Sekilas Gerakan Wahabi
Wahabi adalah gerakan puritanisme Islam yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman at-Tamimi (1115-1206 H / 1703-1792 M) dari Najd, Semenanjung Arabia. Istilah Wahabi telah dikenal semasa Ibn Abdul Wahab hidup, diantara yang menamakan gerakan ini sebagai gerakan wahabi adalah saudara kandung Muhammad Bin Abdul Wahab sendiri yaitu Sulaiman Bin Abdul Wahab. Kelompok ini menyatakan bahwa mereka bukanlah sebuah mazhab atau kelompok aliran Islam baru, tetapi hanya mengikuti seruan (dakwah) untuk mengimplementasikan ajaran Islam yang (paling) benar sesuai al-Qur’an dan Sunnah.
Wahhabi gemar membuat daftar panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya menyimpang, yang bila diyakini atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang muslim berstatus kafir. Sikap kaku, skriptualis, fanatik buta, memahami agama tidak disertai metodologi pemahaman keagamaan sebagaimana dilakukan dan dirumuskan para ulama dari generasi kegenerasi, sejak generasi salaf hingga kholaf menjadi trade mark mereka. Tak ayal semua yang berbeda tidak aman dari lebel bid’ah, sesat, kafir, dan menyalahi sunnah.
Merekapun membuat pemetaan sendiri secara rancu dan subyektif, mana amalan sunnah, mana yang tidak nyunnah. Mana masjid sunnah dan mana masjid yang bukan sunnah. Mana ustadz sunnah dan mana ustadz yang bukan sunnah. Lucunya, tidak jarang sesama mereka melakukan tahdzir dan saling menyesatkan akibat sikap kaku ini.
Pada perkembangannya, mereka merubah lebel menjadi kaum salafi untuk menghindari sorotan krusial terhadap gerakan wahabi. Dengan lebel salafi, seakan-akan mereka mengklaim sebagai generasi salaf, dan paling berpijak pada manhaj salaf, walau pada kenyataannya justru kaum wahabi inilah yang banyak menyalahi manhaj dan gerakan salaf (salafuna-sholeh)
Metamorfosis penamaan ini terjadi, terutama, dengan masuknya Nashiruddin al-Albani dalam gerakan ini.
Bagaimanapun juga karakter gerakan dan pemahaman tidaklah bisa disembunyikan dibalik sebuah nama. Akhirnya kedua penyebutan itu digabung menjadi Salafi-Wahabi
Wahhabiyah vs Wahbiyah
Kegagalan bersembunyi dibalik nama salafi, membuat kaum wahabi mencari cara lain untuk melindungi gerakannya. Maka munculah opini bahwa kaum wahabi memang ada, eksis, faktual tapi bukanlah gerakan yang dipelopori Muhammad bin Abdil Wahab an-Najdi ini, melainkan gerakan tapi Muhammad bin Abdil Wahab Rustum.
Benarkah demikian?
Mari kita ungkap perbedaan Wahbiyah, Wahhabiyah dan Abdul Wahab Bin Rustum.
Tulisan ini adalah catatan historis yang ilmiah bukanlah untuk membuat stigma golongan tertentu.
Banyak beredar kerancuan terkait penisbatan istilah Wahabi kepada Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka (Wahhabi) menyatakan bahwa Wahhabiyyah didirikan oleh oleh Abdul Wahhab bin Rustum, bukan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Siapakah sebenarnya Abdul Wahhab bin Rustum? benarkah ia pendiri Wahhabiyyah?
Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun dijelaskan sebagai berikut :
ﻭﻛﺎﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﻗﺪ ﺃﺫﻝ ﺍﻟﺨﻮﺍﺭﺝ ﻭﻣﻬﺪ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﻓﻜﺎﻧﺖ ﺳﺎﻛﻨﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺭﻭﺡ ، ﻭﺭﻏﺐ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺩﻋﺔ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻮﻫﺎﺏ ﺑﻦ ﺭﺳﺘﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ ﻓﻮﺍﺩﻋﻪ
Dari petikan kalimat diatas, jelas sekali bahwa Abdul Wahhab bin Rustum bukan pendiri Wahhabiyyah bahkan bukan pula pendiri Wahbiyyah, melainkan termasuk pengikut Wahbiyyah (wa kana minal wahbiyyah). Perlu dicatat, bedakan antara (pen) Wahhabiyah atau Wahabi (yang popular) dengan Wahbiyah.
Lantas siapakah pendiri Wahbiyyah yang diikuti oleh Abdul Wahhab bin Rustum?. Pendiri Wahbiyyah bernama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi. Sedangkan pendiri Wahhabiyyah atau Wahhabi adalah Muhammad bin Abdul Wahhab. Pembaca sejarah yang jeli akan mengetahui perbedaan kedua istilah tersebut.
Sebetulnya ajaran yang disebarkan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum itu bukan Wahhabiyyah (ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻪ) tapi Wahbiyyah (ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ), lalu kenapa juga ajaran nya disebut Wahbiyyah ? apakah Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum ? Karena ajaran Wahbiyyah tersebut adalah nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H).
Didalam buku seorang sejarawan asal Prancis, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], terdapat bukti sejarah yang mengatakan:
“Dan sungguh mereka dinamakan Wahbiyyin (ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﻴﻦ) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang menurut sebagian sejarawan berkeyakinan bahwa ibadah mahdah seperti ibadah haji, puasa, bukanlah wajib.
Sedangkan paham tabdi’ie (hobi membid’ahkan furu’iyah), takfiri (seka mengkafirkan) fix paham yang dibawa Muhammad bin Abdil Wahab. Inipun diakui oleh ulama-ulama mereka sendiri seperti Bin Baz dalam Fatwa Nur ‘ala ad-Drb bahwa “wahabi” sebagai laqobun masyhur untuk ulama tauhed mereka yaitu Ibn Abdil Wahab.
Neo-Khowarij Zaman Ini
Menelisik gerakan mereka, kita diajak untuk napak tilas kembali dengan sebuah peristiwa besar dalam sejarah, yang dikenal dengan “al-fitnah al-kubro”.
Yaitu peristiwa perang Shiffin antara khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan Gubernur Syam Mu’awiyah bin Abi Sofyan. Perang ini diselesaikan dengan cara arbritase atau dalam tarikh disebut tahkiem.
Namun, ada segolongan orang yang tidak mau menerima cara arbitrase yang dilakukan para sahabat utama ini bahkan menganggap para sahabat telah keluar dari Islam. Itulah golongan Khowarij.
Golongan khawarij beralasan:, 1) tahkim (arbitrase) tidak punya landasan dalil yang shorih dalam al-qur’an. 2), tahkim menyalahi sunnah Rosul karena tidak pernah dilakukan beliau. 3) Siapapun yang membenarkan tahkim, sungguh ia telah melakukan perbuatan sesat, bid’ah. 4) Pelaku tahkim adalah kafir dan keluar dari Islam (padahal yang bertahkim diantaranya Ali bin Abi Thib salah satu sahabat yang dijamin masuk surga). 5) Karena sudah kafir, maka darahnya menjadi halal. Nah, inilah yang berbahaya.
Kaum Khawarij ini berkembang hingga saat ini dengan beragam baju, lebel. Ada gerakan yang mudah mengkafirkan, membid’ahkan orang lain dengan alasan dalil dan sunnah. Ada yang diterapkan kesebuah sistem bernegara dengan tuduhan, negara tidak menerapkan hukum agama. Bahkan yang ekstrim berbaju teroris dengan menghalalkan darah sesama muslim. Nah, gerakan salafi-wahabi tidak bisa dilepaskan dari mata-rantai golongan khawarij ini. Wallahu a’lam bi showab.
Oleh: KH. Khotimi Bahri, Syuriah PCNU Kota Bogor, Pengkaji dalam Komunitas Islam Wasathiyah Corner dan Staf Pengajar STIE (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam) NAPALA Bogor