tidak diberi dan disuruh nemui Kiai Dhohir wa Bathin?”
Ki Yambaan diam saja. Dia tidak ingin berdebat dengan muridnya tentang masalah itu. Sebab menurutnya, perdebatan tentang suatu persoalan seringkali membuat para pelakunya terjerumus dalam sifat “ingin menonjol” dibanding yang lain. Ki Yambaan diam saja, beberapa saat kemudian ia berkata “Sudahlah Ki Rangan, tidak usah bertanya, sekarang coba lakukan saja apa yang saya sarankan. Temui Kiai Dhohir wa Bathin di desa Sumber Winih.”
Ki Rangan sedikit merasa bersalah atas kelancangannya bertanya tentang hal tersebut pada Ki Yambaan, guru ngajinya.. Dulu orang tuanya mengajarkan agar tidak terbiasa membantah atau mempertanyakan perintah guru. Sebab seorang guru ibarat “majikan” bagi para muridnya.
“Baiklah, Ki, saya akan berangkat ke desa Sumber Winih sekarang juga, menemui Kiai Dhohir wa Bathin dan meminta sebuah amalan serta doa khusus pada beliau.”
Berangkatlah Ki Rangan ke desa Sumber Winih. Ki Rangan memilih berjalan kaki, menyusuri jalan-jalan kecil dan pematang sawah. Dia sebenarnya bisa naik kendaraan umum, tapi selain uang sakunya tidak cukup, Ki Rangan juga hendak merasakan kesan yang lebih dalam dan berbeda di perjalanan itu. Bersambung >
Ahmad Rofiq, penulis buku Jagat Kiai Gresik: Nuansa Islam Nusantara, Tarekat Sang Kiai: Biografi KH Abdul Aziz Masyhuri, Pengurus LTN NU Kabupaten Gresik, Komisi Dakwah MUI Kabupaten Gresik.
Comments 1