Nikmat dan karunia Allah yang dianugerahkan kepada kita merupakan sesuatu yang agung dan mulia yang dirasakan dalam setiap detik dari kehidupan setiap individu manusia. Demikian mulianya karunia nikmat yang Allah berikan kepada umat manusia, sehingga kita dibimbing agar memperoleh nikmat dan karunia sebagaimana yang diberikan kepada umat terdahulu dari masa ke masa.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah, 01:6-7).
Yang dimaksud dari mereka yang memperoleh nikmat, adalah jalan yang ditempuh para nabi, para rasul, dan orang-orang shaleh. Mereka mendapatkan petunjuk dari Allah dalam menjalani kehidupannya, sehingga memperoleh kebahagiaan yang abadi, kebahagiaan lahir dan batin, di dunia dan akhirat.
Sebagian dari manusia ada yang tidak mengikuti petunjuk Allah, tidak mengikuti bimbingan para nabi dan rasul, tapi mereka memperturutkan kemauan hawa nafsunya saja. Kelompok ini dicampakkan dalam kehinaan yang abadi, baik dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, dalam surat alfatihah di atas lebih ditegaskan lagi agar kita tidak digolongkan bersama orang-orang yang dimurkai oleh Allah dan mereka yang sesat jalan.
Orang-orang yang beriman, diarahkan agar meningkatkan iman dan takwanya kepada Allah, dan mengambil wasilah untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta berjuang di jalan-Nya. Dengan demikian, maka akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepada umat manusia, tidak akan berubah dan terjadi secara berkesinambungan sehingga manusia itu sendiri yang mengubahnya. Manusia mengubah nikmat itu dengan melakukan perbuatan yang tercela yang akan mencampakkan dirinya pada kehancuran dan dijauhkan dari rahmat Allah s.w.t..
Nikmat dan karunia yang dianugerahkan kepada manusia bisa dijaga kelestariannya dengan jalan mensyukuri nikmat itu dengan tulus.
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim, 14:07).
Apabila seorang manusia senantiasa bersyukur dan menerima dengan baik karunia dari Allah, maka nikmat itu akan terus menyertai dirinya dalam segala kehidupan.
مَّا يَفۡعَلُ ٱللَّهُ بِعَذَابِكُمۡ إِن شَكَرۡتُمۡ وَءَامَنتُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمٗا
Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Nisa, 04:147).
Dalam al-Qur’an dijelaskan tentang adanya suatu bangsa yang hidup bahagia dalam nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari nikmat itu, maka mereka ditimpa musibah kelaparan dan ketakutan.
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ ءَامِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍۢ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ ٱللَّهِ فَأَذَٰقَهَا ٱللَّهُ لِبَاسَ ٱلْجُوعِ وَٱلْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (QS. Al-Nahl, 16:112).
Untuk menjaga agar nikmat dan karunia Allah tetap lestari dalam kehidupan kita adalah kita harus melestarikan puji dan syukur kepada Allah s.w.t.. Sesungguhnya, nikmat itu diumpamakan bagaikan hewan buas dan liar, maka ikatlah ia dengan senantiasa bersyukur dan menjauhi maksiat. Atsar sahabat menjelaskan:
إِذا كُنتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا فَإِنَّ الْمَعَاصِيْ تُزِيْلُ النِعَم
Apabila engkau berada dalam karunia nikmat, maka jagalah keadaan seperti itu, karena sesungguhnya perbuatan tercela itu akan menghilangkan karunia nikmat.
Dr. KH. Zakky Mubarok Syakrakh, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)