CIREBON | LIPUTAN9NEWS
Dinamika internal di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) baru-baru ini memperlihatkan ketegangan antara struktur tertinggi (Syuriah yang dipimpin Rais Aam KH Miftachul Akhyar) dan eksekutif (Tanfidziyah yang dipimpin Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya).
Konflik ini bermula dari mosi tidak percaya Syuriah terhadap Ketua Umum Tanfidziyah, yang berujung pada permintaan pengunduran diri yang tidak diindahkan, memicu serangkaian peristiwa yang menguji marwah organisasi.
“Langkah awal Syuriah dan Rais Aam yang meminta Gus Yahya untuk mengundurkan diri secara baik-baik merupakan tindakan bijaksana yang mengedepankan etika dan penyelesaian internal demi menjaga marwah PBNU di mata public,” kata Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH. Imam Jazuli.
Ia melanjutkan, dalam struktur NU, Syuriah adalah badan legislatif dan yudikatif tertinggi yang mengawasi Tanfidziyah, sehingga keputusannya bersifat mengikat. Imbauan ini didasari adanya dugaan “pelanggaran berat” berupa menyusupnya agen zionisme dan tata kelola keuangan yang melanggar hukum syara’ yang dinilai merugikan organisasi.
“Permintaan mundur ini memberikan kesempatan bagi Ketua Tanfidziyah untuk introspeksi atau menjelaskan duduk perkaranya dalam forum internal yang tertutup, sehingga konflik tidak meluas ke ranah publik. Ketua Tanfidziyah, alih-alih mengindahkan himbauan tersebut, justru menolak keputusan Syuriah, menyebut rapat Syuriah tidak sah dan tidak berwenang memecatnya,” ujar Kiai Imam.
Gus Yahya, lanjut Pengurus PBNU periode 2010-2015 ini, kemudian mengambil langkah politis dengan menggalang kekuatan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) di Surabaya. Namun, upaya ini dinilai sepi dukungan dan tidak efektif.
“Laporan media mengindikasikan bahwa meskipun Gus Yahya mengumpulkan para Ketua PWNU se-Indonesia, banyak di antara mereka yang memilih untuk tidak hadir dalam pertemuan di Surabaya tersebut. Hanya 11 Ketua PWNU saja yang hadir,” ungkapnya.
Maka, menurut Kiai Imam, hal tersebut bertentangan dengan klaim dukungan penuh dari jajaran PWNU se-Indonesia. Ketidakhadiran yang signifikan ini dapat diartikan sebagai kurangnya soliditas dukungan struktural dari seluruh PWNU.
Bahkan, manuver selanjutnya Gus Yahya mengundang sekitar 76 alim ulama ke PBNU, namun dari Sumber terpercaya yang ia dapat, menyebutkan hanya 5 ulama yang hadir dari semestinya 76 undangan. Kelimanya itu adalah Gus Ghofur, Kiai Said Asrori, Gus Athoillah, Kiai Ubaidillah Shodaqoh, dan Syeh Ali Akbar Marbun.
Ketidakhadiran mayoritas ulama, termasuk beberapa Mustasyar PBNU, lanjut Kiai Imam, menimbulkan keraguan serius terhadap dukungan kultural (para kiai dan ulama senior) terhadap kepemimpinan Gus Yahya.
“Sekali lagi, fakta rendahnya partisipasi, baik dari segi struktural (ketua PWNU) maupun kultural (alim ulama), dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan Gus Yahya di tengah krisis kepemimpinan, menjadi bukti kuat betapa lemahnya dukungan penuh dari seluruh elemen Nahdlatul Ulama. Dan, ini memperkuat argumen bahwa basis dukungan Gus Yahya, meskipun ada, tidak sebulat suara seperti yang diklaim,” ujarnya.
Kiai Imam melanjutkan, melihat respons Ketua Tanfidziyah yang tidak kooperatif dan bahkan terkesan “melawan” (sebagaimana istilah dalam permintaan, ‘mbahlelo’), Syuriah segera mengambil sikap tegas. Langkah Syuriah sebaiknya segera mengadakan pleno Syuriah untuk memberhentikan Ketua Tanfidziyah dan mengangkat Pejabat Sementara (Pjs) adalah puncak dari langkah bijaksana dalam menegakkan aturan organisasi.
“Untuk memastikan bahwa keputusan pimpinan tertinggi (Rais Aam dan Syuriah) dihormati dan dijalankan, perlu ditegakkan aturan dengan tindakan disiplin lanjutan, sebagai upaya mencegah potensi kerusakan lebih lanjut akibat konflik berkepanjangan dan dugaan pelanggaran berat,” katanya.
Maka, menurtnya, pengangkatan Pjs dan pendaftaran perubahan struktur di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) merupakan tindakan administratif yang sah secara hukum untuk memastikan keberlangsungan organisasi dan menghindari kevakuman kepemimpinan.
Dengan langkah-langkah tersebut, kata Kiai Imam, maka Syuriah dan Rais Aam PBNU menunjukkan kebijaksanaan yang berimbang antara mengedepankan etika internal dan ketegasan struktural. Mereka, lanjut dia, telah memberikan kesempatan penyelesaian secara musyawarah, namun ketika tidak diindahkan, mereka menggunakan mekanisme organisasi yang sah (pleno) untuk mengambil keputusan demi menjaga marwah dan stabilitas PBNU.
“Dukungan dari berbagai elemen NU, termasuk Poros Muda NU, terhadap keputusan Rais Aam semakin memperkuat legitimasi tindakan Syuriah tersebut,” pungkas Kiai Imam.
























