LIPUTAN9.ID – Diamonds are forever……”. Selantun lagu yang dinyanyikan Shirley Bassey itu mengalun lembut di ruang kerjanya yang murung. Saat itu ia diam termenung dan mengarahkan pandangannya ke arah pintu yang terbuka. Ia membiarkan udara dingin yang datang dari sela-sela kegelapan malam berhembus ke wajahnya dan menggerak-gerakkan rambutnya yang rimbun. Sesekali ia jatuhkan abu rokoknya pada asbak kaca yang tergeletak di meja.
Di ruangnya yang lembab dan dingin itu, ia ingin menulis apa saja yang sesuai dengan suasana hatinya dan gerak-gerak jari tangannya yang tampak gemetaran karena dingin malam selepas hujan yang masih menyisakan ricik gerimis yang malah semakin mengentalkan keheningan.
Malam itu ia hanya ingin mencairkan kebekuan sintagmatik saat ia mengalami kebuntuan sintaksis sebagai seorang yang selama ini berada dalam dunia imajinasi.
Di atas mejanya itu berserakan buku-buku puisi, novel, filsafat, dan buku-buku biografi orang-orang besar yang telah menjadi menu malam-malam kesendirian dan kesepiannya. Tiba-tiba hujan pun turun kembali. Ia membiarkan helai demi helai pandangan matanya menerawang dan melangkah ketika kedua telinganya merenungi ricik dan gemuruh.
Dalam duduk itu ia sebenarnya gelisah, seperti seorang pemikir yang tengah menghadapi kebuntuan axiomatik. Ketika malam menenggelamkan angan-angannya dalam keheningan dan ketiadaan. Melalui pintu yang terbuka itu ia hanya mampu memandangi langit malam dan mendengarkan desau angin pada dedaunan. Tanpa ia sadari jam di dinding kamarnya telah menunjukkan pukul 22.08. Memang, waktu baginya terkadang begitu lambat dan kadang teramat singkat.
Sembari menghembuskan spiral-spiral asap rokoknya itu, bagaimana pun, ia diliputi keraguan dan kebimbangan. Dalam benaknya terus bermunculan nama-nama penulis secara bergantian sebagai model, gaya, dan bentuk untuk roman yang ingin ia tulis. Sekali waktu ia terpesona dengan kelincahan gaya yang sarat gambaran detil-nya ala Liudmila Petrushevkaia. Di waktu yang lainnya ia pun kagum dengan bahasa impresionistiknya Yasunari Kawabata.
Begitulah setiap harinya, bila di pagi hari ia menyenangi ketakterdugaan teknik berceritanya Guy De Maupassant, di malam harinya ia ingin mencontoh suasana meditatif gaya berceritanya Thomas Mann dan Franz Kafka. Kebimbangan dan keraguannya itu, bagaimana pun, yang menjadikannya tak lebih seorang penjiplak yang memang tak mampu ia hindari.
Kepalanya telah menjadi semacam tempat penitipan bagi jejak-jejak tulisan yang ia baca. Bagi sekian ujaran bisu dari buku-buku bisu yang terhampar di meja kerjanya itu. Di saat ia sendiri bingung dari mana ia harus mulai menulis dan apa yang akan ia tulis.
Meski dalam kebimbangan dan keraguan eksperimentalnya tersebut, ia juga tak mau kalah begitu saja. Karena bagaimana pun, antara mencari kesibukan dan pelarian diri, pilihannya untuk menjadi seorang penulis bukanlah obsesi masa remajanya dan impian masa kanak-kanaknya. Pilihannya untuk menjadi seorang penulis merupakan hasil dari sekian banyak kompromi bathin.
Anggapannya itu pun tak lebih wabah heroisme individualistiknya para filsuf eksistensialis yang digemari dan dibacanya. Meski ia sendiri tahu hidup yang ia alami dan yang ia jalani itu tak setragis Rodion Raskolnikov dan Sonia Marmeladov-nya Dostoevsky, David Copperfield-nya Charles Dickens, Joseph K-nya Franz Kafka, atau tokoh-tokoh romannya Akutagawa.
Sulaiman Djaya, (Budayawan)