Jakarta, Liputan9 – Perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka banyak persepektif dan kronologi sejarah heroisme yang berbeda, tulisan ini hanya salah satu versi yang singkat dan menurut saya terpenting dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada sekitar bulan Maret 1662 Belanda bisa merebut Batavia dari kesultanan Cirebon. Di bulan yang sama di tahun berbeda, takdir Allah, pada 5 Maret 1942, Jepang berhasil merebut Batavia dari Hindia Belanda. Kemudian semua Komandan dan prajuritnya lari ke Lembang dan sore hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Jepang berhasil memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata.
Setelah bertekuk lutut, Mayjen JJ Pesman pun mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Tetapi dari pihak Jepang, Kolonel Shoji minta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang dipakai sebagai Gedung Rektorat UPI, Bandung).
Sementara itu, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Strachouwer untuk mengadakan perundingan di Kalijati, Subang pada pagi hari tanggal 8 Maret 1942. Kemudian Belanda menyetujui perundingan di Kalijati. Saat itu juga Ter Poorten dan Tjarda secara resmi menandatangi dokumen kapitulasi atau penyerahan tanpa syarat Hindia Belanda kepada Jepang.
Keesokan harinya, 9 Maret 1942, Belanda menyiarkan penyerahan dirinya lewat radio. Setelah radio dikuasi oleh Jepang, Kolonel Shoji menyiarkan berita amat penting yaitu mengumumkan akan menjadikan Indonesia saudara tuanya dan berjanji sesama Asianya akan membantu memerdekannya dari penjajahan kulit putih Eropa. Satu bulan kemudian, 9 Mei Kiai Haji Hasyim Asyari bersedia menjadi mufti (shumubu) 1942.
Orang banyak bertanya, bahkan elit nasionalis saat itu banyak menyayangkan sikapnya dan mengkritik keras keputusan ini, tetapi Mbah Hasyim tetap tak bergeming untuk mundur. Bahkan, ia menunjuk putranya untuk menggantikan posisinya sebagai pelaksana. Namun belakangan baru diketahui bahwa sikap ini adalah sebagai strategi yang luar biasa bagi jalan menuju kemerdekaan.
Sejarah mencatat, Kaesar Jepang, tanggal 24 September 1942 secara resmi pernah berjanji akan memerdekakan bangsa Indonesia, sebagai pengukuhan janjinya pada 8 Maret 1942, tetapi janji tetap janji. Hal inilah yang dimanfaatkan Mbah Hasyim untuk terus konsolidasi dan menjalankan strateginya. Diantaranya dengan meminta Jepang untuk memberi pendidikan yang memadai pada pribumi dan memintanya untuk melatih militer.
Jepang tidak keberatan, karena mereka sudah mencium Belanda dan sekutu akan kembali mengambil alih kekuasaannya pada rencana agresi militer kedua. Ini bagian dari keputusan negara antar bangsa di Wina pada 2 September 1942. Jadi pelatihan militer pada pribumi akan menguntungkannya untuk menghadapi NICA. Tapi bagi Mbah Hasyim pengetahuan dan pelatihan ini adalah langkah pertama untuk menggapai cita-cita kemerdekaan. Sebab baginya, jika rakyat sudah terlatih, tidak ada sulitnya mengusir Jepang yang hanya segelintir itu.
Melalui Shumuka-cho (kantor cabang Shumubu di daerah) Mbah Hasyim dan sejumlah kiai membuat barisan komando perang, seperti Barisan Hizbullah, Sabilillah, Pandu Hizbul Wathon dan lain sebagainya. Setiap hari kiai dan santri bersama PETA (militer buatan Jepang) dilatih perang oleh tentara Jepang dalam komando kolonel Shoji (Dari sini sejarah TNI dibentuk). Kelak, setelah mereka sedikit mahir dan Mbah Hasyim dimasukan ke penjara selama empat bulan karena menolak kebijakan Seikirai. Selama itu pula bagaimana pemberontakan demi pemberontakan kaum santri bergolak dimana-mana. Sehingga Jepang terpaksa melepaskan Mbah Hasyim.
Tidak hanya melepaskan, karana mereka terdesak akhirnya Jepang menunaikan janjinya pada tanggal 9 Maret 1942, yaitu segera “memberi” kemerdekaan Indonesia, yaitu dengan membentuk BPUPKI pada tanggal 29 April 1945
Kemudian 1-10 Mei 1945 elit politis negeri ini mengundang semua elemen bangsa, dan ketika ingin membahas dasar negara secara lebih serius, terlalu banyak keinginan dan gagasan, bahkan sampai deadlock, maka untuk menindaklanjuti ini BPUPKI membentuk tim kecil yang berisi sembilan tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok penting tersebut, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agama.
Terpilah sembilan tokoh, mereka adalah Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin. Salah satu hasilnya adalah berhasil membuat naskah pembukaan undang-undang dasar dan rumusan dasar negara meski ada sedikit perbedaan, misalnya dengan apa yang dipidatokan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945.
Meskipun hanya sembilan orang, perdebatan sengit berhari-hari tak menemukan titik temu. Karena kubu yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, buntut dari Kongres Jamiatul Khair 1913 di Surakarta sama kuatnya dengan yang menginginkan Indonesia nasionalis sekuler. Sehingga sidang discoring, dan dilanjutkan di akhir bulan Mei.
Pada sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Kiai Haji Wahid Hasyim meminta waktu untuk berpidato menyampaikan uraian tentang piagam (shahifah) Madinah. Piagam Madinah yang dideklarasikan Rasul Saw ini terdiri atas empat bagian. Dalam bagian pertama ini, dinyatakan semua pertikaian yang tidak terselesaikan dengan musyawarah akan diambil pemimpin sidang berdasarkan banyak pertimbangan.
Bagian kedua, mengatur hubungan antara umat Islam dan golongan non muslim secara lebih teperinci. Hal ini bertujuan untuk menjaga stabilitas masyarakat Madinah yang bersatu. Adapun bagian ketiga terkait dengan Perjanjian Hudaibiyah, yaitu tentang hak dan kewajiban warga negara, termasuk bebas menjalankan keyakinannya tanpa paksaan (lakum dinukum waliyadin). Bahkan, siapapun yang menetap di pinggiran negara Madinah itu boleh menuntut hak bertetangga.
Setelah piagam Madinah dibacakan, Soepomo berdiri dan mengatakan bahwa “Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi cukup menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.” Sambil terharu dan menangis Bung Karno selaku pemimpin sidang memutuskan Indonesia adalah negara nasional-religius. Kemudian dibuatlah Piagam Jakarta atas usulan Bung Yamin, sebagai jalan tengah dan segara dibacakan sebagai declaration of independent esok harinya oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Piagam ini mengandung lima sila yang menjadi bagian dari ideologi Pancasila, dengan sila pertama yang mencantumkam frase “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Tetapi A. A Maramis sebagai wakil non muslim dan Indonesia bagian Timur mempersoalkan kata syariat Islam.
Sidang kembali dilanjutkan secara maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Pada kesempatan itu Kiai Wahid Hasyim memberi pendapatnya, dengan ditambah frase, “bagi pemeluknya”. Tapi Kiai Kahar Muzakir protes, tidak boleh ditambah, begitu juga wakil dari Muhammadiyah yang dipanggil secara khusus Bung Karno, yaitu Ki Bagus Kusuma keberatan dengan tambahan frase, bagi pemeluknya.
Belum selesai soal tambahan frase ini Mohammad Hatta yang pada malam sebelumnya menerima kabar dari seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa kelompok nasionalis dari Indonesia Timur sudah dipastikan lebih memilih mendirikan negara sendiri jika kata syariat islam tersebut tidak dihapus, dan memberi jalan tengah mengusulkan Ketuhanan yang Maha Kuasa dan menghapus tujuh kata tambahan.
Tetapi Ki Bagus Kusuma tetap kekeh dengan pendapatnya. Kemudian, Bung Karno meminta Kasman Singodimedjo sebagai karibnya untuk memahamkannya. Dari lobi yang dilakukan Kasman, Ki Bagus akhirnya melunak dan kemudian membuat keputusan penting.
Yakni, menyetujui penghapusan tujuh kata-kata bernapas islami dalam Piagam Jakarta itu demi keutuhan dan persatuan bangsa. Namun, dengan syarat ada penambahan frasa ‘Yang Maha Esa’ setelah Ketuhanan.
Kiai Wahid Hasyim setuju dengan usulan Ki Bagus Kusuma, penggantian kalimat dari Maha Kuasa ke Maha Esa. Karena Esa mengandung nilai-nilai ketauhidan yang itu kedudukannya lebih fundamental dari menjalankan syariah. Bung Karno menyetujui dan perubahan yang sangat penting itu akhirnya terjadi.
Setelah menyelesaikan tugasnya BPUPKI dibubarkan, dan sebagai gantinya pada tanggal 7 Agustus 1945 Jepang mengumumkan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Zyunbi Iinkai, lalu membacakan Piagam Jakarta sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, yaitu pada 18 Agustus 1945.
Terpenting kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamirkan itu semua pihak menyadari atas berkat rahmat Allah yang Maha Esa, dan hasil dari jerih payah semua segenap elemen bangsa dan bukan pemberian dari Jepang, sebab Jepang saat itu sudah menjadi macan Asia yang ompong, terutama ketiak Bom mendadarat di Nagasaki dan Heroshiha pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.
Wallahu’alam bishawab
Kasongan, 16 Agustus 2022