“Khalifah ditawan
antara penasihat dan orang jahat
berucap sebagaimana keduanya berucap
laksana burung beo yang taat”(Ibn Khaldun, Mukaddimah, h. 42)
BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Demikianlah rubayyat yang dikutip Ibn Khaldun dalam Mukaddimah-nya demi menggambarkan bagaimana kekuasaan dan imperium rusak dan keropos dari dalam, oleh mereka yang berada di lingkaran kekuasaan itu sendiri, ketika para penguasa dikendalikan para penjilat dan orang-orang dekatnya yang sibuk kasak-kusuk demi mengamankan dapur dan jabatan mereka di lingkaran kekuasaan, kepentingan mereka. Rubayyat (puisi empat baris) tersebut dikutip Ibn Khaldun untuk menggambarkan bagaimana kekuasaan dinasti hancur dan runtuh setelah mengalami kejayaan, seperti yang menimpa Dinasti Abbasiyah yang para pendirinya merupakan keturunan paman Nabi Muhammad saw, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib, namun ironisnya justru memburu dan membunuh kaum Syiah yang merupakan keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, serta mengabaikan haramnya menumpahkan darah Ahlul Bait dalam Islam.
Ibn Khaldun menggambarkan bagaimana para penguasa yang lemah dan jauh dari agama kerapkali mengambil kebijakan yang justru akan merongrong legitimasi mereka sendiri dan menjauhi agama. Lalu subur lah praktik korupsi, hedonisme, pajak tinggi yang membebani rakyat demi gaya hidup mewah para elit, dan membiarkan para elit di sekelilingnya melakukan korupsi. Para elit yang menawan sang khalifah (penguasa), para elit yang justru akan meruntuhkan imperium itu sendiri langsung dari jantung kekuasaan. Mukaddimah-nya Ibn Khaldun memang bicara tentang sejarah, tapi lebih dari itu, buku tebal-nya adalah pelajaran berharga tentang bagaimana kekuasaan dinasti hancur dari dalam.
Terlepas dari pandangannya yang memahami sejarah sebagai siklus, dari kelahiran hingga keruntuhan, anjuran dan pemikiran Ibn Khaldun untuk menggunakan ilmu politik, kebudayaan, sosiologi dan lainnya dalam kajian (penelitian) dan penulisan sejarah, merupakan khazanah dan terobosan inovatif bernas yang amat berharga dan mencerahkan: “Orang yang ingin menekuni bidang sejarah membutuhkan ilmu politik, karakter-karakter alam, perbedaan bangsa-bangsa, kawasan dan zaman…Di samping itu ia harus menguasai masa sekarang untuk membandingkan masa lalu, mencari sisi-sisi persamaan dan sisi-sisi perbedaan antara keduanya, menggali latar-belakang persamaan dan latar-belakang perbedaan tersebut…Orang yang menekuni ilmu sejarah juga harus mengetahui prinsip-prinsip tentang kerajaan, agama, permulaan kemunculannya, faktor-faktor eksistensinya, kondisi orang-orang yang berkecimpung di dalamnya, dan berita-berita mereka sehingga ia dapat menguasai latar-belakang setiap beritanya” (h. 47).
Hal lain yang menarik dan penting digarisbawahi adalah kepercayaan Ibn Khaldun pada perubahan peradaban itu sendiri: “Di antara kekeliruan yang samar dalam bidang sejarah adalah lalai dari pergantian situasi dan kondisi yang dialami bangsa-bangsa dan generasi-generasi yang beriringan dengan pergantian zaman dan waktu. Ini adalah penyakit berbahaya yang sangat samar. Sebab, perubahan atau pergantian tersebut tidak terjadi kecuali dalam rentang waktu yang sangat lama, sehingga hanya dipahami oleh segelintir orang saja. Hal itu karena kondisi dunia, bangsa-bangsa, tradisi-tradisi mereka, dan keyakinan-keyakinan mereka tidak menetap dengan satu pola saja, tapi mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan mengalami perpindahan keadaan” (h. 47-8).
Pandangan Ibn Khaldun itu kemudian dikembangkan Mazhab Annales Perancis di abad kedua-puluh, sebagai misal, yang menekankan sejarah sosial jangka panjang dengan fokus pada struktur sosial dan longue durée (jangka panjang). Secara garis besar, Mazhab Annales memadukan ilmu sejarah dengan ilmu sosial. Berabad-abad sebelumnya Ibn Khaldun menulis dalam Mukaddimah-nya: “Hakikat sejarah adalah berita tentang sisi sosial umat manusia sebagai elemen peradaban dunia dan hal-hal yang dialaminya…” (h. 57). Terkait politik dinasti yang merupakan salah satu tema sentral Mukaddimah-nya itu, menurutnya berawal dari kekuatan ‘ashabiyah (solidaritas kelompok/suku/komunitas) yang kuat, namun secara alamiah akan melemah seiring waktu dan hanya akan mampu bertahan selama empat generasi saja. Setelah generasi keempat, ‘ashabiyah akan memudar dan melemah karena faktor-faktor seperti kemewahan (hedonisme) para elite dan perpecahan, menyebabkan keruntuhan negara atau kekuasaan yang mereka bangun, dan kemudian akan digantikan oleh dinasti baru yang memiliki ‘ashabiyah lebih kuat.
Kajiannya tentang ashabiyah (solidaritas kesukuan) atau sentimen dinasti membuatnya dipandang pula sebagai pelopor sosiologi politik –sebab disadari atau pun tidak disadari oleh Ibn Khaldun sendiri, Mukaddimah-nya merupakan kajian sosiologi dan politik sekaligus, selain sebagai kajian sejarah. Mukaddimah-nya dipandang banyak ahli dan pakar di Barat sebagai penyedia awal basis konseptual, espistemologis dan paradigmatik bagi kajian (penelitian) masyarakat dan peradaban dalam ragam disiplin keilmuan, entah itu sosiologi, sejarah, kajian politik (political science) dan lainnya. Sangat wajar jika penerjemahan Mukaddimah ke dalam bahasa-bahasa Eropa pun mengalami cetak ulang.
Dalam Mukaddimah itu, arti dan maksud yang lebih dekat untuk mendefinisikan ashabiyah menurut penulisnya adalah ikatan dan solidaritas yang terbentuk atas dasar kesatuan genetika (nasab), sebagaimana para pendiri kekhalifahan (Negara) adalah dinasti, seperti dinasti Umayyah, Abbasiyah, Muwahhidun, Fatimiyah dan lainnya. Menurut Ibn Khaldun, kesatuan nasab (darah, gen.) menjadi alasan paling alami (paling dasar) dalam membentuk solidaritas sosial dan politik. Dalam sejarah sosial politik Islam dan bangsa-bangsa Arab, ikatan dan solidaritas tersebut bisa berbentuk kesatuan (kesamaan ras), budaya, bahasa dan kelompok. Sentimen dan solidaritas tersebut menurut Ibn Khaldun lebih kuat di masyarakat perdesaan, (Arab Badwi), yang sangat berbeda dengan masyarakat kota (urban) yang relasi dan kohesi sosialnya lebih banyak dibentuk dan dijalankan oleh institusi yuridis dan daulah (Negara).
Perhatian dan penekanan Ibn Khaldun pada fungsi (peran) positif kekeluargaan (berdasarkan nasab) atau kesukuan (ashabiyah), pada akhirnya berpengaruh pada pandangannya tentang kepemimpinan (politik). Dalam hal ini, Ibn Khaldun membedakan dua kategori (bentuk) ashabiyah: Pertama, identitas kesukuan umum (al-amm), di mana ia merujuk ikatan sosial (solidaritas) yang terbentuk pada jalur genealogi (nasab) yang lebih dekat; dan Kedua, identitas kesukuan khusus (al-khass), di mana ia merujuk ikatan sosial (solidaritas) yang terikat (tercipta) oleh garis kekerabatan yang lebih jauh. Menurutnya, karena kepemimpinan (politik) membutuhkan (meniscayakan) ikatan (solidaritas) yang kuat (ajeg), maka ashabiyah yang terikat (tercipta) oleh ikatan yang lebih khusus lebih dibutuhkan demi menopang keberlangsungan kekuasaan politik (Negara) dalam jangka waktu lama –karena menurutnya dalam satu kepemimpinan politik di mana ketundukan merupakan wujud legitimasi paling penting dan paling jelas, sudah tentu membutuhkan (meniscayakan) daya ikat (solidaritas) yang lebih kuat, sedangkan ikatan kekerabatan (nasab) yang lebih luas semata dalam rangka membangun ikatan sosial secara umum.
Menurut Ibn Khaldun dalam Mukaddimah-nya itu, ikatan (solidaritas) kesukuan yang didasarkan ikatan kekerabatan lebih dekat lebih dibutuhkan demi menciptakan (membangun) integrasi bangsa (stabilitas politik) dalam satu ikatan kepemimpinan. Ibn Khaldun mencontohkan suku (kekeluargaan Qurays) sebagai bukti sejarah kekuatan lebih besar ketimbang kekeluargaan lain yang sama-sama keturunan Adnan.
Secara metodologis, kajian (penelitian) dan penulisan sejarah Ibnu Khaldun menekankan penerapan metode “ilm al-‘umran” (kajian atau ilmu peradaban) yang mengkombinasikan analisis sosiologis dengan kritik sumber yang ketat (metode dirayah, dalam studi hadits dikenal jarah wa ta’dil) untuk memahami sejarah secara mendalam dan menghilangkan keraguan dan kepalsuan atau distorsi. Ia menolak narasi sejarah tradisional yang cenderung bias, dengan mendorong para sejarahwan agar tak semata mencatat peristiwa belaka, melainkan keniscayaan menganalisis faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang memengaruhinya. Sebuah metode yang di abad kedua puluh hingga saat ini, contohnya, diterapkan juga oleh sejarah mentalitas Mazhab Annales Perancis. Selain itu, Ibnu Khaldun pun memperkenalkan teori siklus sejarah, yang berpendapat bahwa peradaban mengalami fase pertumbuhan, kejayaan, kemunduran, dan kehancuran secara berulang.
Dengan Mukaddimah-nya yang fenomenal dan legendaris itu, Ibnu Khaldun menjadikan sejarah sebagai kajian (penelitian) dan penulisan tentang masyarakat dan peradaban, bukan sekadar kronik peristiwa atau catatan-catatan kejadian belaka. Ia menganalisis perubahan sejarah melalui faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang saling berinteraksi satu sama lainnya. Sebagai seorang sejarahwan dan filsuf sejarah, Ibnu Khaldun sangat kritis terhadap warisan penulisan para sejarawan sebelumnya yang sering kali menerima sumber tanpa verifikasi, sehingga acapkali mengandung distorsi dan cerita-cerita yang tidak rasional, tidak ilmiah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Metode dirayah-nya menuntut analisis rasional dan kritik sumber yang ketat untuk membedakan fakta dari bias dan tendensi (kecendrungan) melebih-lebihkan. Tak hanya itu, Ibn Khaldun pun menganjurkan penggunaan (praktik) observasi langsung dan wawancara untuk mendapatkan data yang akurat, seperti yang dilakukannya saat meneliti masyarakat Arab dan Afrika Utara. Adapun teori siklus peradaban yang dimaksudnya dipicu oleh faktor-faktor seperti perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terus berkembang. Sementara itu, konsep ‘ashabiyah (solidaritas kelompok/kesukuan) yang ia ajukan tak lain untuk menjelaskan dinamika kekuasaan dalam sejarah sosial politik (kekuasaan), terutama bangsa-bangsa Arab dan Afrika. Singkatnya, apa yang dipelopori Ibn Khaldun adalah bersikap ilmiah dan rasional bagi seorang penulis dan peneliti, tak hanya dalam bidang sejarah tentunya, tapi juga bidang-bidang keilmuan lainnya.
Tulisan ini merupakan resensi bagian kedua dari sebuah buku terjemahan Mukaddimah-nya Ibn Khaldun oleh Masturi Irham, Malik Supar dan Abidun Zuhri yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar tahun 2001 (cetakan ketiga).
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























