Serang, LIPUTAN9.ID – Generasi muda zaman sekarang atau yang lebih lazim disebut generasi milenial rupanya mendapat perhatian khusus di kalangan pemerhati budaya dan praktisi budaya. Ini dikarenakan para generasi milenial Banten rupanya masih banyak yang tidak tahu bahkan tidak kenal dengan produk budaya dimana mereka hidup dan tinggal, yaitu budaya Banten. Padahal para generasi milenial tersebut merupakan asli masyarakat Banten.
Hal itu terungkap pada diskusi yang digelar di Lebjar Coffee di Taman Graha Asri 1, Kota Serang dalam sebuah kegiatan yang bertajuk Pojok Diskusi Umum (PODIUM).
Terkait hal itu, Ketua TTKBI Tb. Mulyana menilai, sekarang ini sangat jarang sekali generasi muda yang benar-benar tahu budaya Banten.
“Inilah yang menjadi kekhawatiran dan kegelisahan kami,” ujar Mulyana ketika ditanya media usai kegiatan, Jumat sore, (10/11/23).
Untuk mengatasi hal tersebut, menurut Mulyana, pengenalan budaya Banten kepada generasi milenial harus dilakukan melalui dunia pendidikan dan peraturan daerah (perda).
“Seperti di SD, SMP, dan SMA sederajat harus ada mulok pencak silat misalnya atau yang terkait dengan budaya Banten lainnya. Selain itu, di berbagai perguruan tinggi juga harus ada kegiatan ekstra kurikuler berupa pencak silat, seni tari, dan lain sebagainya” ujar Mulyana.
Kata dia, yang lebih penting sebenarnya adalah adanya peraturan daerah (perda) kebudayaan yang dibuat oleh pemerintah ataupun oleh DPRD.
Sementara, pemerhati budaya yang juga sekigus penyair Sulaiman Djaya menyetujui terkait adanya perda.
“Kalau kita punya perda tentang budaya, jika ada yang melanggar Perda, kan gampang kita ngomongnya. Berarti itu melanggar hukum,” katanya yang juga seorang sastrawan ini.
Lebih lanjut kata dia, bila diumpamakan secara sederhana, hubungan antara manusia dan budaya adalah tak ubahnya seperti hubungan antara produsen dan produknya. atau seperti pabrik dan pabrikannya.
“Tanpa adanya produsen yaitu manusia, maka takkan ada yang namanya budaya dan kebudayaan. Karena budaya dan kebudayaan adalah produk dan karyanya. Yang mana keberadaan produk karena memang adanya sang produsen kebudayaan itu sendiri, yaitu manusia,” imbuh penyair yang pernah studi di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Dikatakannya, kalau berbicara tentang kebudayaan, tentu pertama yang harus dibicarakan adalah tentang manusia sebagai penghasil dan pencipta kebudayaan.
Lebih jauh kata dia, dalam hal ini maka manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam konteks semesta. Yaitu dimana Alquran menegaskannya sebagai ciptaan atau makhluk terbaik (Ahsan at-taqwin).
“Keistimewaan tersebut telah dijabarkan dalam banyak risalah para filosof dan kaun ‘urafa, yang salah satunya adalah karena kapasitasnya dalam berbahasa (berpikir dan menalar) sehingga manusia disebut juga hayawanun natiq atau binatang yang berakal. Yaitu binatang yang memiliki kapasitas berbahasa yang dengan bahasa itu manusia bisa mengembangkan dan mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuannya. Yang mana dengan pengetahuannya itu, manusia sanggup mencipta kebudayaan secara simultan,” tandasnya. (red)