LIPUTAN9.ID – Sekedar menjawabi soal adakah dalil jadi rukunnya niat dalam sholat, dan menjawabi tuduhan bid’ah bagi orang yang mau sholat dengan membaca niat usholli. Karena yang menuduh bid’ah selalu bersandar pada praktik beragama Islam seperti saat Nabi Muhammad S.a.w masih hidup, mereka yakini ajarannya tidak boleh dilebihi tidak boleh dikurangi, sebab yang begitu disebut bid’ah, tidak tanggung-tanggung mereka bilangnya bid’ah dlolalah, muthlaq tidak ada hasanah.
Sementara yang getol bilang bid’ah tersebut tidak mampu menjawab dalil kuat terkait tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan asma wa al-shifat, tidak mampu menjelaskan pula apakah tri tauhid tersebut pernah diajarkan Nabi S.a.w. Bukankah tri tauhid baru muncul bersamaan munculnya paham Wahabi, kenapa dihubungkan seolah itu ajaran Nabi. Sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak ditemukan ajaran tri tauhid tersebut. Kalau begitu siapa sebenarnya yang berbuat bid’ah dlolalah?.
Kembali ke soal usholli, bukankah itu adalah lafadz niat menurut madzhab Syafi’i, dan talafudz itu dimaksud agar mengikat hati agar tidak rubah dengan cara melafalkan. Hati itu tempatnya niat, jadi niat itu dari hati, lalu bagaimana mengetahui bahwa niatnya sholat dhohor sementara tidak melafalkannya. Kalau hati adalah tempatnya niat, ia kita sepakat. Tetapi kalau tidak lafalkan apakah dari hati sudah pastikan niatnya sholat.
Dalil bahwa setiap amal itu bergantung niatnya, apapun amalnya, dan bukankah itu dari Nabi S.a.w sendiri yang menyampaikannya.
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: ( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثِيْنَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَهْ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمٍ الْقُشَيْرِيّ النَّيْسَابُوْرِيّ، فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ اْلمُصَنَّفَةِ.
Artinya: dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al Khaththab, dia berkata: ” aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda: Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.” ( H.R. Bukhori Muslim).
Niat menjadi wajib atau rukun dalam sholat karena didasarkan hadits di atas, dan Karena itu niat itu jadi syarat. Kita bersandar pada kaidah Ushul Fiqih.
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Artinya: tidaklah sempurna yang wajib kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut menjadi wajib.
Dengan demikian niat sholat itu dihukumi wajib atau rukun, maka meninggalkan niat itu berarti satu rukun ditinggalkan, karena itu sholat jadi tidak sah.
Imam al-Syafii berijtihad bahwa niat itu jadi wajib hukumnya jika dihubungkan dengan ibadah, berdasarkan hadits Rosulullah s.a.w di atas dan berdasarkan kaidah Ushul Fiqih. Meskipun demikian ijtihad Imam Syafi’i bahwa niat itu perlu dilafalkan, agar tidak rubah. Bahkan talafudz itu dihukumi Sunnah untuk menguatkan niat yang sudah wajib tersebut.
Niat itu menurut para ulama diartikan sebagai berikut.
النية هي: قصد الشيء مقترنا بفعله وهي لازمة في العبادات فلا تصح إلا بها، ووقتها: أول العبادة. وتكون في أبواب العبادات
Artinya: niat itu memaksudkan sesuatu yang dibarengi dengan perbuatannya atau amalnya.
Niat itu tempatnya di hati, lalu bagaimana agar niat yang dimaksud bisa diketahui sebagai niat. Karena itu Imam Syafi’i mensunnahkan talafudz niat agar mengikat dari hati. Mari kita perhatikan pendapat para Imam Madzhab yang disusun oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqhu ‘ala Madzahibi al-Arba’ah.
يسن أن يتلفظ بلسانه بالنية، كأن يقول بلسانه أصلي فرض الظهر مثلاً، لأن في ذلك تنبيهاً للقلب، فلو نوى بقلبه صلاة الظهر، ولكن سبق لسانه فقال: نويت أصلي العصر فإنه لا يضر، لأنك قد عرفت أن المعتبر في النية إنما هو القلب، النطق باللسان ليس بنية، وإنما هو مساعد على تنبيه القلب، فخطأ اللسان لا يضر ما دامت نية القلب صحيحة، وهذا الحكم متفق عليه عند الشافعية والحنابلة، أما المالكية، والحنفية فانظر مذهبهما تحت الخط
Jika diperhatikan semua Imam Madzhab yang empat hampir semuanya sepakat bahwa disunnahkan talafudz niat.
Dalam kitab Rohmatu al-Ummat, Syaikh Muhammad bin Abdurrahman al-Syafii menjelaskan bahwa.
فالنية للصلاة فرض بالإجماع
Artinya: Niat untuk sholat itu hukumnya fardlu berdasarkan ijma’.
Kesimpulan dalam tulisan ini bahwa niat itu dihukumi wajib atau fardlu. Sesuai dalil baik hadits Rosulullah s.a.w maupun ittifaq ulama madzhab.
KHM. Hamdan Suhaemi, Pengajar Pesantren Ashhabul Maimanah Sampang Susukan Tirtayasa Serang, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten, Sekretaris komisi Haub MUI Banten, dan Sekretaris Tsani Idaroh wustho Jam’iyah Ahlith Thoriqah Mu’tabaroh An-Nahdliyah Jatman Banten.