Banten | LIPUTAN9NEWS
Konon kita sedang hidup di jaman post-truth, kelompok ekstrim sekuler menyebutnya era pasca agama, meski klaim kaum ekstrimis sekuler itu tidak terbukti mengingat justru terjadi populisme agama beberapa tahun belakangan ini. Barangkali post-truth sebenarnya lebih merupakan satir halus atau ejekan untuk menamai keadaan dan jaman ketika kebanyakan orang lebih menggandrungi sensasi ketimbang substansi. Mungkin juga post-truth adalah jaman ketika teknologi informasi dan media sosial dengan ragam platform seperti Facebook, Instagram, Tiktok, YouTube dan lainnya menjadi media dan instrumen yang memungkinkan siapa saja saling terhubung di waktu bersamaan. Batas-batas geografi dan Negara menjadi lebur dan menghilang. Namun sayangnya, para pengguna media sosial dan teknologi informasi rentan menjadi ‘konsumen kepalsuan’ dan hoax hingga propaganda kepentingan sekuler yang membajak klaim-klaim keagamaan, semisal propaganda khilafah.
Teknologi informasi dan media sosial yang terlampau massif dan terlampau melimpah juga ternyata membuat banyak orang kehilangan durasi daya tahan atensi, melemahnya daya ingat, menurunnya kapasitas kritis dan analitis serta menggandrungi hal-hal yang justru banal dan instan. Di sisi lain, publik digiring untuk menyenangi tren-tren materialis dan sekuler serta menjadi para pelaku aktif budaya narsistik-egoistik. Belum lagi para pengguna teknologi informasi menjadi subjek yang acuh kepada sesama bahkan di saat mereka berada bersama ketika fokus dan perhatian mereka lebih tertuju pada gawai.
Yang pasti, tepat sekali ketika Goethe berkata: “Betapa segala sesuatu terjalin dalam keseluruhan –yang satu mempengaruhi yang lain, saling menghidupi!” Dulu, ketika kita kesepian, kita akan mengunjungi teman atau anggota keluarga kita di mana mereka berada. Melakukan pertemuan secara langsung tanpa perantara media digital. Dan terjadilah peristiwa dan interaksi langsung kita dengan sesama manusia secara riil dan konkrit, bukan hanya sekedar gambar atau citra virtual dunia mayantara. Begitu pun ketika kita ingin menemukan hiburan dan kesenangan, kita akan bermain permainan di dunia nyata, mengunjungi tempat-tempat menyenangkan di alam nyata, berbincang dengan teman yang berkunjung ke rumah kita atau pun sebaliknya. Melakukan hobi kita seperti olahraga alam, bersepeda, bertani atau berkebun, bukan bermain games di gawai atau menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berselancar di dunia-dunia mayantara yang seringkali membuat kita tidak peduli dengan orang-orang yang dekat berada di sekitar kita.
Dengan menjumpai sesama di dunia nyata secara riil dan konkrit, terciptalah keakraban dan kepedulian yang lebih bermakna. Menjumpai tubuh dan wajah yang sesungguhnya, bukan representasi salinan semu atau simulakra belaka. Interaksi dan keguyuban di masa lalu masyarakat kita terjadi dalam peristiwa-peristiwa budaya, sementara kearifan lokal masyarakat mengandung dan mempraktikkan kesalehan, semisal wawasan Tri Hita Karana: saleh kepada Tuhan (parahyangan), saleh kepada lingkungan dan alam (palemahan), dan saleh kepada sesama manusia (pawongan). Ironisnya, acapkali sekarang ini, para penganut dogma dan kepercayaan keagamaan yang mendaku diri sebagai para pemeluk agama paling benar, justru menebar kekerasan, paksaan, intoleransi, dan bukannya menyebarkan dan menebarkan welas-asih dan kearifan.
Populisme Agama dan Banalitas Sosial
Berdasarkan definisi yang dinyatakan Oxford English Dictionary, post-truth (pasca-kebenaran) adalah ‘relating to or denoting circumstance in which objective facts are less influential in shaping public opinion than appeal to emotion and personal belief’ (segala yang berkenaan dengan situasi ketika opini publik lebih dipengaruhi oleh kepercayaan pribadi dan emosi ketimbang fakta objektif). Hal demikian sangat terasa di era digital dan perkembangan teknologi informasi saat ini, ketika bias menjadi sedemikian melimpah justru di saat kemelimpah-ruahan informasi dan konten-konten yang hadir setiap hari secara massif tanpa jeda di media sosial dan internet.
Sebenarnya definisi yang dinyatakan Oxford English Dictionary itu bukan definisi satu-satunya tentang era ‘pasca-kebenaran’, dan bukan pula definisi yang paling tepat, mengingat istilah post-truth itu sendiri lebih ingin menggambarkan suatu kecendrungan bias politik dan demokrasi, semisal para demagog yang menggunakan klaim kebebasan berpendapat dan hak demokratis untuk menyebarkan pandangan yang sesungguhnya intoleran dan tidak demokratis bahkan kerapkali menghasut dan menakut-nakuti publik dengan membajak dogma-dogma agama sebagai narasi dan retorikanya. Kelompok-kelompok ini menggunakan kesempatan dan peluang iklim demokratis justru untuk mencapai tujuan yang hendak ‘menggantikan’ demokrasi, semisal kelompok dan kaum pengusung khilafah. Mereka juga secara massif melakukan kampanye dan propaganda dengan menggunakan perkembangan teknologi informasi, seperti menyebarkan konten-konten di ragam platform media sosial.
Tidaklah keliru apa yang dinyatakan Thomas Nagel dalam pengantar bukunya yang berjudul The View from Nowhere terkait konflik antara subjektivitas personal dengan kenyataan dunia yang dihadapi orang-orang modern. Kelompok atau kaum yang menganut pandangan keagamaan yang bias atau para penganut teologi devian bebas menyebarkan pandangan dan pemahaman ekstrim keagamaan mereka dengan ‘membajak’ perkembangan teknologi informasi, ketika siapapun bisa menjadi konten kreator dan menyebarkan pandangan subjektif mereka melalui ragam platform media sosial dan perangkat atau medium teknologi informasi lainnya.
Populisme agama yang digerakkan oleh kelompok-kelompok seperti FPI (Front Pembela Islam) dan yang sejenisnya kerapkali ‘membajak’ isu-isu religius dan identitas dalam gerakan-gerakan politik mereka untuk meraih simpati massa, yang tak jarang mempraktikkan intoleransi, hate speech (ujaran kebencian), dan hasutan untuk melakukan kekerasan. Ramalan kaum ekstrimis sekuler yang menyatakan agama akan hilang atau musnah tidak terbukti. Yang terjadi justru sebaliknya, maraknya ‘revivalisme keagamaan’ dengan ragam wajah dan praktiknya, bahkan memproduksi pandangan-pandangan baru: dari yang berciri sinkretik hingga yang fundamentalis dengan sentuhan dan modus kontemporer yang beradaptasi dengan tren jaman dan era digital, semisal gerakan ‘hijrah’ sejumlah selebriti yang insaf dan mereka yang hidup di perkotaan.
Namun tidak sedikit yang menyatakan bahwa populisme agama yang justru dipraktikkan dan disebarkan dengan intoleransi dan politik identitas justru mengancam eksistensi keragaman sosial-budaya Indonesia. Di sisi lain, praktik keagamaan yang dihidupkan dan disebarkan dengan intoleransi dan kekerasan malah akan merusak dan menghancurkan citra dan substansi agama itu sendiri yang secara hakikat sesungguhnya mengajarkan welas-asih dan solidaritas kepada segala makhluk hidup yang sama-sama hadir di dunia dan semesta. Yang lain tak sungkan-sungkan menyatakan bahwa praktik keagamaan yang gandrung melakukan intoleransi lebih merupakan praktik keagamaan yang dangkal (banal) dan jauh dari hakikat ajaran dan nilai agama itu sendiri.
Populisme agama, seperti yang tampak jelas di Indonesia, lebih sering memerankan diri mereka sebagai para pelaku politisasi agama demi meraih kekuasaan, menjadi pion-pion para elite untuk meraih dukungan massa, semisal dalam kontestasi Pilgub DKI Jakarta dan Piplres beberapa tahun lalu yang sangat jelas ‘memelintir’ isu dan sentimen identitas-keagamaan demi meraih suara publik bagi kandidat tertentu, di mana oknum pelakunya seperti FPI dan gerakan 212 yang kemudian bermetamorfosis dengan ragam nama sebagaimana FPI itu sendiri sesungguhnya metamorfosa dari Pam Swakarsa di akhir masa kekuasaan orde baru Soeharto yang dibentuk dalam rangka membentengi dan mendukung Soeharto dari gerakan demonstrasi mahasiswa dan massa.
Gerakan populisme agama seperti itu sangat berbahaya bagi keberlangsungan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dasar falsafahnya adalah Bhinneka Tunggal Ika dan etik sosial kultural masyarakatnya dibangun atas dasar kearifan dan kebijaksanaan yang lahir dari keragaman falsafah dan budaya masyarakat Nusantara. Sementara populisme agama memaksakan versi tertentu dari tafsir agama yang acapkali kasar, memaksakan kehendak dan seringkali intoleran. Terlebih lagi ketika terbukti sejumlah jejak digital mereka pun tampak menyuarakan dukungan kepada ideologi dan kaum ekstrimis-teroris seperti ISIS yang diciptakan demi tujuan militeristik bagi invasi dan penaklukan. Menjadi proksi Negara-negara Barat yang memiliki kepentingan untuk mengendalikan Timur Tengah atau Asia Barat.
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan