SIDOARJO | LIPUTAN9NEWS
Di sela-sela mau dimulainya ngaji wetonan “Rabu Wage-an” ba’da ashar di “Padepokan Noto Ati,” Mas Sis menyempatkan diri bertanya kepada Abah Udin selaku Pengasuh padepokan di Desa Lembah Manah tersebut. Dalam benaknya Kang Sis…”mumpung jama’ah yang lain belum hadir, tak sempatkan untuk bertanya sejenak ke Abah, kira-kira jawabannya apa ya?….heee…heeee…”….Maklum Mas Sis ini Santri kinasihnya Abah Udin yang sering diajak “Rihlah Nutur Tinular” alias ngisi ngaji rutinan dari Langgar ke Langgar di kampung sebelah.
Mas Sis, sambil memandang wajahnya Abah Udin yang penuh kharisma dengan penampilannya bersahaja, dan selalu menyegarkan suasana dengan guyonannya kaya makna dan menjadikan seseorang tertuntun taubat (mind blowing….bahasa kerennya)……”Ma’af Abah, di zaman yang serba kompleks dengan permasalahannya, masyarakat ini bingung dengan panutan Ulama NU…untuk itu menurut Panjenengan diantara ciri-ciri ulama NU itu seperti apa?…..”
Pertanyaan ini muncul karena Mas Sis habis baca serpihan artikel koran online “Ijo Royo-Royo” dengan judul “Merindukan Tokoh Panutan.”
Abah Udin, dengan senyum manisnya sambil geleng-gelengkan kepalanya seakan-akan jenggotnya yang mulai memanjang dan memutih itu turut bergelayutan kena terpaan angin sore, menjawab dengan gaya SerSan SaTu (Serius, Santai, Sampai Tujuan)….”diantara ciri-cirinya Ulama NU itu Mas, wawasan dan ilmu agamanya luas tapi tetap rendah hati….. ”
Mas Sis, dengan muka datarnya menimpali dengan gaya slengengannya….”kalau yang itu sudah pasti, Abah… dan sering dibahas oleh kiai-kiai sepuh dalam setiap kesempatan…kira-kira ada lagi gak ciri-cirinya, selain itu?…. siapa tahu nanti bisa saya jadikan tambahan referensi studi kasus ketika podcast di liputan 33, Abah…. he. he”
Dengan sigapnya Abah Udin menjawabnya… “Pastinya ada to Mas, termasuk ciri berikutnya adalah meskipun keturunan atau memiliki nasabnya kiai tapi tidak bangga dengan nasabnya tersebut….sebab nasab itu bukan jaminan keselamatan, bukan pula jaminan masuk surga Mas Sis, yang menjamin kita selamat di dunia dan bahagia di akhirat kelak adalah adanya sinergisitas iman-ilmu-amal-akhlak kita… ”
Mas Sis, dengan mulut bengongnya menjawab….. “Ooooh…. ini berarti selaras dengan dawuhnya Kanjeng Nabi itu to Abah?…. Gusti Allah tidak melihat hambanya dari jasadnya, roman wajahnya, akan tetapi Gusti Alloh isi hatinya dan amal perbuatannya?….. heeeemmm…. ”
Dengan kepulan asap rokoknya yang baru keluar dari mulut dan rongga hidungnya seakan-akan menyruak ke langit-langit Padepokan, Abah Udin menjawab…. “Iyyyyya… betul itu Mas Sis…..ini mudah diucapkan namun BBM (Beraaaat Banggeeet Mengamalkannya)….. ha.ha ha… ”
Masih menurut Abah Udin, “…. termasuk ciri yang lain adalah meskipun ilmu dan pengetahuannya luas Mas, namun penampilannya tetap sederhana dan selalu menjunjung tinggi akhlak yang mulia….bahkan dalam kesehariannya sangat menjaga yang namanya amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara yang baik dan benar….semuanya dilakukan secara bijak dengan menyesuaikan tantangan zamannya…..”
Mas Sis, serta-merta menimpali dengan gaya Nutur Tinularnya….. “wah… wah… ini berarti keterangannya nyambung banget dengan yang pernah panjenengan sampaikan di “Langgar Darut Taubah” itu ya?…..seorang hamba yang selaras shidqul iman, nurul ilmi, sholahul amal, dan husnul huluqnya maka yang terdapat pada dirinya adalah laku bijak sepanjang masa…..???? ”
Abah Udin, langsung Menjawabnya….”BBM (Betuuuul… Bangeeeet… Masssss)….. hi. hi. hi….”
Tak berselang lama jama’ahnya Abah Udin dari Desa “Rupo Konco” yang biasa naik odong-odong sudah nyampai “Padepokan Noto Ati.”
Termasuk jama’ahnya dari Desa “Malih Rupo” juga baru nyampai selang tiga menitan, yang biasa naik mobil angkutan berwarna ijo rulo-ruko.
Sedangkan jama’ahnya dari Desa “Watu Uloh” baru datang lima menit kemudian, yang biasa naik mobil kol embek.
Dan, rata-rata jama’ahnya Abah Udin ini adalah ibu-ibu lansia yang benar-benar membutuhkan tuntunan, pandangan, dan pegangan hidup yang sedang nitih laku lampah untuk mendapatkan keberkahan, keselamatan hidup dunia dan berharap kebahagiaan di akhirat kelak.
Dari penjelasannya Abah Udin tersebut seakan-akan mengingatkan kembali pada tulisan emas yang terpampang di gapuranya “Padepokan Noto Ati” di sana tertulis mutiara hikmah dengan warna tinta emas dengan dasar warna putih tulang “Belajar ikhlas, Ojo ngaku-ngaku, Ojo ngereken wong, Tapi belajaro ngereken wong.”
Tepat jam empat sore, pengajian rutinan “Rebo Wage-an” sudah di mulai dengan awali kirim doa, baca surat al-fatihah, tahlil dan istiqosah….ngaji tafsir kitab Al-Ibriz…. dan baru diakhiri dengan doa ketika terdengar sautan syi’ir tanpo waton dari masjid An-Nahdliyah di Desa Lembah Manah tersebut.
Suasana terasa hikmat meskipun jama’ahnya duduk di karpet sederhana agak bolong-bolong…..dengan suguhan khasnya “kopi tubruk dan rebusan polo pendem.”
Semoga Bermanfaat….
Dr. Heru Siswanto, M.Pd.I, Ketua Program Studi dan Dosen PAI-BSI (Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner) Pascasarjana IAI Al-Khoziny Sidoarjo; Dosen PAI-Terapan Poltek Pelayaran Surabaya; Pengurus Lembaga Takmir Masjid PCNU Sidoarjo; Ketua Lembaga Dakwah MWCNU Krembung.





















