Tumben Emha Ainun Najib merilis tulisan tentang Khilafah. Masyarakat kadung kenal Beliau budayawan yang lurus. Pemikirannya jernih, apa adanya dan tetap santun dalam bertutur. Dengan bahasanya yang renyah, ide besar jadi mudah dicerna oleh orang awam sekalipun. Di sini kelebihan Beliau, pandai berbahasa dengan bahasa kaumnya.
Tulisan Beliau yang berjudul The Scary Khilafah sempat menghenyak publik pasca pembubaran HTI oleh pemerintah 19 Juli lalu. Publik selama ini tahu Khilafah itu HTI, HTI ya Khilafah. Setelah HTI dibubarkan, wacana Khilafah tenggelam. Namanya juga judul, The Scary Khilafah berhasil memancing khalayak untuk menoleh ke belakang, melirik HTI sebagai pengusung utama ide Khilafah.
Aktivis HTI seolah mendapat angin segar, merasa mendapat dukungan moral, dari tokoh sekaliber Emha lagi. Mereka mulai memuji-muji Emha. Tidak sedikit aktivis HTI men-share tulisan Emha Ainun Najib ke publik. Dengan berbagai nama akun dan tidak mengaku anggota HTI agar kelihatan netral, manuver khas buser HTI.
Emha Ainun Najib masih seperti yang dulu tidak ada yang berubah. Beliau seorang yang religius, moralis, estetis dan tidak begitu berminat terjun ke politik praktis, baik dalam sistem maupun opisisi di luar sistem. Tampakmya Beliau sudah menikmati perannya sebagai budayawan berada di tengah umat dari berbagai kalangan.
Misi kosmologis manusia sebagai khalifah di muka bumi sudah diterima sebagai kebenaran sejak Adam akan diciptakan. Malaikat sempat protes, namun akhirnya menerima setelah dijawab Allah swt bahwa Dia swt lebih tau. Sebaliknya Iblis tetap menolak kehadiran Adam sampai kapanpun.
Khalifah fi ardh bermakna “mewakili” Allah swt untuk mengatur, mengurus dan memimpin kehidupan di dunia sehingga tercipta suasana yang harmonis, adil, aman, sejahtera dan makmur bagi makhluk penghuni bumi, baik dari kalangan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan abiotik.
Emha menyebut Khalifah “pengelola bumi” yang bertugas mewujudkan keadilan, keamanan, kesejahteraan dan kemakmuran. Kata Emha: “Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan.
Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.”
Khilafah yang dia maksud dalam dimensi kosmologi, moral dan esensial. Bukan Khilafah dalam konteks politik praktis. Saya tidak merasa ada hawa politik praktis di tulisannya. Pembahasan Beliau sangat normatif sarat dengan nilai-nilai moral dan substantif. Bahasanya gak nge-HTI banget.
Setiap manusia hakikatnya adalah Khalifah yang memiliki kewajiban merealisasikan misi kekhalifahannya yang tidak lain tidak bukan merupakan esensi dari Khilafah itu sendiri.
Esensi Khilafah bisa diwujudkan dimanapun, kapanpun, bentuk negara apapun dan sistem pemerintahan manapun asal ada political will dari orang per orang, termasuk penguasa politik tentunya.
“Khilafah” sebagai merk negara seperti yang diusung HTI tidak relevan dan tidak urgen dalam upaya menunaikan misi kekhalifahan manusia tersebut. Mau merk NKRI atau Khilafah atau apapun tidak jadi soal asal esensi Khilafah bisa jadi kenyataan.
Merk Khilafah tanpa esensi sudah ada sejak masa dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Jadi yang saya tangkap dari tulisan Emha Ainun Najib adalah esensi Khilafah bukan merk Khilafah seperti yang dikampanyekan oleh HTI. Bukanlah esensi Khilafah yang ditakutkan umat dan tidak mungkin umat takut akan hal itu, sebenarnya yang dikhawartirkan umat dari HTI adalah gerakan politik mereka untuk meraih kekuasaan dengan jalan kudeta mendirikan demi negara yang bermerk “Khilafah”.
Ayik Heriansyah, Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT, Penulis artikel produktif yang sering dijadikan rujukan di berbagai media massa, pemerhati pergerakkan Islam transnasional, khususnya HTI yang sempat bergabung dengannya sebelum kembali ke harakah Nahdlatul Ulama. Kini aktif sebagai anggota LTN di PCNU Kota Bandung dan LDNU PWNU Jawa Barat.