BONDOWOSO | LIPUTAN9NEWS
Beberapa minggu yang lalu, dunia pesantren dikejutkan dengan runtuhnya gedung di pondok pesantren al-Khoziny Buduran Sidoarjo yang memakan korban jiwa hingga puluhan santri tertimbun didalamnya. Sontak saja, memicu polemik dimasyarakat terutama orang orang yang non pesantren mengecam keras atas tragedi itu karena dianggap human error. Jujur, saya termasuk orang yang menentang tragedi itu takdir Tuhan maka yang sabar menghadapinya.
Tentu saja, ketidak setujuan saya itu berbasis ilmiah setelah dianalisis oleh beberapa pakar bangunan. Namun demikian, saya menentang keras orang orang yang membabi-buta termasuk guru gembul yang semena mena mendiskreditkan dan menghakimi pimpinan pondok pesantren al-Khoziny yang dianggap pimpinan pondok pesantren yang memiliki sumber data manusia sangat rendah.
Statemen ini, tentu sangat berlebihan dan cenderung tendensius menyerang pondok pesantren salaf apalagi guru gembul bukan orang pesantren yang memposisikan dirinya orang hebat dengan menganggap orang lain punya SDM rendah alias bodoh. Sudah barang tentu pernyataan itu memicu kemarahan semua pihak termasuk saya sendiri kendati bukan alumni pesantren al-Ghaziny. Dalam kesempatan ini, tulisan ini menguap dan mengikuti siapa sebenarnya guru gembul itu sekaligus menyampaikan pesan moral dari Prof. Dr. Quraisy Shihab, MA.,
“Semakin orang berilmu, maka tidak akan menganggap orang lain bodoh.”
Well, fenomena “guru gembul” yang menjadi perbincangan di media sosial belakangan ini memang menarik perhatian banyak orang, termasuk mereka yang benar-benar ahli dan pintar di bidang pendidikan, bahkan sampai berbicara lantang. Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini memicu reaksi yang begitu besar dari para ahli, yang mungkin selama ini terlihat “diam” atau jarang bersuara keras soal isu-isu pendidikan:
1. Isu Kredibilitas dan Kompetensi
Para ahli atau praktisi pendidikan tentu merasa ada standar tertentu yang harus dipegang dalam mengajar. Mereka mungkin merasa kecewa atau geram ketika melihat seseorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang kuat atau tidak memenuhi kualifikasi mengajar justru mendapatkan banyak perhatian. Ini bukan soal iri atau ketenaran, tapi lebih ke masalah kredibilitas dan kompetensi. Mereka merasa bahwa pendidikan adalah bidang yang sangat serius, dan jika publik merayakan figur yang dianggap “tidak pantas” dalam hal keilmuan atau metodologi, itu bisa memberi pengaruh buruk terhadap kualitas pendidikan secara keseluruhan.
2. Pengaruh pada Persepsi Masyarakat tentang Pendidikan
Guru gembul atau fenomena serupa sering kali memanfaatkan platform media sosial untuk menarik perhatian dengan cara yang ringan, menyenangkan, dan mungkin dangkal. Hal ini bisa memengaruhi persepsi publik, terutama orang tua dan siswa, bahwa pendidikan yang berkualitas adalah yang “seru” tanpa memerhatikan kedalaman ilmu atau metodologi yang benar. Para ahli merasa perlu bicara lantang untuk meluruskan ini dan mengingatkan masyarakat tentang apa yang benar-benar penting dalam pendidikan: kedalaman ilmu, metodologi yang tepat, dan kredibilitas pengajar.
3. Peran Media Sosial dalam Menyebarkan Fenomena Ini
Sosial media punya pengaruh besar dalam menyebarkan fenomena seperti ini dengan cepat dan luas. Para ahli mungkin merasa fenomena ini bisa menjadi terlalu viral hingga menutupi esensi pendidikan yang sebenarnya. Media sosial sering kali lebih tertarik pada yang viral, lucu, dan menarik perhatian, daripada yang berbobot dan mendidik secara mendalam. Hal ini bisa membuat para ahli merasa terpinggirkan, karena ilmu pengetahuan yang mereka bawa tidak se-“clickbait” atau se-menarik konten-konten ringan.
4. Panggilan Moral untuk Meluruskan
Banyak orang yang benar-benar berkompeten di bidangnya merasa terpanggil secara moral untuk meluruskan kesalahpahaman atau penyebaran informasi yang dianggap tidak tepat.Saya merasa bertanggung jawab untuk berbicara lantang demi menjaga kualitas pendidikan dan tidak ingin masyarakat disesatkan oleh figur yang dianggap “tidak kompeten”. Isu-isu pendidikan bukan sekadar hiburan atau konten viral, tapi memiliki dampak jangka panjang terhadap generasi masa depan.
5. Kemarahan Terpendam dan Kesempatan untuk Bersuara
Bisa juga ada perasaan frustrasi terpendam di kalangan para ahli pendidikan yang selama ini merasa tidak mendapat cukup ruang untuk berbicara atau dilibatkan dalam diskusi publik tentang pendidikan. Mereka mungkin merasa isu-isu pendidikan selama ini diabaikan, atau pendapat mereka tidak terlalu didengar oleh publik atau pemerintah. Fenomena ini kemudian memicu mereka untuk akhirnya berbicara lantang, mungkin karena ini adalah momen yang memperlihatkan bagaimana masalah pendidikan bisa disalahpahami oleh masyarakat luas jika tidak ditangani dengan baik.
Kenapa “Kemarin Ke Mana Aja”?
Pertanyaan ini mungkin muncul karena para ahli pendidikan baru mulai lantang bersuara ketika fenomena ini viral. Kenapa sebelumnya mereka diam? Ada beberapa alasan:
Tidak banyak perhatian dari publik terhadap masalah-masalah pendidikan sebelumnya. Banyak ahli mungkin sudah berbicara soal isu-isu penting, tapi kurang mendapat sorotan karena publik tidak tertarik pada topik yang tidak “viral.”
Media sosial dan algoritma. Banyak konten pendidikan yang serius kalah pamor dibandingkan konten yang lebih ringan atau viral. Baru setelah isu ini mendapat perhatian luas, para ahli merasa perlu berbicara lebih keras agar pendapat mereka juga didengar.
Kekurangan platform atau akses. Tidak semua orang yang ahli dalam pendidikan punya platform besar atau pengaruh di media sosial. Ketika fenomena viral seperti ini muncul, itu menjadi momen bagi mereka untuk mengambil kesempatan berbicara, memanfaatkan gelombang perhatian yang sedang terjadi.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sering kali isu-isu serius diabaikan sampai ada sesuatu yang viral, baru kemudian para ahli dan orang-orang yang kompeten merasa perlu turun tangan untuk memperbaiki persepsi yang mungkin sudah salah di mata masyarakat.
Abu al-Laits As-Samarqandy atau Abu al-Laits Nashr bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim As-Samarqandy adalah ulama asli Uzbekistan. Seorang faqih, ahli hadits, dan tafsir. Beliau dikenal penutur nasihat yang sangat bermanfaat. Salah satu kitab karyanya yang sangat terkenal adalah: Tanbiih al-Ghaafiliin (pengingat bagi mereka yang lupa).
Mengutip tulisan Dr. H. Thobib al-Asyhar, MA dalam salah satu tulisanya yang mengatakan bahwa di dunia pesantren, kitab tersebut menjadi bahan kajian penting bagi para santri yang bisa menjadi bekal kehidupan kelak setelah kembali ke masyarakat. Salah satu tema yang dibahas dalam kitab tersebut adalah tentang ciri-ciri orang bodoh. Selain menggunakan bahasa yang mudah, juga mengulas tema-tema menarik yang sangat bermanfaat bagi kehidupan.
Konsep yang dibangun pada tema tersebut, Abu al-Laits tidak menyoroti pada aspek kemampuan kognitif, tetapi lebih pada unsur karakter individu yang bersifat moral dan mental, sehingga dibuat sebuah kategori ciamik yang mungkin belum terpikirkan oleh orang lain.
Dalam kitab tersebut dijelaskan untaian hikmah dari bijak bestari (hakiimu al-hukamaa), bahwa ada 6 ciri-ciri orang bodoh. Pertama, marah tanpa sebab. Kedua, berbicara tanpa ada manfaatnya. Ketiga, memberikan sesuatu tidak pada tempatnya. Keempat, mengumbar rahasia kepada siapapun. Kelima, mudah percaya kepada siapapun. Dan keenam, tidak mampu membedakan mana teman dan mana musuh.
Ciri pertama, marah tanpa sebab. Orang yang tiba-tiba marah tentu sangat membingungkan orang lain. Meski marah adalah unsur manusiawi, jika marah tanpa sebab kepada orang yang tidak mengerti apa kesalahannya bisa membuat orang lain tersinggung. Marah tanpa sebab bisa jadi karena faktor emosi yang tidak terkendali berdasarkan ilusi atau halusinasi yang dapat merusak hubungan sosial. Pada saat yang sama, ia dikaruniai akal dan hati yang seharusnya mampu menjadi “kompas” bagi sikap dan perilakunya. Artinya, guru Gembul gegabah menvonis orang lain bodoh padahal ia sendiri tidak sadar kalau dirinya sendiri yang bodoh.
Ciri kedua, berbicara tanpa ada manfaatnya. Lisan diciptakan Tuhan sebagai alat komunikasi dengan sesama dan untuk menyampaikan hal-hal baik dan bermanfaat. Jika lisan yang kita miliki untuk berbicara tentang hal-hal yang tak berguna, apalagi menyinggung dan menyakiti perasaan orang lain, maka orang tersebut dikategorikan sebagai orang yang bodoh. Semakin banyak berbicara, semakin berpeluang kepleset lisan yang bisa menjadi petaka. Ingat, mulutmu harimaumu! Artinya ia kerakali diskusi asbul yaitu asal bunyi tanpa data yang akurat seperti yang terjadi tahun lalu antara dirinya dan ustad Nuruddin dimana ia dibantai karena tidak argumentatif.
Ciri ketiga, memberikan atau menempatkkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebagai makhluk yang berakal dan berhatinurani, hendaknya memberikan sesuatu kepada orang yang tepat. Jangan berikan anak kecil mainan berupa pisau atau korek api yang bisa membahayakan diri anak tersebut atau orang lain. Bisa pula dipahami, termasuk orang bodoh jika kita menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Alangkah tidak bijak mengenakan baju renang saat belanja ke mall. Guru gembul, selalu mengomentari sesuatu yang bukan ahlinya sehingga ia menjadi bahan ledekan dan cibiran para netizen.
Ciri keempat, mengumbar rahasia kepada siapapun. Rahasia yang kita ketahui hendaknya tidak dibuka kepada orang lain. Apalagi rahasia itu menyangkut aib atau keamanan saudara kita. Bukankah muslim yang baik adalah ketika dia mampu menutupi aib saudaranya sendiri? Rahasia yang kita ketahui adalah “amanah” sosial dan spiritual. Tentu memiliki risiko jika kita membocorkan rahasia kepada orang yang tidak berhak tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Bukankah banyak pertikaian terjadi dalam sejarah kemanusiaan disebabkan oleh rahasia yang bocor?
Ciri kelima, mudah percaya kepada siapapun. Tidak semua orang bisa dipercaya untuk mengemban amanah dengan baik. Karenanya, merupakan sebuah kebodohan jika kita mempercayakan sesuatu kepada orang-orang yang kita tidak tahu track record-nya. Istilah mudahnya, jangan pernah percaya kepada orang untuk menyimpan harta kepada seorang pencuri. Jangan pernah percayakan jabatan publik kepada seorang pengkhianat. Dengan lugas Abu al-Laits menyebut orang yang mempercayai semua jenis manusia tergolong orang-orang bodoh.
Keenam, tidak mampu membedakan mana teman dan mana musuh. Coba bayangkan jika dalam keadaan perang, kita tidak bisa membedakan mana kawan, mana lawan, pasti akan terjadi kekacauan, bahkan kekalahan. Dalam kehidupan sehari-hari, mungkin kita “merasa” tidak memiliki musuh, tetapi paling tidak kita bisa mengenali sesiapa yang perlu kita berikan respek lebih dengan orang yang cukup dihargai saja. Artinya, sikap dan perilaku kita kepada orang lain diperlukan kemampuan untuk membaca situasi, agar tidak terjebak dalam kebodohan yang tidak faedah.
Semoga kita tidak termasuk salah satu golongan yang memiliki karakteristik seperti disebutkan Abu al-Laits as-Samakarqandy tersebut. Amin ya Rabb.
Salam akal sehat, Bondowoso, 19 Oktober 2025
Dr. KHM. Saeful Kurniawan, MA., Penulis
























