Jakarta, LIPUTAN 9 NEWS
Menarik untuk dikaji sebuah tesis yang dikemukakan Karen Armstrong dalam buku terbarunya, Sacred Nature, Restoring our Ancient Bond with The Natural World. Ia mengungkapkan, paham monoteisme yang diperkenalkan oleh agama anak-anak cucu Nabi Ibrahim (Abrahamic religions), yaitu agama Yahudi, Kristen, dan Islam, berhubungan dengan terjadinya akselerasi kerusakan alam dan lingkungan hidup.
Armstrong agaknya terpengaruh dengan buku The Sacred and The Profane, The Nature of Religion karya Mircea Eliade, yang mengungkapkan, paruh kehidupan manusia dahulu kala dikendalikan oleh mitos (myth) dan paruh kehidupan belakangan manusia dikendalikan oleh sains (logos).
Masyarakat adat tradisional merespons setiap persoalan hidupnya dengan mengandalkan persahabatannya dengan alam semesta. Mereka dengan terampil menyelesaikan persoalan dan tantangan kehidupannya menggunakan apa yang disebut Levy-Bruhl (1857-1939), seorang antropolog Perancis, dengan istilah ”participations”, yakni melibatkan alam semesta untuk berpartisipasi menyelesaikan persoalan manusia.
Tuhan, manusia, alam semesta
Mereka yakin bahwa alam semesta seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan apa yang dipersepsikan manusia modern dengan ’benda mati’ masing-masing memiliki hidup tersendiri dan di antara satu sama lain bisa saling menolong. Manusia tradisional lebih mengandalkan otak kanan dalam berkomunikasi dengan alam semesta.
Mereka tidak perlu menghadirkan peralatan canggih untuk memahami dan selanjutnya ’memaksa’ alam untuk berpartisipasi memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun, mereka cukup dengan melakukan ritual tertentu, maka alam itu sendiri yang membuka rahasianya dan secara sukarela memberikan partisipasinya untuk menolong satu sama lain, termasuk menolong manusia.
”Tuhan” yang dipersepsikan oleh masyarakat adat tradisional bukan sosok yang memiliki kekuatan yang bersifat transenden dan supernatural, jauh, dan terpisah dengan manusia, tetapi mereka hadir secara inmanen dan intransik di dalam diri. Ia lebih merupakan sebuah energi sakral, lebih dalam dan lebih fundamental. Inilah yang disebut Bragma Nirguna dalam agama Hindu dan oleh tradisi China klasik disebut Dao (”jalan”) fundamental kosmos.
Fang Yizhi (1611-1671) menyebutnya Qi, sesuatu yang tak akan dapat diketahui, bahkan dikatakan, ia bukan ”Tuhan” atau wujud apa pun, tetapi ia adalah energi yang meliputi segala sesuatu. Ia berada di luar kategori yang bisa didefinisikan. Ini mirip konsep Summa Theologiae Thomas Aquinas yang menggambarkan Tuhan tidak terikat pada suatu surga supernatural, melainkan hadir di mana-mana di dalam segala sesuatu.
Tuhan bukan sesuatu wujud, melainkan wujud itu sendiri (esse seipsum). Pemikiran ini mirip dengan seniornya, Ibn ’Arabi, seorang filsuf Muslim, yang mengatakan: ”Dia masuk ke dalam segala sesuatu tetapi tidak bercampur, keluar dari segala sesuatu tetapi tidak terpisah.” Alam ini, menurut dia, tidak lain adalah manifestasi (tajalli) Dia. Ia juga menggambarkan alam semesta ini sesungguhnya bukan kosmos, melainkan a-cosmos (acosmism).
Berbeda dengan masyarakat modern yang seolah-olah mengasumsikan diri sebagai sesuatu entitas yang non-alam semesta, tetapi sang penguasa alam semesta. Evolusi perkembangan manusia yang mampu mengembangkan dunia logos sedemikian hebat.
Tidak heran jika Francis Bacon (1561-1626) dengan bangga menganggap manusia sebagai ”Tuhan” karena sudah mampu menemukan dan menciptakan hukum-hukum kekuatan yang pada saatnya mampu menjinakkan dan menaklukkan alam. Tugas para filsuf adalah bagaimana mengangkat martabat manusia yang sekian lama tenggelam dalam pemujaan alam semesta sebagai akibat penyesalan dirinya yang telah melakukan dosa dan di surga yang membuatnya jatuh ke bumi.
Manusia harus mengendalikan dan menundukkan bumi sebagaimana diperintahkan Allah. Alam bukan sebuah teofani (jelmaan Tuhan), melainkan komoditas yang harus dieksploitasi.
Apalagi Bacon mengutip salah satu pasal dalam Kitab Kejadian (Genesis): Allah memberkati mereka dan mengatakan kepada mereka, ”Beranak cuculah dan penuhilah bumi dan kuasailah itu. Berkuasalah atas ikan di dalam laut dan burung-burung di udara. Berkuasalah atas setiap makhluk hidup yang bergerak di atas bumi” (Genesis, 1:28).
Pemikiran Bacon dilanjutkan oleh Rene Descartes (1596-1650) yang terkenal dengan konsep ”cogito ergo sum” (Aku berpikir maka aku ada). Ia dengan lancung mengatakan seorang ilmuwan harus mengosongkan pikirannya dari wahyu Ilahi dan tradisi manusia.
Pikiran serupa dikemukakan Isaac Newton (1642-1727) yang mengatakan alam semesta tidak memiliki ini suci atau sesuatu yang sakral. Ia pun mereduksi Tuhan hanya sebagai sebuah fenomena fisika. Konsep representatif (dominatio). Khalifah dalam Islam diidentifikasi sebagai gaya gravitasi yang mengontrol kosmos. Teolog Yahudi dan Kristen tidak jauh berbeda di dalam dunia Islam.
Kalangan pemikir Islam juga menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Membaca ulang kitab suci
Kalangan pemikir Muslim juga memahami manusia sebagai penguasa alam semesta, apalagi dengan adanya ayat yang menegaskan: ”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir” (QS Al-Jatsiyah/45:13).
Demikianlah asumsi teologis yang berkembang di dalam penganut Abrahamic Religions, yang kemudian menuai kritik dari para pemikir dan pelestari lingkungan hidup.
Atas dasar inilah komunitas pemerhati lingkungan hidup dari para penganut Abrahamic religions mencoba untuk membaca ulang kitab-kitab suci masing-masing, apakah betul tudingan itu? Mungkin ada benarnya atau mungkin ada yang dapat dikritisi?
Kelompok Abrahamic religions sebagai salah satu kelompok agama terbesar di dunia sudah pasti memiliki peran besar untuk menyelamatkan lingkungan alam semesta. Tantangan kita adalah bagaimana mengerem laju pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, terperangkap di sana, dan menyebabkan naiknya suhu bumi secara ekstrem.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA., Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Sumber: Kompas
Editor: Moh. Faisal Asadi