Jakarta, Liputan9 – Gara-gara Badan Pembinaan Ideologi Pancasia Republik Indonesia (BPIP RI) menggelar lomba menulis untuk kalangan santri, Anwar Abbas menuntut BPIP dibubarkan. Alasannya, tema lomba “Hormat Bendera Menurut Hukum Islam” dan “Menyanyikan Lagu Kebangsaan Menurut Hukum Islam” itu tidak kontekstual di dalam kondisi pamdemi Covid-19 ini. Selain itu, Abbas Anwar juga menilai lomba BPIP hanya akan memancing perpecahan dan kecurigaan antarkelompok. Ia menyebut tema itu berpotensi membuat orang mecurigai nilai kebangsaan para santri.
Ketahuilah: Tema lomba yang digelar oleh BPIP jelas relevan dan signifikan.
Pertama, nasionalisme dengan segala ekspresinya, seperti hormat bendera kebangsaan atau menyanyikan lagu kebangsaan, masih dianggap barang haram atau bid’ah oleh sebagian kecil ummat Islam, baik di dunia _wa bil khushûsh_ di Indonesia. Buktinya, di level dunia, kelompok anti-nasionalisme seperti Hizbut Tahrir dan pengasong khilafah lainnya masih eksis. Di Indonesia, meski HTI sudah resmi dilarang, tapi gerakan dan manuvernya masih ada walau terselubung.
Kedua, ideologi dan doktrin keagamaan yang anti-nasionalisme ini adalah pintu masuk radikalisme, lalu naik kelas jadi ekstrimisme, lalu naik kelas lagi jadi terorisme. Ketiga level itu terbukti ada dan masih eksis di Indonesia. Itu fakta. Buta mata kita kalau tidak melihat dan mengakui fakta itu. Ini adalah problem kebangsaan yang harus diantisipasi dan ditanggulangi, secara terus menerus. Tidak ada kata selesai, karena problem ini pun selalu ada, meski dengan _cashing_ yang berganti dan berubah-ubah, namun esensi ideologi dan doktrinnya akan tetap sama.
Sekadar contoh kecil, baru saja di Banten tiga orang terduga teroris ditangkap secara terpisah oleh Densus 88, di Kabupaten Serang, Pandeglang dan Lebak. Salah satunya diduga seorang oknum ustadz, pengajar salah satu pondok pesantren di sana. Belum lagi yang ditangkap di Kota Medan, Kota Binjai, Sumatera Utara dan di Jawa Tengah, di waktu yang berdekatan.
Artinya, mereka eksis. Karena eksis, ya kewajiban kita menanggulanginya. Jadi sampai kapanpun tetap relevan, tanpa memandang ini sedang situasi pandemi atau tidak.
Covid-19 dengan segala efek sosio-ekomominya wajib kita tanggulangi bersama, begitu juga ideologi anti-nasionalisme dengan seluruh kelompok pengusungnya. Keduanya sama-sama problem besar bangsa dan negara. Jangan karena fokus dengan yang satu, lalu kita abai dengan yang lainnya. Bahaya itu. Jangan-jangan kondisi pandemi yang menguras fokus perhatian kita semua ini justru dijadikan momentum oleh mereka untuk bangkit dan bergerak.
Ketiga, tema tersebut relevan ditulis dan dilombakan di kalangan santri. Ingat, doktrin-doktrin anti-nasionalisme yang merupakan asas pikir dari radikalisme-ekstrimisme-terorisme itu difabrikasi oleh para pengasongnya dengan menggunakan racikan yang mencatut teks-teks keagamaan, dalam konteks Islam adalah Al-Qur’an, hadits, tarikh (sejarah) dan pendapat ulama. Tentu dengan tafsiran _ngawur_ dan _sembrono_ versi mereka.
Sebagian besar umat Islam itu awam dengan teks-teks tersebut. Artinya, sebagian besar umat Islam adalah target empuk dan potensial bagi mereka, karena mudah dimanipulasi dan digiring dengan menggunakan teks-teks suci keislaman. Siapa yang mampu melawan narasi-narasi menyesatkan mereka? Ya santri. Al-Qur’an, Hadits, sejarah Islam, pendapat para ulama, itu semua menu intelektual santri setiap hari. Di sinilah mengapa target konstituen lomba BPIP itu adalah para santri, agar problem besar anti-nasionalisme/radikalisme/ekstrimisme/terorisme ditangani secara intelektual-doktrinal oleh para ahlinya. Adapun aparat keamanan menangani sisi aksi dan tindakannya. Jadi saling bahu membahu dan saling melengkapi.
Jadi, bahkan bila meski lomba ini diadakan di luar momentum hari santri atau HUT RI, dan di dalam situasi pandemi, ya tetap relevan dan signifikan.
Oleh: KH. Ade Muzaini Aziz, Lc., MA., Wakil Katib Syuriah PWNU Jakarta, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Tangerang