Dalam kitab Asrar Al-Haj, Imam Ghazali telah mempoisikan haji sebagai ibadah seumur hidup, ibadah pamungkas dan simbol kesempurnaan agama. Kewajiban melaksanakan ibadah haji ini hanya dibebankan kepada muslim yang sudah mukalaf sekali seumur hidupnya, berbeda dengan rukun-rukun Islam yang lain. Bagi mayoritas muslim di Indonesia dan bahkan di belahan dunia lain, keinginan melaksanakan ibadah haji ini selalu dirindukan.
Dalam konteks psikologi positif, kerinduan setiap muslim untuk melaksanakan ibadah haji merupakan ekspresi transendensi manusia beriman dalam mengimplementasikan bentuk keyakinan, harapan, dan cintanya kepada Tuhan yang Maha Suci dengan segala perintah-Nya. Iman atau keyakinan mendorong ekspresi diri dalam wujud penerimaan dan tanggapan positif terhadap pentingnya perintah ibadah haji. Harapan mendorong ekspresi diri dalam wujud perhatian utama kepada pemahaman yang memadai tentang makna-makna pentingnya ibadah haji. Adapun, cinta melahirkan sikap rela (altruistik) ketika mengambil pilihan untuk masuk kedalam hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia secara etis (aspek dogmatis), esoteris (aspek ritual) serta eksoteris (aspek penghayatan) dalam ritme pelaksanaan ibdaha haji. Keyakinan, harapan dan cinta seperti inilah yang telah menghantarkan kerinduan setiap manusia beriman untuk berjuang melampaui batas-batas diri dan duniawinya menuju relung-relung spritualitas agama agar bisa menangkap seluruh makna-makna yang terkandung dalam perintah ibadah haji.
Kerinduan seorang muslim dalam memnuhi panggilan ibadah haji bisa dikatakan bagian gelembung spritualitas agama sebagai wujud ekspresi transendesi dirinya. Pals dalam, “Seven Theories of Religion” seperti apa yang diungkapkan oleh Durkheim bahwa keyakinan terhadap agama akan mensugesti spiritual seseorang untuk mempercayai ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya dengan diiringi oleh cinta, harapan dan kerinduan. Termasuk kewajiban melaksanakan ibadah haji secara langsung telah mensugesti mayoritas muslim untuk berlomba-lomba memenuhi panggilan Alloh ini dengan penuh keyakinan, harapan dan cinta.
Kenyakinan, harapan dan cinta seorang muslim dalam memenuhi panggilan ibadah haji akan mendorong dirinya untuk melakukan upaya sungguh-sungguh (mujahadah) dalam mengunjungi Baitullah sebagai sarana bertemu (liqa’) dengan Alloh. Oleh karena itu, nita haji hanya semata karena Alloh. Pakaian yang harus dipakai adalah pakaian kejujuran dan keikhlasan yang jauh dari sifat keangkuhan, kebanggaan, serta semua aktribut kebesaran duniawi yang biasa melekat pada dirinya. Seorang muslim yang ditakdirkan dapat melaksanakan ibadah haji harus mengoreintasikan dirinya hanya karena Alloh dengan mengucapkan kalimat talbiyah, ‘Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika laka” (Aku datang memenuhi panggilanMu, ya Allah. Aku datang memenuhi panggilanMu. Aku datang memenuhi panggilanMu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya segala puji nikmat dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu)”.
Kerinduan seorang muslim atas panggilan kewajiban ibadah haji ini merupakan konstruksi keyakinan terhadap ajaran agamanya yang dipandang suci. Keyakinan agama yang telah diasumsikan sebagai pandangan dunia. Sebagaiamana apa yang telah dikatakan oleh Ninian Smart, dalam, “Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief”, pandangan dunia yang merupakan cara pandang umum yang berupa kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. Sehingga logis kalau sebagain pemikir memposisikan bahwa pandangan dunia ini merupakan sistem kepercayaan yang integral tentang hakekat diri manusia, realitas, dan makna eksistensial. Berdasarkan keyakinan atas ajaran agama, maka kewajiban ibadah haji telah dianggap sebagai panggilan suci oleh mayoritas kaum muslimin dan akan selalu dirindukannya. kehadirannya.
Kerinduan atas panggilan ibadah haji merupakan refleksi harapan seseorang muslim, yang dapat menghantarkan dirinya kepada kesehatan. mental. Barlow, Tobin dan Schmidt dalam “Social Interest and Positive Psychology: Positively Aligned”, harapan merupakan wujud pengungkapan sehatnya mental seseorang untuk mengejar tujuan dan penciptaan makna dalam menjalankan kehidupannya. Tidak terkecuali dalam pengejaran harapannya untuk dapat melaksanakan ibadah haji secara mabrur. Tujuan menjadi haji mabrur sesuai bahasa, “barra-yaburru-barran’, berarti mencapai karakter manusia yang baik, taat dan berbakti kepada Alloh.
Dalam perspektif lain, karakrter baik (mabrur) ini sepakat dengan Ryan dan Bohlin dalam, “Building Character in Schools: Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life”, mengandung tiga unsur pokok yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good). Karakter yang dapat menjadi “habit” atau kebiasaan positif yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan. Karakter seorang muslim yang menjadi haji mabrur berdasarkan perspektif ini tentu harus diperlihatkan dalam wujud mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good) dalam perjalanan hidupnya setelah melaksanakan ibadah haji.
Kerinduan atas panggilan ibadah haji juga merupakan refleksi cinta seseorang muslim yang dapat menghantarkan dirinya pada kerelaan dan kesetiaannya dalam mentaati setiap perintah Alloh dan Rasul- Nya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam surat Ali-Imran ayat 31, yang berbunyi: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian.” Cinta ini menurut Peterson, dalam “Values in Action” adalah cara khusus untuk berhubungan dengan sesuatu atau individu yang bersifat jangka panjang.
Hubungan ini umumnya saling menguntungkan, tetapi selalu meningkatkan pertumbuhan dan martabat kemanusiaan yang ada dalam hubungan tersebut. Itu biasanya diekspresikan dalam keintiman fisik dan emosional. Cinta juga mewakili sikap kognitif dan perilaku. Salah satunya adalah cinta untuk Alloh diyakini dapat menjadi sumber utama lahirnya kasih sayang, perlindungan, dan perhatian. Cinta juga menurut McCullogh dan Witvliet, dalam “The psychology of forgiveness”, terkait dengan dua kekuatan karakter yakni kebaikan dan pengampunan. Kebaikan adalah sikap kasih sayang, kemurahan hati, kepedulian kepada setiap manusia, bahkan kepada orang asing. Hal ini merupakan kemampuan seseorang untuk menjangkau orang lain tanpa mengharapkan apapun secara khusus.
Begitupun cinta merupakan bentuk welas asih yang mampu membayangkan diri sendiri dalam kesulitan yang sama dengan orang yang bermasalah. Dalam konteks inilah, rindu ibadah haji sebagai ekspresi transendensi orang beriman diwujudkan dalam keikhlasan ketika beribadah kepada Alloh pada konteks hablum minallah dan empati sosial ketika menjalankan kehidupan pada konteks hablum minannas. Makna cinta seperti ini sangat tergambar selama rangkaian atau proses pelaksanaan ibadah haji.
Keyakinan, harapan, dan cinta yang merupakan ekspresi transendensi manusia beriman dalam merindukan ibadah haji sepertinya telah menjadi konstruksi sosial kaum muslimin. Siklus kerinduan atas panggilan ibadah haji ini, fakta sosialnya terus mengalami perulangan secara regenerasi dari dulu sampai sekarang. Bahkan sepertinya telah menjadi identitas khas kaum muslimin yang terus mengalami dialektika sepanjang sejarah. Sepakat dengan teori konstruksi sosial Peter L Berger, dalam “Tafsir Sosial atas Kenyataan”, momen kerinduan terhadap ibadah haji akan selalu mengalami proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi pada setiap generasi, yang selalu akhirnya membentuk salah satu identitas khas kaum muslimin.
Dari Kerinduan ke Persatuan Umat
Datangnya bulan ibadah haji merupakan ritual akbar bagi kaum muslimin sedunia, termasuk di Indonesia mengarahkan pada visi dan misi hidup bersama secara harmonis. Bulan bagi semua muslim untuk melintasi batas-batas sektarian dan momentum membangun persatuan umat secara langgeng. Inilah puncak ekspresi transendensi kaum muslimin dalam melaksanakan ibadah haji. Dengan keyakinan, harapan dan cinta sejatinya pelaksanaan ibdah haji harus mampu menumbuhkan persaudaraan sejati di atas nilai ketakwaan. Dimana s eluruh individu-individu beriman tanpa memandang latar belakang identitasnya sama-sama berusaha untuk mendisiplinkan diri sendiri, mengendalikan diri sendiri, melakukan pengorbanan dan empati sosial dengan tindakan kemurahan hati dan pelbagai amal sholeh. Tindakan- tindakan yang mampu merekat persatuan dan menghindarkan diri dari perilaku-perilaku tercela yang bisa melahirkan perpecahan umat.
Dalam konteks inilah, ibadah haji sebagai kewajiban dalam agama bukan hanya dipadang dari sisi dimensi etis dan eksoteris, akan tetapi sepakat dengan Frithjof Schuon, dalam “The Transcendent Unity of Religions” harus juga dipandang dari sisi dimensi esoteris. Dimensi esoteris ibadah haji dapat meredusir tindakan-tindakan yang bukan hanya sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Akan tetapi, dimensi esoterisnya harus sampai menyentuh makna hakikinya sehingga kewajiban ini dapat membimbing manusia untuk menemukan dirinya yang sejati. Dimensi esoteris ibadah haji ini harus membangun pribadi yang bisa melakukan penolakan atas dominasi supremasi ego manusia dan menggantinya dengan ego yang diwarnai nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Esoterisme dan eksoterisme dalam ibadah haji harus saling melengkapi agar mengarahkan pada persatuan umat yang dilandasi oleh nilai-nilai ketakwaan.
Sepakat dengan Erving Goffman, dalam “Interaction Ritual”, ibadah haji merupakan ritual akbar kaum muslimin yang mencerminkan aksi kehidupan sosial keberagamaan yang menghasilkan solidaritas dan kohesi sosial bahkan pelestarian simbol- simbol agama secara berjamaah. Kegiatan-kegiatan dalam ibadah haji menggambarkan ritual akbar sebagai praktik keagamaan menuju hal-hal yang sakral dan terpisah dari kehidupan yang profan. Ritual ini merupakan aktfitas amal sholeh yang memiliki nilai penting bagi setiap muslim dan penyikapannya sangat melampaui hal-hal duniawi. Kegiatan-kegiatan ibadah dan amal sholeh lainya, di dalam pelaksanaan ibadah haji begitu sangat ditata dan diorganisir secara disiplin oleh individu atau kelompok muslim dengan harapan bisa dilakukan secara khusu. Bahkan kegiatan-keitan tersebut telah memperlihatkan serangkaian interaksi ritual, yang menampilkan hubungan sosial berbagai tingkatan emosional (keintiman) dan status interaksi dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya secara simultan. Hubungan sosial yang penuh keintiman dan simultan di dalam ibadah haji merupakan peluang merajutkan kembali persatuan umat, yang sebelumnya bisa jadi telah tercederai oleh pelbagai perilaku tercela seperti saling mencela, saling mengunjing, saling menghukumi, saling memfitnah dan lainnya.
Jika di analisa dengan teori “Interaction Ritual Chains” (rantai interaksi ritual) yang dikembangkan oleh Randall Collin, bahwa rotasi ritual akbar dalam ibadah haji merupakan mata rantai interaksi ritual yang telah berperan mengkonseptualisasikan emosi kaum muslimin kedalam energi positif dunia sosial-keagamaan secara kolektif. Tampilannya secara sosial telah menunjukkan bahwa interaksi ritual dalam ibadah haji telah menjadi atmosfir emosi positif yang dapat ditemukan dalam pengalaman-pengalaman setiap individu atau kelompok muslim dalam melaksanakan ibadah dan amal sholehnya tanpa memandang latar belakang ras dan bangsa. Bahkan ritual ini telah menjadi fondasi dalam membentuk nilai-nilai persaudaraan dan telah memberikan kontribusi besar para pelakunya untuk memahami hubungan dimensi ritual dengan pelbagai kehidupan sosial mereka. Nilai-nilai persaudaraan dan pemahaman hubungan dimensi ritual dalam pelbagai kehidupan sosial ini merupakan bentuk transendesi kaum muslimin dalam menguatkan persatuan yang dilandasi oleh ketakwaan.
Transendensi dalam makna kesadaran adanya pengakuan terhadap keunggulan-keunggulan mutlak yang melampaui akal manusia dan yang berkaitan dengan ketergantungannya kepada Alloh. Tidak terbatasi oleh naluri manusianya seperti keserakahan, kekayaan, pengetahuan positivistik, nafsu kekuasaan, dan lainnya yang selalu mengarahkan kehidupan manusia pada suasana konflik. Transendensi dalam makna kesadaran tentang adanya kebenaran universal yang telah dikonseptualisasi dalam wahyu Alloh (al qur’an). Wahyu al qur’an yang diturunkan di bulan ramadhan dan telah menjadi rujukan bersama kaum muslimin untuk saling menjaga persatuangyang terikat dengan buhul Alloh
Intensitas kegiatan ritual dalam ibadah haji ini, sepakat dengan Emiel Durkheim dalam ‘The Elementary Forms of the Religious Life” sejatinya harus menumbuhkan kesadaran setiap individu atau kelompok muslim untuk saling menguatkan persatuan umat. Kenapa? Sebab kegiatan-kegitaan ritual dalam rangkaian ibdah haji ini secara empiris telah melahirkan “collective effervescence” (kebahagiaan kolektif) secara positif, dengan ditandai (a) Kedalaman perasaan bersama dari seluruh kaum muslimin; (b) lahirnya individu-individu muslim yang mensakralkan lambang-lambang simbolik yang berkaitan dengan unsur agama yang dianggap penting; (c) membangkitkan energi emosional yang positif dari setiap individu muslim, seperti kepercayaan diri dan antusiasme dalam melaksanakan putaran ritual yang berulang-ulang dan dalam suatu tingkah laku yang berorientasi pada tujuan yang sakral; (d) melahirkan perasaan moral dari setiap individu muslim tentang nilai benar dan salah dalam menjalankan kehidupan berdasarkan rujukan utama al qur’an dan sunnah serta literasi para ulama; dan, (e) lahirnya interaksi antar sesama individu atau kelomppok muslim untuk saling membangun komitmen, kepercayaan, toleransi bahkan persatuan umat.
Simpulan akhir dari catatan sederhana ini, kerinduan atas panggilan ibadah haji ini semestinya bisa menjadi proses pengelembungan transendensi umat menuju persatuan. Oleh karena, ritualisasi bersifat akbar dalam proses ibadah haji ini telah menampilkan semenjak dahulu mengenai pembangkitan konsensus publik tentang nilai-nilai, simbol, dan perilaku religius yang melibatkan partisipasi komunal dalam orkestrasi kebersamaan secara fisik. Bahkan dapat dilihat jelas dalam peristiwa-peristiwa pelaksanaan ibadah dan amal sholeh kebanyakan dilaksanakan dengan mengintegrasikan pelbagai individu dan kelompok muslim. Sepakat dengan Catherine Bell, dalam “Ritual Theory, Ritual Practice”, praktik-pratik ritual yang dilakukan secara akbar dapat menjadi instrumen kontrol sosial keagamaan di kalangan kaum muslimin. Sebab didalam rangkaian ibadah haji ini, sepertinya terdapat penekanan secara alamiah pada hubungan sosial sesama kaum muslimin untuk kembali menata interaksi yang mengarah kepada terciptanya kohesi dan solidaridas sosial yang kuat. Bahkan dalam pelaksanaan ibadah haji ini telah menampilkan perilaku-perilaku individu untuk mereduksi konflik-konflik yang terjadi sesama kaum muslimin menuju persatuan umat (itihadul ummah). Keyakinan, harapan dan cinta yang tumbuh dalam catatan sederhana ini, “semoga para duyufurrahman Indosnesia setelah kembali ke tanah air mampu menjadi agen-agen sosial keagamaan yang dapat mempersatukan umat dengan mengarusutamaan konsep Islam wasathiyah”.
Dudy Imanuddin Effendi, (Petugas PPIH 2023, Dosen FDK UIN SGD Bandung dan Wakil Ketua LAKPESDAM Jawa Barat)
Comments 1