JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Berita tentang seorang hansip ditembak dua pelaku pencurian motor di Cakung seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak—bukan sekadar untuk marah, tapi untuk merenung. Bagaimana mungkin seorang penjaga kampung, simbol keamanan rakyat kecil, justru harus meregang nyawa di tanah yang seharusnya aman bagi orang jujur?
Pertanyaan yang lebih menggetarkan adalah: dari mana para pelaku bisa mendapatkan senjata dengan begitu mudahnya? Negeri ini konon memiliki aparat keamanan lengkap, tapi senjata api beredar seolah warung kopi di pojok gang. Ini bukan sekadar soal kriminalitas; ini adalah tanda-tanda sebuah masyarakat yang sedang kehilangan arah.
Kejadian di Cakung bukan peristiwa tunggal, melainkan potongan kecil dari mozaik besar: meningkatnya kekerasan di tengah keterhimpitan ekonomi. Harga-harga naik seperti roket tanpa bahan bakar cadangan. Beras, minyak, telur, bahkan kebutuhan paling dasar kini terasa mewah bagi banyak keluarga. Ketika perut lapar, logika mudah tumpul. Di saat itu, kejahatan menemukan tanah suburnya.
Banyak yang menyalahkan individu pelaku. Tapi sesungguhnya, para pelaku itu lahir dari sistem yang menciptakan rasa frustrasi kolektif. Ketimpangan sosial melebar; mereka yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin kehilangan bahkan hak untuk berharap. Pengangguran tinggi bukan sekadar statistik, tapi wajah muram ribuan kepala keluarga yang setiap pagi keluar rumah dengan pertanyaan sederhana: “Hari ini anakku makan apa?”
Kita tentu tidak sedang membenarkan tindakan kriminal. Mencuri motor dan menembak orang tidak bisa ditoleransi. Tapi kita juga tak bisa menutup mata terhadap akar persoalannya: ekonomi yang menjerat, sistem sosial yang timpang, dan negara yang terlalu sering absen di tengah penderitaan rakyat kecil.
Lebih menyakitkan lagi, senjata api—simbol kekuasaan dan kekerasan—beredar di tangan yang salah. Entah dari pasar gelap, sisa konflik, atau kelengahan aparat, yang jelas nyawa kini semakin murah. Jika keamanan bisa dibeli di pasar gelap, maka keadilan pun tampaknya sedang dijual di toko sebelah.
Tembakan di Cakung bukan hanya merenggut nyawa seorang hansip, tapi juga menembus jantung nurani kita sebagai bangsa. Ia mengingatkan bahwa di balik deretan gedung pencakar langit dan jargon pertumbuhan ekonomi, ada rakyat yang hidup dalam ketakutan dan keputusasaan.
Negara tidak cukup hanya mengutuk. Ia harus hadir: menekan harga bahan pokok, membuka lapangan kerja, dan menutup rapat jalur peredaran senjata ilegal. Karena jika negara terus absen, rakyat akan mencari caranya sendiri untuk bertahan—entah dengan tangan, atau dengan peluru.
Kita sering membanggakan diri sebagai bangsa yang ramah dan religius. Tapi apa arti semua itu jika di jalanan, rasa lapar bisa mengalahkan akal sehat, dan peluru bisa menembus tubuh penjaga kampung yang hanya ingin melindungi tetangganya?
Mungkin sudah saatnya kita sadar: kejahatan bukan hanya lahir dari niat jahat, tapi dari keadaan yang terus memaksa manusia kehilangan kemanusiaannya. Dan di tengah hiruk pikuk harga yang melambung dan moral yang merosot, pertanyaan paling sunyi pun menggema:
“Masih adakah ruang aman untuk rakyat kecil di negeri ini?”
KHM. Bahaudin (Gus Baha), Sekretaris PWNU DKI Jakarta























