Sebentar lagi kita akan kembali merayakan HUT RI yang kesekian puluh kalinya sebagai kesemarakan dan kegembiraan bersama, selain sebagai upaya untuk tidak melupakan hari kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945 silam. Namun rasanya penting sekali untuk melakukan refleksi kebangsaan.
Sebagai orang yang tidak ikut berperang melawan kolonialisme, saya tentu tidak sungguh-sungguh memahami dan merasakan arti lepas atau terbebas dari moncong senjata, dari ‘penjajahan’. Yang saya tahu sejak sekolah dasar, saya hanya diwajibkan ikut upacara 17 Agustus setiap tahun oleh guru-guru saya. Dikenalkan dengan foto-foto para pahlawan, tentu saja beserta nama-nama mereka. Namun, ketika sewaktu numpang kuliah, saya diperkenalkan istilah freedom oleh filsuf Isaiah Berlin dengan dua bentuknya: freedom from dan freedom for, yang kurang lebih artinya kita bisa merdeka dari penjajahan atau penindasan orang lain, tetapi yang lebih penting kita mestilah sanggup merdeka untuk melakukan apa saja yang dirasa bermanfaat dan memberi kontribusi bagi kemajuan.
Barangkali, dalam hal ini, segala bentuk kondisi dan kebiasaan, yang menghalangi kemajuan, dapat saja disebut sebagai penjajahan dalam arti lain. Misal, korupsi para pejabat dan korporat yang hidup di negeri ini, mereka yang menjual asset Negara demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Kemerdekaan juga tentu tak mesti hanya dimaknai sebatas serebral upacara bendera yang justru akan kehilangan makna dan spiritnya, jika mental bangsa, misalnya, masih mencari proyek dari Amerika sembari mau dijadikan agen proxy war, belum sanggup mengolah sumber daya alamnya sendiri, dan lain-lain dan lain-lain.
Jika, misalnya, meminjam dua bentuk freedom dari filsuf Isaiah Berlin itu: freedom from dan freedom for, perlawanan bersenjata dan diplomatik yang dilakukan para bapak bangsa adalah upaya dan usaha untuk merdeka dari penjajahan dalam rangka freedom for, yaitu merdeka untuk mendirikan Negara Indonesia, maka adalah aneh jika saat ini, misalnya, dan semoga saja tidak terjadi, bila kualitas pendidikan menurun, bukannya meningkat, daya cipta anak bangsa menurun bukannya meningkat, daya inovasi mandeg bukannya semakin maju, yang subur malah praktik korupsi para pejabat, birokrat, dan korporat, sampai-sampai punya sel mewah di Lapas Sukamiskin, sebagai contoh yang viral beberapa waktu silam. Lalu bagaimana kita memaknai kemerdekaan dalam maknanya yang substansial?
Belum lagi saya merasa prihatin dengan banyaknya agen-agen pembawa ideologi teologi devian yang mengajarkan penghalalan darah dan retorika kekerasan di negeri ini bebas berbicara di mana-mana. Padahal, sebagai contoh, di Iran, sebagai misal saja, untuk bisa berkhutbah atau berceramah, tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah lulus berbagai tahap uji kelayakan sebagai dai. Hasilnya, ceramah-ceramah kebencian yang dilakukan para artis yang baru insaf dan muallaf yang belum tahu soal agama secara mu’tabar, bebas berkeliaran lewat ragam media, bahkan bebas berceramah di tempat-tempat publik seperti alun-alun kota, merongrong identitas nasional, mengharamkan simbol-simbol Negara, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat disibukkan oleh soal-soal yang menghambat kemajuan dan produktivitas. Atau misalnya negeri ini sempat diramaikan oleh sekian persekusi SARA. Kalau tak salah, persekusi SARA ini marak di era Susilo Bambang Yudhoyono, mulai dari kasus Sampang hingga kasus Cikeusik. Barangkali dalam rangka mengalihkan perhatian agar tak ada kritik atas kinerja pemerintahan SBY yang memiliki banyak kasus, semisal Kasus Century.
Kalau berkaca pada dimensi politik, saya sesungguhnya tak punya kebanggaan pada negeri ini. Suksesi yang menghabiskan dana triliunan hanya untuk memilih para pencuri menjadi pejabat dan wakil rakyat. Banyak orang pura-pura jadi ulama agar jadi public figure dan dapat duit dengan jualan ayat. Mereka yang mengaku pemimpin agama hanya bisa jualan kata ‘sesat’, yang lain berbisnis label ‘halal’, dan lain sebagainya, di mana mereka menjadikan agama sebagai komoditas, bukan sebagai tuntunan dan acuan moral untuk membangun peradaban. Lalu bagaimana saya harus memaknai kemerdekaan untuk Indonesia Raya ini?
Apa sih kemerdekaan itu? Masyarakat dan bangsa yang seperti apa dan yang bagaimana sih yang merdeka itu? Apakah masyarakat yang hanya bisa mengkonsumsi berita-berita hoax, yang birokrasinya korup, yang para figur keagamaannya tidak berbudaya dan tidak bisa menjadi teladan moral, yang kualitas pendidikannya buruk, dan lain sebagainya. Tidakkah kata kemerdekaan itu sesungguhnya hanya layak disematkan bagi masyarakat dan bangsa yang tercerahkan, yang khazanah iman dan agamanya melahirkan keteladanan, sains, dan peradaban, yang sanggup menjadi pemain utama dalam silang peran di kancah politik global.
Indonesia sebagai sebuah nama bagi geografi yang kemudian dicakup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentulah saya ‘kenal’ ketika saya mulai menjalani pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD). Salah-satunya melalui materi sejarah, yang ketika itu disampaikan melalui Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Meski kemudian saya tahu, bersamaan dengan pembawaan otodidak saya, untuk membaca buku-buku di luar kebutuhan materi kuliah di sebuah universitas di mana saya ikut duduk di kelas bersama para mahasiswa/i yang lain, saya jadi tahu bahwa Indonesia sebagai sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah buah dari ‘peristiwa’ politik dalam rentang 1945-1950an, karena sebelumnya geografi yang kini tercakup dalam nama Indonesia adalah sebaran sejumlah kerajaan dan kesultanaan, termasuk di era Pemerintah Hindia-Belanda.
Namun demikian, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang merupakan ‘penyatuan’ sejumlah warisan historis kerajaan dan kesultanan di wilayah-wilayah yang kini tercakup dalam nama Indonesia, merupakan bukti kecerdasan dan kearifan para bapak bangsa kita bahwa sebaran kerajaan dan kesultanan itu pada hakikatnya adalah masih ‘saudara’ setanah-air meski beragam suku, budaya, bahasa, ras, dan agama. Dan inilah keunikan sekaligus keunggulan bangsa kita, yang kemudian ‘dipatenkan’ dalam Dasar Negara (Pancasila) dan UUD 45 dengan ‘motto’ Bhinneka Tunggal Ika. Terbentuk dari rajutan dan sulaman keragaman namun memiliki kesadaran bersama untuk menamakan diri mereka sebagai ‘Bangsa Indonesia’. Sebuah ‘Bangsa’ yang kemudian sejak era orde baru Soeharto, mulai ‘dikendalikan’ oleh kekuatan asing (Amerika) setelah sebelumnya diatur oleh bangsa lain (Belanda).
Terkait polah dan perilaku para elite Negara bangsa ini dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, saya teringat apa yang pernah dikatakan Pramoedya Ananta Toer: “Negeri yang begini kaya diubah menjadi negara pengemis…karena tidak adanya karakter pada elite”.
Yang juga penting untuk disoroti adalah sesaknya ruang publik kita dengan penyebaran ceramah-ceramah keagamaan yang tidak mencerdaskan dan menyebarkan friksi serta kebencian antar anak bangsa. Mereka adalah agen-agen proxy yang dicetak oleh ideologi-ideologi luar seperti Wahabisme-Takfirisme dalam rangka menciptakan ‘kerusuhan’ dalam kehidupan sosial bangsa kita.
Kehadiran internet dan media sosial memang memberikan manfaat positif, tapi bersamaan dengan itu pula, menjadi instrument bagi kaum imperial untuk menyuburkan kelompok-kelompok keagamaan yang berusaha menggusur dasar dan falsafah bangsa kita. Masyarakat yang hidup dalam budaya oral, terbius oleh para pseudo ulama (ulama palsu) yang mendukung ISIS bentukan Amerika, Israel dkk beberapa waktu lalu atau para pengusung khilafah yang tiba-tiba merasa paling tahu Islam dibanding para ulama mu’tabar.
Negara bangsa ini sebenarnya sedang mengalami rongrongan dari berbagai sisi: sosial-ekonomi-politik serta sisi kultural-keagamaan, yang jika kita tidak memahami jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang unik, memiliki kecerdasan dan falsafah jenuin-nya, niscaya akan ambruk, dan tak lebih menjadi sebuah geografi yang kehilangan identitas dan ideologinya. Di sinilah perlu kembali ditegaskan bahwa ideologi dan falsafah kita bukan liberalisme, neoliberalisme, atau pun komunisme, tetapi ideologi keadaban dan kemanusiaan yang telah tertuang dalam Pancasila dan UUD 45.
Dalam Demokrasi Elektoral Liberal sekarang ini, sayangnya, warga Negara yang tak terdidik hanya jadi sapi perah. Dalam Pilpres, suara rakyat hanya dibutuhkan demi kepentingan sepihak yang membajak demokrasi. Rakyat bukan penentu kebijakan, karena dengan berpartisipasi dalam Pilpres, rakyat yang kurang literasinya atau tak tercerahkan tak ubahnya hanya jadi ‘sapi perah’ kelompok elite kepentingan. Seakan memang sudah jelas bahwa demokrasi itu sendiri sekedar topeng kapitalisme mutakhir, hingga demokrasi kita memang tidak lebih demokrasi kapitalisme elit . Bila demikian, alternatif partisipatoris yang dapat menentukan kebijakan adalah gerakan rakyat tercerahkan atau gerakan masyarakat madani. Atau melalui gerakan pendidikan politik dan gerakan kebudayaan yang menyadarkan dan mencerahkan masyarakat.
Kenyataan pahit lainnya adalah saat ini politik hanya dipahami sekedar rutinitas Machiavellian perebutan kekuasaan semata, tanpa dibarengi pematangan visi kebangsaan dan grand design pembangunan berjangkauan masa depan.
Sulaiman Djaya, esais dan penyair