BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Saya kerapkali melihat langsung melalui media sosial KDM turun langsung memperbaiki saluran air yang tersumbat yang berada didaerahnya. Tidak hanya itu, KDM tanpa ragu mengeluarkan uang pribadinya puluhan hingga ratusan juta rupiah dari hasil channel YouTube yang dimilikinya bukan uang anggaran pemerintah membayar dan menggaji orang untuk membersikan sungai, selokan dan irigasi air lainya yang mengalami ketersumbatan.
Ditengah eskalasi krisis ekologi global yang ditandai oleh perubahan iklim ekstrem, degradasi keanekaragaman hayati, serta pencemaran udara, tanah, dan air—muncul kebutuhan mendesak untuk mengadopsi pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaan lingkungan. Pendekatan konvensional yang mengandalkan teknologi tinggi dan kebijakan teknokratik seringkali gagal menyentuh akar permasalahan, terutama ketika tidak melibatkan dimensi sosial dan kultural masyarakat. Dalam konteks ini, perhatian semakin mengarah pada pendekatan berbasis nilai dan kearifan lokal, yang diyakini mampu menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antara manusia dan alam.
Salah satu pendekatan yang mencuat di Indonesia adalah pendekatan kebudayaan yang diinisiasi oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM) mantan Bupati Purwakarta dan Gubernur Jawa Barat sekaligus tokoh publik yang dikenal luas karena upayanya dalam merawat alam melalui pelibatan unsur-unsur budaya Sunda. Dengan menjadikan warisan budaya sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan ekologis, Kang Dedi tidak hanya memperkenalkan model konservasi yang berakar kuat pada identitas lokal, tetapi juga memantik kesadaran kolektif masyarakat untuk kembali menghargai alam sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Lebih dari sekadar fenomena lokal, pendekatan yang diusung oleh KDM sejatinya sejalan dengan pemikiran kontemporer dalam literatur ilmiah internasional, yang menekankan pentingnya integrasi antara nilai budaya dan pelestarian lingkungan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan program konservasi sangat bergantung pada sejauh mana intervensi tersebut selaras dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, model pelestarian berbasis kebudayaan tidak hanya dinilai relevan, tetapi juga menjadi strategi yang potensial untuk menjembatani kesenjangan antara sains lingkungan dan praktik masyarakat.
Bagi KDM, alam bukan sekadar entitas fisik yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi, melainkan bagian integral dari narasi budaya dan spiritualitas masyarakat. Pandangan ini menjadikan lingkungan hidup sebagai warisan budaya yang hidup—warisan yang bukan hanya diwariskan dalam bentuk material, tetapi juga melalui nilai, simbol, dan praktik yang membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam. Dalam berbagai aktivitasnya, baik sebagai pejabat publik maupun figur budaya, Kang Dedi secara konsisten menekankan pentingnya memperlakukan lingkungan dengan rasa hormat yang berakar dari tradisi lokal. Ia mendorong pelestarian pohon-pohon tua yang dianggap memiliki nilai historis dan spiritual, melindungi situs-situs keramat yang menyimpan memori kolektif masyarakat, serta merancang ruang-ruang publik dengan simbolisme budaya Sunda yang sarat makna ekologis.
Pendekatan ini mencerminkan prinsip biocultural diversity—sebuah kerangka konseptual yang mengakui bahwa keanekaragaman hayati dan budaya saling berkelindan, serta membentuk sistem sosial-ekologis yang dinamis dan saling memperkuat (Gavin et al., 2018). Dalam konteks ini, pelestarian lingkungan tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga keberlangsungan budaya lokal, sebab keduanya tumbuh dan berkembang dalam lanskap yang sama.
Lebih jauh, keterkaitan antara budaya dan lingkungan ini bukan sekadar gagasan romantik atau simbolis. Penelitian oleh Sterling et al. (2017) dalam Proceedings of the National Academy of Sciences membuktikan bahwa komunitas yang menjadikan alam sebagai bagian dari identitas budaya cenderung menunjukkan komitmen lebih tinggi dalam praktik konservasi. Studi tersebut menegaskan bahwa pengakuan terhadap nilai-nilai budaya dapat meningkatkan keberhasilan program pelestarian lingkungan secara signifikan, terutama ketika masyarakat merasa memiliki tanggung jawab moral dan historis terhadap alam sekitarnya.
Dalam kerangka inilah, strategi KDM dapat dipahami bukan hanya sebagai upaya mempercantik ruang publik dengan ornamen budaya, melainkan sebagai langkah strategis untuk menanamkan identitas ekologis dalam kesadaran kolektif masyarakat. Simbol budaya menjadi alat untuk merawat nilai-nilai lingkungan; narasi tradisional menjadi jembatan antara warisan leluhur dan tantangan ekologis kontemporer. Pendekatan ini menjadikan pelestarian lingkungan sebagai proses yang organik, menyatu dengan kehidupan masyarakat, dan berakar dalam kearifan lokal yang selama ini terpinggirkan dalam wacana pembangunan modern.
Di tengah gempuran modernisasi yang kerap menyingkirkan tradisi sebagai sesuatu yang usang, KDM justru memilih untuk menggali kembali dan menghidupkan kearifan lokal sebagai landasan bagi pembangunan berkelanjutan. Baginya, nilai-nilai lokal bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan modal sosial dan etis yang memiliki daya hidup untuk menjawab persoalan lingkungan masa kini. Prinsip-prinsip seperti gotong royong, larangan eksploitasi alam secara berlebihan, serta penghormatan terhadap makhluk hidup lain dijadikan fondasi dalam merancang kebijakan publik dan kegiatan sosial yang berorientasi ekologis.
Nilai gotong royong, misalnya, diterjemahkan ke dalam kegiatan penghijauan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Program pelestarian mata air tidak hanya dijalankan sebagai proyek infrastruktur, tetapi sebagai gerakan bersama yang menyatukan warga dalam semangat kolektivitas. Begitu pula penggunaan simbol-simbol tradisional dalam tata ruang kota—seperti patung tokoh pewayangan, arsitektur rumah adat, atau penamaan tempat dengan istilah Sunda—tidak hanya memperkuat identitas budaya, tetapi juga menciptakan lanskap kota yang sarat makna ekologis dan historis.
Mengutip tulisan Sahmardi Yaqob dalam tulisannya yang mengatakan bahwa pendekatan ini bukan tanpa dasar ilmiah. Riset mutakhir menunjukkan bahwa pengakuan terhadap kearifan lokal dan praktik-praktik adat dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu kunci keberhasilan konservasi jangka panjang. Penelitian oleh Tengö et al. (2021) dalam jurnal People and Nature menegaskan bahwa pengetahuan ekologis tradisional—yang dibentuk oleh interaksi antargenerasi manusia dengan alam—memiliki potensi besar dalam memperkuat strategi konservasi ketika diintegrasikan secara sejajar dengan pendekatan ilmiah. Pengetahuan lokal bukan hanya tentang teknik bertani atau menanam pohon, tetapi mencakup sistem nilai, struktur sosial, dan etika yang mengatur relasi manusia dengan alam.
Dalam konteks ini, inisiatif KDM dapat dipahami sebagai upaya membangun jembatan antara dunia tradisional dan dunia modern, antara kebijakan formal dan kebijaksanaan lokal. Ia tidak berusaha mengawetkan tradisi sebagai relik masa lalu, melainkan merevitalisasinya agar relevan dalam menjawab krisis lingkungan masa kini. Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal dalam bentuk yang kontekstual dan partisipatif, ia menanamkan kembali rasa tanggung jawab ekologis yang bersumber dari identitas budaya itu sendiri.
Pendekatan ini membuktikan bahwa transformasi menuju keberlanjutan tidak harus selalu dimulai dari inovasi teknologi, tetapi bisa bertumpu pada revitalisasi nilai-nilai lama yang selama ini dianggap tak lagi signifikan. Justru dalam nilai-nilai itulah tersimpan kebijaksanaan ekologis yang lebih selaras dengan alam karena lahir dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengannya.
Takwa merupakan salah satu fondasi penting dalam Islam yang harus senantiasa kita jaga dan kita tingkatkan dalam setiap waktu. Tanpa ketakwaan, kita hidup di dunia tidak memiliki nilai apa-apa, bahkan di akhirat akan tergolong menjadi orang-orang yang sengsara. Karena itu, Allah memerintahkan kita semua untuk senantiasa bertakwa dan meningkatkan kualitas ketakwaan, karena bekal terbaik untuk dibawa menuju akhirat hanyalah ketakwaan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الأَلْبَابِ
Artinya: “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Salah satu ajaran penting dalam Islam yang harus benar-benar kita jaga adalah menjaga keindahan alam dan kebersihan lingkungan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaganya dari hal-hal yang bisa merusak alam. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al-A’raf [7]: 56).
Merujuk penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Al-Qur’anil Azhim, juz III, halaman 429, beliau menjelaskan bahwa terdapat dua perintah dari Allah swt kepada kita semua dalam ayat ini, yaitu perintah untuk tidak merusak alam yang sudah diciptakan dengan baik oleh Allah swt, dan perintah untuk berdoa kepada Allah dengan rasa takut dan penuh harap. Siapa saja yang mengerjakan dua perintah di atas, maka Allah janjikan kebaikan kepadanya.
Dengan kata lain, Allah akan memberikan kebaikan yang sudah Dia janjikan kepada orang-orang yang bisa menjaga keindahan alam dan lingkungan serta berdoa dengan disertai rasa takut dan penuh harap diterimanya doa.
Sementara itu, menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Tafsir Mafatihul Ghaib, juz XIV halaman 283, beliau mengatakan bahwa menjaga alam tidak hanya sebatas menjaga lingkungan dari hal-hal yang bisa merusaknya saja. Namun juga mencakup pada semua hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia itu sendiri.
Salah satunya adalah dengan cara tidak membunuh orang lain dengan sengaja tanpa alasan yang benar dalam syariat Islam, tidak merusak harta orang lain dengan cara mencuri dan ghasab, tidak merusak keturunan dengan melakukan zina dan homoseks, tidak merusak akal dengan meminum minuman yang bisa memabukkan, dan lainnya.
وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَصَالِحَ الْمُعْتَبَرَةَ فِي الدُّنْيَا هِيَ هَذِهِ الْخَمْسَةُ: النُّفُوسُ وَالْأَمْوَالُ وَالْأَنْسَابُ وَالْأَدْيَانُ وَالْعُقُولُ
Artinya: “Hal itu karena kemaslahatan pokok di dunia adalah yang lima ini, yaitu (menjaga) jiwa, keturunan, agama dan akal.”
Selain itu, hal-hal yang bisa merusak lainnya adalah dengan cara tidak adil dalam menakar barang jualan, karena hal ini bisa menjadi penyebab pertikaian. Juga tidak boleh untuk menceritakan kejelekan-kejelekan orang lain, karena juga bisa menjadi penyebab percekcokan antar sesama.
Poinnya adalah kita semua memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menjaga keindahan alam dan kebersihan lingkungan. Semua perbuatan yang bisa merusak dan mengotori alam harus kita hindari, baik yang berkaitan dengan alam seperti membuang sampah sembarangan dll, atau yang berkaitan dengan kemanusiaan seperti contoh-contoh yang telah disebutkan tadi.
Tidak hanya itu, menjaga kebersihan lingkungan juga menjadi salah satu bukti keimanan setiap orang. Artinya, orang-orang yang sudah bisa menjaga alam dan lingkungan, menunjukkan bahwa dalam diri mereka terdapat keimanan, begitu juga sebaliknya, orang yang tidak menjaga alam menunjukkan bahwa keimanan dalam dirinya sangat tipis.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu orang yang beriman.” (QS Al-A’raf [7]: 85).
Dari beberapa uraian materi khutbah Jumat ini, dapat disimpulkan bahwa menjaga alam dan kebersihan lingkungan merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus benar-benar kita jaga, serta menjadi salah satu bukti keimanan setiap individu. Orang yang bisa menjaga alam menunjukkan bahwa dalam dirinya terdapat keimanan yang kuat, dan sebaliknya orang yang tidak menjaga alam menunjukkan bahwa keimanan dalam dirinya sangat tipis.
Demikian coretan singkat ini, perihal pentingnya menjaga alam dan kebersihan lingkungan sebagai manifestasi dari ketakwaan. Semoga bisa membawa manfaat dan keberkahan bagi kita semua, dan digolongkan sebagai hamba yang istiqamah dalam menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Amin ya rabbal alamin.
Salam akal sehat, Bondowoso 24 September 2025
Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis
























