Bandung, LIPUTAN 9
Sebuah ungkapan menarik saat memasuki hari baru dari Steve Maraboli dalam, “Unapologetically You: Reflections on Life and the Human Experience”:
Namun menurut Steve, masalah yang sering ditemukan dalam kehidupan sosial, faktanya sering menyaksikan sesorang atau kelompok yang selalu menyikapi setiap memasuki momentum hari baru dengan “victim mentality”. Mental yang meracuni jiwanya bukan memberi nutrisi agar hidup menjadi lebih sehat.
Mental korban, dalam kajian psikologi biasanya selalu memerankan “playing victim”. Seseorang atau kelompok orang yang selalu bermain sebagai korban, berlagak korban, atau berpura-pura teraniaya. Sebuah sikap seseorang yang seolah-olah berlagak sebagai seorang korban untuk berbagai alasan menutupi kesalahan, kelemahan bahkan kepentingan dirinya. Seperti membenarkan pelecehan terhadap orang lain, penindasan atas orang lain, memanipulasi orang lain, mencari perhatian atau rasa iba orang lain dan kadang menyembunyikan tindakan tidak bertanggung jawab pada amanat yang diberikan padanya.
Bailey-Rug C dalam, “Life After Narcissistic Abuse,” menegaskan bahwa playing victim merupakan tindakan dehumanisasi. Sikap menyangkal atas tindakan negatif yang dilakukan seseorang dengan mengklaim bahwa tindakan tersebut dibenarkan dengan alasan ada orang lain yang berperilaku negatif. Sehingga orang yang melakukan playing victim akan merasa benar ketika melakukan tindak manipulatif dan kontrol abusif dengan meminta simpati atau rasa iba kepada orang lain dalam rangka meraih bantuan untuk mendukung tindakannya terhadap subjek yang menjadi sasaran manipulasi, fitnah, pelecehan atau penindasannya.
Mark Manson dalam, “The Subtle Art of Not Giving a Fuck,” menyebutkan bahwa orang yang melakukan playing victim ketika dihadapkan kepada masalah kehidupannya tidak akan menyelesaikanya dengan cara berpikir positif dan introspeksi diri. Justru disikapi dengan cara penyangkalan (denial).
Kata Sigmund Freud pengiat psikoanalisis, ketika seseorang dihadapkan dengan fakta yang membuatnya tidak nyaman untuk diterima, malah menyangkalnya dan bersikeras bahwa fakta itu tidak benar meskipun bukti-buktinya berlimpah.
Bagi Anne Freud, putri Sigmund Freud, perilaku penyangkalan diklasifikasi sebagai mekanisme dari pikiran yang belum dewasa, karena bertentangan dengan kemampuan untuk belajar mengatasi realitas yang dihadapinya. Semisal, menyangkal kesalahan yang dilakukannya, bukan memperbaiki diri. Malah mengatakan kepada banyak orang bahwa, “dirinya biasa ditelikung atau dikorbankan”. Misal lain, ketika seseorang diketahui melakukan manipulasi, pelecehan, penindasan, penipuan, kemalasan, bahkan korupsi, bukannya menyadari kesalahannya. Malah menyangkal dengan melakukan pembenaran diri dengan alasan bahwa “orang lain juga banyak melakukan hal tersebut dan kenapa harus dipermasalahkan dirinya.”
Penyangkalan dalam playing victim.adalah menjalani Kehidupan dengan cara terus menerus menipu diri dan mengalihkan perhatian dari kenyataan. Hal ini mungkin akan membuat merasa baik dalam jangka pendek, tetapi hal itu mengarah pada kehidupan yang neurotisisme, kemarahan, skizoprenik, frustasi, ketidakberdayaan, cemas dan bullying emotional.
Kata Bronnie Ware dalam, “The Top Five Regrets of the Dying: A Life Transformed by the Dearly Departing,“ berperan dengan cara playing victim adalah tindakan membuang-buang waktu yang tidak hanya membuat orang lain merasa jijik, namun juga merampas kebahagiaan sejati dari orang lain yang dikorbankan.
Apologia khas para playing victim menurut Henry Cloud dalam,“Changes That Heal: How to Understand the Past to Ensure a Healthier Future,” adalah “dunia dan orang disekililingnya harus bertanggung jawab atas eksistensi saya yang tidak pernah melakukan apa pun untuk meningkatkan kualitas hidupnya.” Hanya apologia untuk melakukan pembenaran diri atas segala kejahatan, kesalahan, kemalasan, kejatuhan dan bahkan penyimpangan yang dilakukannya sendiri dengan menyalahkan orang lain.
Jika tidak berubah memasuki tahun baru yang akan dilaluinya nanti, maka kehidupan seseorang akan selalu terjebak dalam siklus mentalitas korban yang tidak akan pernah memberdayakan dirinya.
Bagi Steve Marobali, bagaimana hidup seseorang akan berbeda dengan hari sebelumnya, jika tidak berhenti dari peran mentalitas korban. Biarkan hari baru ini menjadi momentum melepaskan drama-drama playing victim yang merugikan diri sendiri. Lalu rangkullah ilmu pengetahuan dan kompetensi keterampilan yang telah dipelajari selama ini sebagai modal “recovery dan peraihan acheivement”.
Kubur playing victim di hari baru ini agar tidak lagi bisa menyelinap kedalam pikiran dan tindakan, sehingga ketika mengalami kesalahan, kegagalan atau kejatuhan mudah memperbaiki diri sendiri. Tidak.mudah menyalahkan pihak luar, semisal orang tua, pasangan, atasan, pemerintah, keadaan, jenis kelamin, cuaca dan siapapun pria atas masalah yang dihadapi.
Hakikatnya, sesorang bukanlah korban atas masalah yang dihadapinya, jika ia selalu menjadi agen kekuatan kreatif dalam hidupnya, kata Sean Covey dalam, “Fredom of Choice.”
Memasuki hari baru, lepaskan mentalitas korban dengan rengekan, memunculkan wajah iba, sikap menyalahkan orang lain dan semua alasan apologi, sebab itu tidak akan pernah membawa selangkah lebih dekat pada tujuan atau impian terindah.
Kata Anthon St. Maarten dalam, “Spritual Warrior” bahwa empati dan loyalitas sejati tidak datang ke dunia ini jika selalu memerankan playing victim. Ingatlah seseorang datang ke gelangang kehidupan dunia ini untuk menjadi pejuang. Beranilah, tetaplah kuat, amanahlah dalam tugas dan jujurlah dalam setiap berinteraksi dengan orang lain. Inilah martabat kebahagian dan kesuksesan hidup.
Memasuki dan menjalani hari baru, sepakat dengan Seth Adam Smith dalam, “Victory Mentality,” abaikan gagasan dan bisikan untuk selalu menjadi orang yang memerankan playing victim atau victim.mentality. Pilihlah untuk menjadi pemenang.
Dalam prespektif Islam, contoh terbaik.menjadi pemenang adalah menghidupkan karakter baginda Rasulullah, yakni sifat fathonah, amanah, sidiq, dan tabligh. Karakter iniilah yang bisa menjadi kunci sebagai pemenang dan menjauhkan diri dari perilaku playing victim. Karakter baik yang dapat menghidupkan “Zero Mind Process” pada diri. Proses pikiran bersih yang selalu menunjukkan kepasrahan penuh kepada Allah SWT dalam keadaan dam situasi apapun. Catatan reflektif di teras hening.
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.