BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Sejak pertama negeri ini dimerdekakan belum ada kepala daerah yang unik, otentik dan menggelitik seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM). Sosok yang satu ini memang “mengemuka” sejak Ia menjadi Bupati Purwakarta. Semakin populer ketika Ia menjadi Gubernur Provinsi Jawa Barat.
Tentu saja sosok KDM bukanlah manusia sempurna atau Supermen, tanpa cacat dan cela. Ia manusia biasa yang punya keterbatasan dan kelemahan. Ia pembelajar, budayawan, sekaligus politisi yang terus berupaya memperbaiki diri.
Ia adalah pemimpin, sekaligus influencer. Sebagai pemimpin daerah, Ia berusaha memperlihatkan gaya kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat. Sebagai influencer, Ia berusaha memberikan edukasi dan motivasi pada publik maya, melalui gayanya.
Mengutip tulisan Dr. Dudung Nurullah Koswara yang mengatakan bahwa mulai dari sekolahan, pesantren, kampus dan jalanan, Ia datangi untuk memberikan syiar kebaikan dalam versinya. Sampai saat ini KDM menjadi satu satunya kepala daerah yang paling dikagumi di Indonesia. Ia melintasi masa keemasan Jokowi ketika menjadi kepala daerah.
Ketika bulan ini begitu hangat dengan demo, ribuan orang demo di berbagai tempat. Mengasipirasikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, pengurus partai dan anggota legislatif. Disisi lain ribuan orang mengapresiasi kehadiran KDM di berbagai tempat.
KDM bagi penulis adalah diantara solusi kebangsaan. Apa maksudnya? Maksudnya adalah, ketika bangsa ini sedang tidak baik baik saja, dan masyarakat demo emosional di mana mana, hadir KDM memberi efek adem. Memberi warna lain akan hebat dan dikaguminya pemimpin dan gaya kepimimpinannya.
Saat bangsa ini tidak baik baik saja, krisis kepercayaan, KDM hadir mencolok memperoleh kepercayaan luar biasa dari masyaraat. KDM bisa jadi “BA” dari entitas pemimpin yang bisa diduplikasi di berbagai daerah. KDM adalah sosok dan model pemimpin yang diterima mayoritas rakyat.
Secara tidak langsung KDM telah menjadi pribadi pemimpin yang menguatkan kebangsaan kita. Setidaknya rakyat Jawa Barat sangat puas oleh gaya kepemimpinan KDM dan “rakyat” netizen Indonesia bisa melihat masih ada pemimpin yang wow.
KDM telah menjadi “kompensasi” bagi publik Indonesia yang merasa kecewa dengan berbagai dinamika layanan pemerintah. Untung masih ada kepala daerah Idola, kepala daerah influencer yang mampu menebarkan vibrasi positif pada masyarakat Indonesia.
Secara tidak langsung KDM telah memberikan sumbangsih konstruktif pada realitas kebangsaan kita. Tidak semua pemimpin bermasalah, masih ada yang terbaik. KDM adalah diantara pemimpin terbaik itu. Lompatan kebijakannya lahir dari kebatinan rakyatnya.
KDM dan Semangat Kebangsaan
Sudah puluhan mengabdi kepada bangsa. Banyak sumbangan pemikiran maupun pelayanan masyarakat yang telah diberikan. Hanya saja sebagai sosok besar dinegeri ini, ia masih sering disalahpahami. Kesalahpahaman ini berangkat dari ketidakpahaman atas basis pemikirannya yang melandasi hubungan dirinya dengan negara ini.
Kesalahpahaman masyarakat ini yang membuat KDM dicap sebagai oportunis penyembah dedemit yang hanya bisa melegitimasi kekuasaan yang ada. Sebuah stereotype oleh kalangan modernis terhadap kaum “Islam klasik”. Dengan sikap legitimatif ini, KDM dianggap hanya ingin mendapatkan jatah kekuasaan. Dalam rangka klarifikasi dan konfirmasi tulisan ini hendak menggambarkan dasar-dasar pemikiran politik dan agamanya demi pemahaman yang saling menghargai.
Sebagaimana diketahui, corak pemikiran politik KDM bersifat realistik. Ia berangkat dari realitas politik yang ada, demi pemanfaatan realitas tersebut bagi tercapainya tujuan Islam. Sebuah tujuan yang merujuk pada fungsi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta). Dalam kaitan ini, KDM mendasarkan diri pada kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian). Maka, ketika kerahmatan Islam bisa ditegakkan (al-ghayah), bentuk dari negara yang menjadi cara pencapaian (al-wasilah) menjadi tidak penting lagi. Cara berpikir seperti ini merupakan kritik atas corak pemikiran kenegaraan Islam yang an sich bersifat legal-formalis. Hal ini misalnya terdapat sejak pada Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah yang hanya berkutat pada sarat-rukun pendirian negara dan imam.
Meskipun bersifat realis, pemikiran politik KDM sejak awal berangkat dari ketakterpisahan Islam dengan politik. Artinya, KDM menempatkan Islam sebagai “agama politik” sebab ia telah menetapkan kemashlahatan manusia sebagai tujuan utama syariat. Tentu politik dalam hal ini merujuk pada perwujudan kebaikan bersama (res publica), yang menempatkan negara sebagai alat bagi perwujudan tersebut. Inilah yang dimaksud oleh kaidah fiqh, tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah (keabsahan imam terdapat pada kemampuannya mensejahterakan rakyat) yang selama ini menjadi kaidah politik KDM. Dengan amat bagus, Imam al-Ghazali menetapkan cara pensejahteraan ini melalui prinsip daf’u daruri ma’sumin (mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan). Baik melalui pemenuhan kebutuhan dasar hidup maupun perlindungan atas keamanan. Cakupan perlindungan inipun tidak terbatas pada umat Islam, melainkan segenap rakyat termasuk non-muslim.
Pola pemikiran seperti ini, yang menggambarkan keteguhan memegang prinsip Islam sembari menerima tradisi baru, mencerminkan watak Islam itu sendiri yang bersifat kosmopolitan. Inilah yang menjadi makna dari kesempurnaan Islam di dalam Surat al-Maidah ayat 3. Kesempurnaan Islam terdapat pada keluasan pandangan untuk menerima dan menyerap peradaban lain. Bukan ketertutupan nilai yang mengasingkan Islam dari perkembangan zaman.
Watak kosmopolitan ini sudah dicontohkan oleh para ulama. Pada abad ke-2 H, Imam Khalil al-Farahidi telah mempertemukan tradisi Islam dengan filsafat Yunani, melalui penulisan Qamus al-‘Ain, yang merumuskan kamus bahasa Arab dalam sistematika filsafat Yunani. Watak ini juga terlihat pada keluasan pandangan para salaf al-shalih yang memiliki kekayaan tradisi keilmuan. Imam Syafi’i yang merupakan bapak ushul fiqh, ternyata juga seorang kritikus sastra (naqidul adaby), yang mengukur kemurnian bahasa Arab dari para penyair. Demikian pula Imam Abu Hanifah. Selain ahli fiqh, ia juga seorang arsitek penggali arsitektur Arabes yang terkenal di zamannya. Hal serupa pada Ibnu Qutaibah al-Dinawari, ahli hadist pengarang kitab Ikhtilaful Muhadistin yang juga seorang budayawan, penulis “Ensiklopedi para penyair” (Thabatus Syu’arak).
Mengutip tulisan Khoirul Anam dalam tulisannya yang mengatakan bahwa segenap watak eklektik ini mencerminkan kehendak untuk memperluas wawasan keislaman, serta meluaskan tradisi Islam ke keluasaan peradaban dunia. Dengan demikian, Islam bisa memberi kemanfaatan di zamannya, melalui penjagaan atas prinsip-prinsip otentik. Dalam rangka kebangsaan, sikap eklektik-kosmopolitan ini kemudian membuahkan kesinambungan antara bangsa (nation) dan negara (state). Dengan cara ini, nasionalisme kita akhirnya bersifat etno-simbolis: perpaduan antara kultur lama dengan kebaruan sistem negara modern. Salah satu pondasi utama kultur itu adalah kebangsaan Nusantara yang dirajut oleh Islam. Inilah yang dilakukan KDM akhir akhir ini, ia mensahkan wilayah Hindia-Belanda (Nusantara) sebagai dar al-Islam (negeri Islam). Artinya, KDM telah membentuk “nasionalisme Islam” (Islamic nationhood), karena ketika Nusantara diakui sebagai “negeri Islam”, ia wajib dibela dari penjajahan.
Oleh karena itu, segenap argumentasi politik KDM selalu berbasis Islam. Misalnya, pengesahan tatanan pemerintahan sebagai waliyyul amri al-dlaruri bi al-syaukah, berangkat dari kebutuhan adanya ulil amri demi penerapan syariat Islam. Hal serupa terjadi pada penerimaan atas Pancasila. Keselarasan antara perlindungan hak warga negara dalam Pancasila dengan perlindungan hak dasar manusia (kulliyatul khams) dalam maqashid al-syari’ah, membuahkan kewajiban penempatan Islam sebagai tujuan kemasyarakatan (social purpose) ketika bangunan masyarakat telah diatur oleh dasar negara. Dengan kata lain, ketika Pancasila menjadi “bangunan rumah”, Islam berperan sebagai “rumah tangga”. Dengan cara ini, Islam akhirnya bisa menjadi komplemen: penyempurna pembangunan, melalui keikutsertaan dalam penetapan dasar serta tujuan pembangunan. Fungsi strategis ini yang tidak dilihat orang, sebab dengan menerima Pancasila, KDM bisa berperan dalam merumuskan tujuan pembangunan.
Di dalam dirinya sendiri, Pancasila juga bersifat strategis. Sebab dengan keberadaan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam sila pertama, ia telah mencegah negara ini menjadi teokrasi dan sekularisasi. Jebakan integrasi (kesatuan agama-negara) dan separasi (pemisahan agama-negara) ini dijembatani oleh Pancasila, melalui pembentukan “negara berketuhanan”.
Pada titik inilah KDM memerankan dua fungsi mendasar kekinian, di republik ini. Pertama, kekuatan penyeimbang di antara berbagai ekstrim ideologi dan politik sebagai realisasi dari prinsip tawasuth dan tawazun. Penjagaan atas “negara ketuhanan” merupakan jalan tengah antara “negara agama” dan negara sekular. Dengan cara ini KDM menjadi pangayom kemajemukan bangsa berdasarkan keluasan pandangan Islam yang dimilikinya.
Kedua, demokratisasi. Dengan meletakkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara, KDM telah menggerakkan demokrasi sebagai proses, bukan demokrasi sebagai institusi. Mengapa? Karena ia tidak terjebak dalam demokrasi prosedural yang menempatkan negara sebagai tujuan politik. Melainkan demokrasi praksis-substantif yang berupaya mewujudkan nilai-nilai demokratis demi peningkatan kualitas hidup rakyat. Melalui pendasaran fiqh politik seperti ini, KDM akan menjadi garda depan demokratisasi di negeri ini.
Salam akal sehat, Bondowoso, 24 September 2025
Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA, Penulis
























