“Jombang ‘dianggap’ tidak mematuhi arahan teknis dari PBNU dan hal itu disampaikan dihadapan MWC dan Ranting sekabupaten Jombang; dan akhirnya Konfercab Ulang tersebut “DISKORS” oleh PBNU. Dan PCNU Jombang yang menjadi korban atas sikap dan model kepemimpinan, itu.”
Dinamika struktural Jam’iyyah NU di berbagai Cabang, Wilayah, hingga MWC membuat kita; para penggerak, pemerhati dan berharap menjadi santri para muassis khususnya Hadratussyeikh KH Muhammad Hasyim Bin Asy’ari, terus melakukan perenungan. Melakukan kontemplasi tentang posisi dan cara gerak jam’iyyah, masa kini dan masa depan; tidak sekedar mengikuti dan terbawa arus.
Jamak dikenal bahwa NU itu memiliki jalan dan cara sendiri; berbeda dengan lainnya dan tidak perlu berbenturan secara diametral (terpisah dan berhadap-hadapan). Kebesaran dan kehebatan NU justru terletak pada konsistensi mengikuti jalan dan cara yang selama ini digariskan kemuliaan prinsip-prinsipnya serta diteladankan praktek berjam’iyyahnya oleh para pendahulu, baik kepemimpinan, pembimbingan, pengarahan maupun gaya komunikasi.
Sehingga mampu mengikat erat antara jam’iyyah dengan jama’ah, serta kekuatan utamanya, yakni pondok pesantren. Di Jawa Timur, tercatat yang terakhir pada Kamis, 13 Juli 2023, salah satu pimpinan PBNU menyalahkan dengan nada ‘marah-marah’ terhadap sikap PCNU Ngawi dihadapan PCNU-PCNU yang lain setelah sebelumnya PCNU Ngawi disidang secara khusus oleh pimpinan PBNU itu.
Persis polanya saat forum Pleno Konfercab Ulang khusus Tahapan Pemilihan Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang. Indikasi kesalahan-kesalahan PWNU Jawa Timur yang diberi tugas untuk melaksanakan Konfercab Ulang Tahapan Pemilihan Ketua Tanfidziyah PCNU
Jombang ‘dianggap’ tidak mematuhi arahan teknis dari PBNU dan hal itu disampaikan dihadapan MWC dan Ranting sekabupaten Jombang; dan akhirnya Konfercab Ulang tersebut “DISKORS” oleh PBNU. Dan PCNU Jombang yang menjadi korban atas sikap dan model kepemimpinan, itu.
Secara etik, pola komunikasi struktural dan gaya kepemimpinan seperti itu tidak elok dan tidak pernah diteladankan oleh para pendahulu yang penuh akhlaqul karimah. Sebaliknya lebih menunjukkan gaya komunikasi dan arahan atasan kepada bawahan di lingkup birokrasi atau model komunikasi majikan sebagai pemilik dan para batur layaknya para buruh.
Padahal jam’iyyah NU adalah medan perjuangan untuk meninggikan keagungan Islam dengan landasan keikhlasan. Yang terjadi dengan PCNU Kota Surabaya adalah cermin ‘potong jalan’ dari model kepemimpinan yang cara berkhidmatnya dilandasi ‘kepentingan’. SK Penunjukan PCNU Definitif oleh PBNU adalah ‘potong jalan’; menggunting proses yang semestinya bijak dan sabar, menjadi ‘keputusan besi’ yang keras dan mematikan atas nama aturan.
Padahal dalam kaidah pokok landasan berjam’iyyah, aturan demikian tidak dikenal dan tidak ada, bahkan jauh dari keteladan para pendahulu.
Hal furu’ yang diselimuti kepentingan dan situasional tidak bisa dijadikan ushul; aturan dasar yang diberlakukan untuk seluruhnya. PCNU Kabupaten Blitar, hingga saat ini (lebih 3 bulan dari Konfercab) belum mendapat penetapan struktur PCNU (SK Kepengurusan) dari PBNU, padahal ketentuan waktu penetapan/pengesahan demikian jelas diatur, dan hal itupun tidak boleh menganulir hasil kedaulatan permusyawaratan tertinggi jam’iyyah ditingkat daerah.
PCNU Banyuwangi yang pro aktif mendahului tahapan agar Konfercab terlaksana sesuai waktu sebelum masa khidmat habis, termasuk meminta dan melaksanakan Verifikasi dan Validasi struktural sebagai syarat Konfercab walau dengan teknis berbelit-belit, akhirnya harus menerima SK Perpanjangan PCNU Banyuwangi selama 3 (tiga) bulan. Sikap Pro Aktiv itu harus dilalui dengan jalan berliku dan ‘tekanan komunikasi’ struktural yang berat. Dan penetapan waktu 3 (tiga) bulan dalam SK Perpanjangan itu, persis dengan waktu masa tugas Karteker dalam Peraturan Perkumpulan (Perkum).
PWNU Jawa Timur sendiri telah mengajukan permohonan pelaksanaan Konferwil, 5-6 Agustus 2023 sebelum masa khidmat habis, namun tidak mendapat persetujuan pelaksanaan sebelum dilakukan Verifikasi dan Validasi. Padahal, penetapan klasifikasi struktur sementara telah disahkan pada 21 Mei 2022 dan veririfikasi serta validasi untuk memastikan klasifikasi tersebut paling lambat dilaksanakan 21 Mei 2023.
Dan keputusan itu disertai surat peringatan oleh PBNU kepada Ketua PWNU Jawa Timur atas dasar sentimen negatif oleh jejaring oknum di PW maupun PBNU. Sikap sejalan dengan PWNU Jawa Timur, itu, PCNU Kab. Ngawi akhirnya menyatakan sikap kepada PBNU untuk “Tidak Bersedia” diperpanjang masa khidmat yang habis pada 23 Juli 2023, serta mengembalikan kepengurusan PCNU Ngawi kepada PBNU.
Banyak fenomena lain yang dialami oleh PC maupun MWC NU di Jawa Timur. Demikian pula komunikasi jejaring struktural dan alumni pesantren yang berkhidmat di struktur NU di berbagai daerah seIndonesia, berbagi informasi mengenai kondisi dan perlakukan yang sama, dan oleh jejaring aktor yang sama.
Intinya bahwa ada masalah dengan kepemimpinan, pengelolaan, arah pembinaan dan pembimbingan, pola komunikasi dan koordinasi yang lebih nampak bersifat serba instruktif dan intimidatif, serta pergeseran posisi dan cara gerak jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Dan itu terjadi pada kepemimpinan PBNU saat ini, dan tidak ditemukan serta diteladankan para pendahulu, kenapa ?
NU adalah Islam Itu Sendiri
Kekuatan Islam, kemuliaan serta keagungannya terletak pada sanad (sandaran, pergantungan, atau perhubungan).
Bahkan, sanad menjadi kekhususan umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallama yang tidak dimiliki oleh umat-umat sebelumnya. Dan karenanya menjadi umat yang utama dan istimewa dalam menjaga orisinalitas keagamaan dan sikap kemasyarakatannya, serta unggul dalam kepribadian. Imam al-Hakim dalam Al-Mustadrak mengatakan:
“Asanid (sanad-sanad) adalah karomah yang Allah khususkan terhadap umat ini, sehingga tidak terdapat pada umat yang lain”.
Para ulama mempercayai bahwa ketika orang sholih disebut, dijadikan pergantungan dan rujukan serta keteladan, baik dalam pemikiran, sikap, perilaku maupun tindakan dan kepemimpinan, maka akan mendapat limpahan rahmat, pertolongan dan bantuan khusus dalam menghadapi setiap situasi/kondisi.
Nah, substansi jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah Islam itu sendiri; Islam ala madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah dengan khoshoish sebagai pembentuk karakter dan kepribadiannya. Sebagai model jam’iyyah yang berbeda dengan lainnya dikarenakan tradisi sanad yang dipegang teguh dan terimplementasi dalam sistem organisasi (perkumpulan), sistem kelembagaan, sistem kepemimpinan dan sistem perjuangannya.
Sehingga, kebesaran, martabat dan karomah Nahdlatul Ulama terletak pada konsistensinya menjaga karakter dan kepribadian Islam yang dicerminkan oleh para salafus sholihin, auliya’, muassis NU, Masyayikh dan para Ulama Shodiqin melalui kebijaksanaan dan akhlaq muliannya. Dan akhlaq mulia ini yang ditegaskan keterutusannya oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallama dalam sabdanya “sungguh aku diutus menjadi Rosul untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”.
Dalam konteks ini, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah pewaris dan pelanjut perjuangan-dakwah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallama, yang dengan demikian kepribadian NU mencerminkan sepenuhnya keagungan Islam itu sendiri dalam tradisi kenusantaraan.
Maka, sistem berjam’iyyah an-nahdliyyah adalah sistem bersanad, di dalamnya termasuk sistem pengelolaan organisasi, perjuangan/dakwah, kepemimpinan, dan komunikasi. Demikian pula dalam sistem berjama’ah. Para ulama di jajaran Syuriyah dan Mustasyar adalah beliau-beliau yang menjalankan fungsi pembimbingan, pengarahan dan pendidik untuk memastikan sistem berjam’iyyah dan berjamaah an-nahdliyyah memiliki sanad mu’tamad.
Harapan utama terletak pada tanggung jawab beliau-beliau. Perubahan-perubahan posisi, cara gerak, hingga aspek kepemimpinan didalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama saat ini hingga memicu kegelisahan dan keresahan berjam’iyyah di banyak tempat harus dicermati dari sudut sanadnya, baik dilingkup kerja pertimbangan jam’iyyah, legislatif, eksekutif dan perangkat jam’iyyah.
Hal ini dimaksudkan supaya tidak saling terjebak, tersandera dan saling abai pada bid’ah-bid’ah sistem berjam’iyyah, berjama’ah, dan sistem dakwah perjuangan, apalagi mengarah pada bid’ah dholalah. Menjaga dan mengembangkan karakter dan kepribadian NU sesuai konteks adalah substansi, bukan slogan.
Untuk itu syair Ahmad bin Muhammad Al-Wasithi patut direnungkan dalam konteks kehidupan bersama, bermasyarakat, terlebih berjam’iyyah :
كم جاهل متواضع ستر التواضع جهله # ومميّز فى العلم هدم التكبّر فضله
Betapa banyak orang Bodoh yang tawadlu’, kebodohannya tertutupi oleh kerendahan hati. Dan tidak sedikit orang pandai, akan tetapi keangkuhan dan arogansinya menghancurkan keistimewaannya.
فكيف رأيكم بمن جهل وتكبّر؟
Wassalam.
KH Abdussalam Shohib Bisri, (Wakil Ketua PWNU Jatim dan Pengasuh PP Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang)