Banten | LIPUTAN9NEWS
“Karena ilmu dan pengetahuan, si tua renta jadi kuat perkasa” (Ferdowsi dari Iran, Shah Nameh – Buku Para Raja)
“Jika ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang hutang peradaban dan kebudayaan kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini” (Pangeran Charles dari Ingris)
Tema obrolan ini sebenarnya terbilang klasik, sudah lama sekali jadi bahan perbincangan dan pemikiran. Dari mulai Jamaluddin Al-Afghani hingga Ali Syariati. Dari mulai Mohammad Iqbal hingga Nurcholis Madjid. Jadi tak perlu dibikin repot bila kemudian ada aroma nostalgia –selagi nostalgia itu memacu dan memotivasi kita untuk menjadi lebih baik dan lebih maju. Yang jadi masalah adalah ketika nostalgia membuat orang tak sanggup menerima kenyataan yang menuntut dan mengharuskan keadaan yang tidak mungkin sama dengan masa lalu, semisal kelompok revivalis dangkal yang senantiasa menyeru untuk kembali ke jaman rasul dan para sahabat, tapi gerakan mereka justru membuat masyarakat muslim jadi jumud dan gagap menghadapi arus perubahan yang dahsyat.
Memang, dulu juga saya memahami agama hanya sekitaran bab-bab fiqih dan tafsir semata, sebelum mengalami perjumpaan tekstual dengan khazanah dan buku-buku yang menawarkan cakrawala baru bahwa Islam adalah juga soal bagaimana masyarakat menjadi tercerahkan, mandiri dan sanggup menolong dirinya sendiri, bukan malah menjadi korban despotisme yang justru membajak agama. Sebab, gerakan Rasulullah, demikian diulas oleh Ali Syariati dan Asghar Ali Engineer, sebagai contoh beberapa, berdampak pada revolusi sosial politik, ketika tirani rente dan perbudakan oleh segelintir elit terancam dan akhirnya tergusur kesadaran pencerahan tauhidi yang melarang penghambaan kepada sesama manusia yang menindas dan menghilangkan fitrah manusia.
Pada kesempatan ini, apa yang ingin kita diskusikan dan kita obrolkan adalah bahwa fondasi utama pencerahan, kesadaran dan kemajuan sebuah masyarakat adalah hidupnya ilmu pengetahuan dan kuatnya budaya literasi, sebagaimana dibuktikan oleh suatu jaman beberapa abad lalu ketika imperium Negara muslim melahirkan para pioneer sains dan falsafah hingga seni, dari mulai astronomi hingga ilmu bumi, dari mulai fisika hingga teknologi penerbangan, yang justru kemudian membangunkan dan menginspirasi Barat. Itulah jaman ketika tradisi intelektualisme dan penulisan disokong penuh oleh kekuasaan dan ditopang kebijakan-kebijakan yang berpihak, hingga mereka yang mengajar mendapatkan gaji yang layak.
Dari sejarah kita belajar bahwa sains dan ilmu pengetahuan tak sekedar kerja dan tugas profesional, namun lebih dari itu, sains dan ilmu pengetahuan adalah juga visi suatu bangsa atau masyarakat yang akan mengarahkan mereka ke masa depan. Ini selaras dengan beberapa larik puisinya Ferdowsi:
“Karena ilmu dan pengetahuan, si tua renta jadi kuat perkasa”.
Sains dan ilmu pengetahuan membuat kaum muslim atau masyarakat muslim menjadi berdaya dan lalu sanggup memimpin dirinya sendiri. Sains dan ilmu pengetahuan memungkinkan masyarakat muslim sanggup membangun masa depan mereka demi menegakkan harga diri masyarakat muslim itu sendiri. Menjadi masyarakat yang sanggup menegakkan diri dan tidak terdominasi secara hina.
Harga diri dan keberdayaan itu pula yang pernah dicapai oleh masyarakat muslim di masa Abbasiyah, sebagai contohnya, di mana para pemimpin mereka mendukung penelitian, pengkajian dan penulisan, sampai-sampai Pangeran Charles dari Ingris menyatakan dengan tulus dalam pidatonya di Universitas Oxford pada 27 Oktober 1993 bahwa dalam soal kemajuan sains dan peradaban, Barat sesungguhnya berhutang kepada Islam:
“Jika ada banyak kesalahpahaman di dunia Barat tentang hakikat Islam, maka banyak juga ketidaktahuan tentang hutang peradaban dan kebudayaan kita kepada dunia Islam. Saya rasa ini adalah kegagalan yang berakar dari ditutupinya sejarah yang kita warisi selama ini”.
Sumbangan besar para filsuf, ilmuwan, pujangga hingga faqih dari masyarakat dan Negara muslim itu memang sengaja ditutup dan tidak dituliskan secara massif dalam buku-buku pelajaran dan sejarah. Tidak terkcuali di institusi-institusi sekolah dan pendidikan kita yang memang mengadopsi materi ajar dan kurikulum Barat. Yang selalu diulang-ulang dalam pengajaran dan penyebaran informasi senantiasa para ilmuwan dan para penemu dari Barat, padahal peletak dasar sains modern peradaban kita adalah ilmuwan-ilmuwan muslim. Sumbangan dari suatu jaman dan masa ketika pemerintah dan masyarakat muslim menghidupkan dan mengembangkan tradisi intelektualisme dan penulisan.
Setelah kebohongan sejarah itu kini terungkap, ternyata yang pertamakali menemukan peredaran darah bukanlah William Harvey, tapi Ibnu Nafis, yang juga menemukan sirkulasi paru-paru. Penemu pertama aviasi bukanlah Leonardo Da Vinci, tapi Abbas Ibn Firnas, yang juga melakukan percobaan penerbangan pertamanya ratusan tahun sebelum para ilmuwan Barat menyempurnakannya. Begitu pula, peletak dasar ilmu kimia, di mana nama kimia itu sendiri berasal dari Bahasa Arab, adalah Jabir bin Hayyan, 900 tahun sebelum Robert Boyle menekuni penelitian kimia. Galileo Galilei berani menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata-surya, bukannya bumi, setelah berabad-abad sebelumnya ilmuwan muslim semisal Al-Biruni, justru berhasil membuktikannya secara matematis dan ilmiah.
Begitu selanjutnya, prestasi-prestasi itu dicapai secara gemilang oleh masyarakat muslim: kamera dan teknologi bendungan (waduk) ditemukan oleh Ibn Haitham, Al-Khawarizmi menemukan algoritma yang menjadi dasar teknologi informasi saat ini, catatan riwayat pasien pertama kali diterapkan oleh Ibn Sina dan hingga sekarang dipraktekkan di seluruh rumah sakit di dunia. Hukum tatasurya ditemukan oleh Al-Biruni dan masih banyak yang lainnya.
Kemajuan sains dan penemuan-penemuan revolusioner oleh masyarakat muslim itu tidak akan terjadi jika tidak ada tradisi intelektualisme dan penulisan yang mendapatkan dukungan politik dan kebijakan dari para penguasa atau para pemimpin mereka. Keberhasilan saintifik dan peradaban itu pula yang membidani nyala sains dan peradaban Barat setelah keruntuhan Romawi –yang berlangsung selama delapan abad pembelajaran Barat kepada Islam sebelum Barat akhirnya memasuki gerbang renaissance mereka. Dalam hal ini, tidak sedikit para sejarahwan yang menyatakan bahwa Abad Kegelapan Eropa hanya mitos belaka demi menutupi sumbangan Islam yang selama abad-abad itu mengajari Barat banyak sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan Islam pula yang mulanya menghidupkan kembali Filsafat Yunani yang sempat dicampakkan Barat.
Kemajuan serupa juga dicapai dalam seni dan sastra. Para pujangga Islam, semisal Hafiz, Omar Khayyam, Rumi, Ferdowsi dan lainnya menginspirasi para pujangga raksasa Eropa seperti Goethe dan Shakespeare. Masyarakat Islam yang sadar diri mengembangkan dan menghidupkan tradisi intelektualisme dan penulisan itu telah mengajari bangsa-bangsa lainnya keelokan puisi, ketekunan saintifik, keindahan prosa, kemegahan arsitektur, kepekaan artistik, dan sudah tentu welas-asih dan solidaritas humanis. Alangkah sayangnya, dan alangkah naifnya, bila kita malah meremehkan manfaat atau kegunaan pelita ilmu pengetahuan dan sains untuk saat ini dan bagi masa depan.
Sulaiman Djaya (sulaimandjaya40@gmail.com)