YOGYAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Di sebuah tikungan sejarah, ketika angin transformasi bertiup kencang, Nahdlatul Ulama, rumah besar para kiai dan umat, berdiri di persimpangan jalan. Ia mungkin ibarat perahu tua yang sarat makna, mengarungi zaman dengan petuah “tawassuth” (moderat) dan “tasamuh” (toleran). Namun belakangan, nahkoda di pusat kemudi seolah lupa akan kompas kearifan itu. Sebuah bayang-bayang baru membentang: sentralisme yang dingin, nyaris militeristik, melingkupi denyut nadi organisasi khidmah ini.
Dalam sejarahnya, pada mulanya, NU adalah himpunan para kiai pesantren atau setidaknya dari lembaga pendidikan diniyah, sebuah majelis ilmu, dengan akar rumput yang hidup dari kesederhanaan dan ketulusan. Kini, ia juga sebuah organisasi raksasa, dengan struktur yang menjangkau desa-desa. Struktur, bagaimanapun, mensyaratkan aturan, dan aturan sering kali berhadapan dengan “kuasa”.
Kita melihat bagaimana PBNU hasil Muktamar Lampung ke 34, dalam beberapa waktu terakhir, seolah bertangan besi dan memegang palu godam organisasi. Bukan sekadar menegakkan disiplin, tapi juga, dalam pandangan beberapa pihak, menabrak tradisi musyawarah. Ada PWNU dan PCNU yang dikarteker. Ada hasil Konferwil dan Konfercab yang dibatalkan, ditolak, bahkan pengurusnya dipecat. Di Makassar, di Karawang, di Jombang, dan entah di mana lagi, suara “akar rumput” yang termanifestasi dalam keputusan konfercab seolah menguap di hadapan keputusan pusat.
Kuasa, tentu saja, diperlukan dalam organisasi sebesar NU. Tanpa itu, struktur bisa runtuh. Namun, ketika kuasa itu digunakan untuk membatalkan suara dari bawah secara sepihak, tanpa proses klarifikasi yang memadai, ia mulai terasa seperti arogansi. Para kiai di daerah meradang. Mereka merasa proses demokrasi internal yang mereka jalani, sesuai AD/ART, diabaikan begitu saja.
Fenomena ini mengingatkan kita pada ironi sebuah institusi yang lahir dari semangat menolak penjajahan dan membela kedaulatan, kini bergulat dengan isu “penjajahan” internal dalam bentuk sentralisasi kuasa yang berlebihan. Dalihnya mungkin efisiensi, atau mungkin penyelamatan organisasi dari konflik lokal. Tapi, bukankah konflik lokal seharusnya diselesaikan secara lokal, dengan kearifan yang juga lokal?
Ketika PBNU menunjuk karteker, mandat utamanya sering kali adalah menyelenggarakan konferensi ulang. Namun, dalam beberapa kasus, mandat itu terkatung-katung, atau keputusan kartekernya sendiri ditolak oleh mayoritas MWC. Ini menunjukkan adanya keretakan komunikasi, atau yang lebih parah, krisis kepercayaan. NU, dengan segala kebesarannya, selalu mengajarkan tawasuth (moderat) dan tasamuh (toleransi). Nilai-nilai ini seharusnya juga berlaku dalam berorganisasi secara internal.
Kuasa di PBNU, di tangan siapa pun ia berada, mestinya dijalankan dengan penuh kearifan, bukan sebagai alat pukul. Sebab, pada akhirnya, yang membuat NU besar bukanlah struktur dan SK, melainkan hati dan kesetiaan jutaan Nahdliyin yang merasa memiliki rumah teduh dan kearifan bersama. Ketika rumah itu terasa tidak nyaman karena keputusan dari “atas”, maka kegelisahan akan terus ada. Sejarah akan mencatat, apakah ini sekadar riak kecil, atau awal dari perubahan yang lebih besar.
Ketika PBNU terlanjur memilih jalan pintas birokrasi—mengirim karteker, membatalkan hasil Konfercab dan Konferwil, menolak rencana permusyawaratan di daerah—mereka seakan menegasikan denyut nadi keberagaman itu. Sebuah ironi, sebab NU tumbuh dari rahim pesantren yang paling cair dan luwes, bukan dari barak tentara yang kaku.
“Arif” adalah kata kunci yang mungkin mulai hilang dalam kamus tindakan pusat. Kearifan, adalah kemampuan untuk mendengar yang tak terkatakan, melihat yang tersamar; sebuah seni mengelola perbedaan tanpa harus memaksakan keseragaman. Pendekatan sentralistik, sebaliknya, adalah palu godam yang memukul rata, membunuh tunas-tunas inisiatif di akar rumput. Ia menciptakan keteraturan semu, namun melukai jiwa organisasi yang seharusnya bernafaskan khidmah—pelayanan tulus, bukan kekuasaan yang mengontrol.
Kita rindu pada “jalan tengah” yang otentik. Bukan kompromi yang dipaksakan dari atas, melainkan musyawarah mufakat yang tumbuh dari bumi pesantren itu sendiri. Ketika keputusan pusat mematikan hasil konsensus di daerah, yang terjadi bukanlah penegakan aturan, melainkan pengebirian demokrasi internal. Aspirasi jemaah di pelosok seolah hanya riak kecil yang tak berarti di hadapan gelombang besar kekuasaan Jakarta.
Seperti yang sudah-sudaah sering terjadi bagaimana “kuasa” seringkali membungkam “suara” dan lentera kecil di desa, kecamatan dan kabupaten, hingga wilayah cahayanya kini banyak redup ditiup angin kencang dari kota metropolitan. Cahaya itu adalah kearifan lokal, tradisi musyawarah, dan kemandirian berpikir para kiai di daerah. Ketika angin sentralisme bertiup, lentera itu terancam padam.
NU, dengan sejarah panjangnya, seharusnya menjadi teladan dalam mengelola keragaman. Pendekatan yang lebih arif, yang mengedepankan dialog ketimbang diktat, adalah sebuah keniscayaan. Menghentikan fenomena kartekerisasi yang massif dan menghargai proses demokrasi di tingkat cabang dan wilayah bukanlah bentuk kelemahan, melainkan manifestasi nyata dari kearifan sejati. Sebab, pada akhirnya, organisasi khidmah akan dinilai bukan dari seberapa kuat cengkeraman pusatnya, melainkan seberapa tulus ia melayani umatnya di setiap penjuru negeri. Wallahu’alam bishawab.
Dr. KH. Aguk Irawan MN, Lc, MA, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Yogyakarta, Santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma’had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).
























