LIPUTAN9.ID – Saya seperti jamaah Nahdliyyin lainnya, yang mencintai NU hanya karena ingin dianggap menjadi santrine Mbah Hasyim Asy’ari. Dawuh Mbah Hasyim bagai jimat: Barang siapa merawat NU, cinta NU bakal kuanggap santriku dan kudoakan anak turunannya meninggal dalam khusnul khatimah.
Bagi kaum santri seperti saya, tidak ada yang lebih berharga dari pada berkah dan doa Kiai sepuh. Setiap Kiai biasanya punya batu ujiannya masing-masing, dan Mbah Hasyim mensyaratkan mencintai dan menjaga NU dengan segala macam ujiannya.
Menjaga NU dalam amaliah santri tiada lain selain ngaji. Pernah dalam sebuah ceramahnya, Mbah As’ad, murid Mbah Hasyim, yang sama-sama belajar pada Mbah Kholil Bangkalan, menekankan pentingnya ngaji. Kitab yang diaji jadi pegangan bagi jamaah NU.
Mbah As’ad juga pernah dawuh tentang NU bahwa NU bakal di nggo dolanan oleh para pengurusnya sendiri. Jika itu terjadi, jamaah NU harus kembali pada kitab salaf, ikuti ajaran ulama salaf, jangan ikuti maupun perhatikan (oknum) pengurus NU yang menggunakan NU untuk kepentingan dan kelompoknya saja.
Mbah As’ad melarang ada jamaah NU yang berkata-kata pedas, yang menyakiti hati para pengurus NU, walaupun sudah nyata-nyata berbuat salah. Sebaliknya, jamaah hanya butuh diam, mengabaikan, dan fokus semata-mata pada “mulang ngaji sak mampune”. Begitu cara saya mencintai NU, sebagai seorang santri.
Diam bukan berarti selamanya setuju. Diam kadang kala juga bermakna tidak sejalan. Mendiamkan para (oknum) pengurus NU yang merusak NU itu sendiri, sebagaimana saran Mbah As’ad, ini salah satu cara mengkritik. Karena diam berarti pengalihan, dari ikut serta dalam pengrusakan NU dan menjaga nalar tetap sehat.
Akal yang sehat dan nalar yang kritis tidak selamanya diungkapkan dalam kata-kata yang bergema. Merawat akal dan nalar bisa dengan diam, membaca, dan beramal sebagaimana ajaran yang benar. Merawat akal tidak seharusnya dengan konfrontasi dan perdebatan.
Menjaga Ngaji, Menjaga Tradisi
Ngaji bukan melulu membaca buku dan menulis. Mengaji pada hakikatnya menjaga tradisi. Ada tradisi untuk menghormati ilmu dan memuliakan orang-orang berilmu. Ciri-ciri santri yang benar dalam ngaji berarti menghormati ilmu dan orang yang berilmu.
Saya sebagai santri, lebih-lebih santri ndeso, sangatlah yakin para pengurus NU, mulai dari pusat sampai daerah, adalah orang-orang yang alim allamah. Keputusan dan kebijakan yang mereka pilih sarat akan pertimbangan-pertimbangan ilmiah. Punya argumennya sendiri-sendiri.
Sementara tradisi orang berilmu itu sendiri menghormati hasil ijtihad orang lain. Dalam kaidah fiqhiyyah, sebuah ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya. Karena prinsip dasar ini, ada banyak sekali pilihan dan pendapat para ulama sangat beragam.
Itu pula mengapa tradisi keagamaan NU mencerminkan spirit kemajemukan, ada empat mazhab di bidang fikih (Hanafiah, Hanabilah, Malikiah, Syafi’iah), ada dua aliran besar di bidang akidah (Asy’ariah dan Maturidiah), dan duatokoh besar di bidang tashowuf (Junaid al-Baghdadi dan Al-Ghazali).
Bagi kami sebagai santri yang diwajibkan selalu mengaji, menghargai perbedaan pendapat adalah keniscayaan. Ini ciri khas ilmiah, tradisi intelektual, dan cara kami para santri menjaga tradisi ke-NU-an. Karenanya, perbedaan pandangan, mazhab, dan manhajul fikr bukan momok yang menakutkan.
“Gegeran” hanya karena perbedaan pendapat (termasuk pendapatan) bukan tradisi jamaah NU. Setidaknya sejauh yang saya sebagai santri ndeso ketahui selama ini. Gegeran tidak pernah produktif, dan tidak memiliki contoh dari para ulama salafus sholeh.
Apalagi gegeran hanya gara-gara perbedaan tata kelola organisasi. Suatu perbedaan yang dalam istilah ilmu fikih disebut sebagai furu’iyah. Perbedaan tentang sesuatu yang bukan utama, primer, substansial. Bekalangan ini, media ramai tentang gegeran para pengurus NU tentang sesuatu yang sekunder.
Berpolitik ataupun Tidak, itu Furu’iyah
Sedangkal pemahaman saya sebagai santri ndeso, yang jauh dari pusat kekuasaan, gegeran para pengurus NU akhir-akhir ini hanya masalah politik. Perbedaan terjadi di antara kubu yang mengkampanyekan netralitas NU, dan kubu yang diam-diam menyeret NU ke pusaran politik praktis.
Jika dilihat dari hasil-hasil ijtihad para ulama NU di zaman dahulu. Pilihan untuk berpolitik praktis maupun tidak adalah perkara furu’iyah. Sebagai perkara furu’, maka perubahan zaman adalah faktor penting yang sangat berpengaruh.
Ada kalanya NU yang semula berupa Jam’iyyah bertransformasi menjadi partai politik. Ikut Pemilihan Umum. Itu pernah terjadi saat Pemilu pertama tahun 1955, di mana partai NU ikut pemilu.
Setelah puas menjadi partai politik,(hasil ijtihad) baru para ulama menarik diri dari gelanggang politik, dan berjanji sepenuh kembali ke Khitthah 1926, saat NU masih berupa Jam’iyah, bukan parpol. Itu terjadi misalnya melalui Muktamar 1984.
Baik berpolitik praktis maupun tidak, semua itu hanya furu’iyyah. Dalam kaidah fikih disebutkan, “taghayyurul ahkam bi taghayyuril azminah” (perubahan hukum sesuai perubahan zaman). Hal-hal furu’iyah sudah lazim akan berubah-ubah.
Berbeda halnya dengan aspek Ushuliyah atau pokok dari NU. Selamanya tidak akan pernah berubah, tidak peduli perubahan zaman atau tempat. Misalnya, sejak awal sampai detik ini, NU memperjuangkan akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak ada inovasi apapun.
Alhasil, gegeran karena persoalan furu’iyah itu sama saja dengan menjadikan NU sebagai dolanan (mainan) anak-anak. Sampai kiamat terjadi, perbedaan furu’iyah tidak akan pernah terselesaikan. Gegeran karena furu’iyah berarti sengaja bermain-main dengan NU. Melihat kontroversi para pengurus NU hari ini, penulis sebagai santri hanya bisa berdoa, semoga lekas reda. Allahumma amin.
KH. Agus Masruri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muhdi, Krapyak Lor Wedomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta





















