Jakarta, LIPUTAN 9
Sewaktu kami masih aktif mendaras dan mengkaji filsafat ekonomi dan ekonomi politik Karl Marx di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), saya tertegun dengan istilah ‘agama adalah candu’ yang dinyatakan Marx. Candu dapat dimaknakan sebagai yang melenakan dan menghilangkan kesadaran dan kapasitas nalar-rasional manusia dan juga bisa dimaknakan sebagai yang ‘memabukkan’.
Saya pun berusaha menafsirkan sendiri istilah, lebih tepatnya frase, yang dinyatakan Marx itu sebagai agama yang dijadikan alat atau instrument untuk membodohi dan ‘mematikan kesadaran’ masyarakat, seperti yang dilakukan para tiran. Tiran Ummawi yang didirikan Muawwiyah bin Abu Sufyan sebagai contohnya. Yaitu ketika mereka menciptakan dan menyebarkan paham dan akidah Jabariah (fatalisme) di kalangan masyarakat muslim sebagai upaya melegitimasi tirani mereka.
Dengan paham dan akidah Jabariah (fatalisme) yang diciptakan dan disebarkan Tiran Ummawi itu mereka ingin memanipulasi kesadaran dan nalar masyarakat muslim bahwa kekuasaan mereka adalah atas kehendak Tuhan dan wujud kehendak Tuhan, sehingga siapa saja yang melawan tirani mereka atau berusaha memberontak, maka sama saja dengan melawan kehendak Tuhan. Sungguh biadab memang!
Istilah, lagi-lagi lebih tepatnya frase, lain yang dinyatakan Karl Marx yang menarik saya adalah ‘agama sebagai kesadaran palsu’. Yang dimaksud Marx sebenarnya memang ekstrim dan menohok. Bahwa cita dan harapan kaum beragama yang percaya mereka akan masuk surga sebagai balasan dari ketabahan dan kesabaran mereka di saat mereka berada dalam tirani dan penindasan oligarkhi dan para tuan tanah serta para penguasa modal itu sebenarnya tak lebih kesadaran palsu yang diantaranya diajarkan dan dimapankan para pemimpin agama yang telah dibayar dan dikendalikan tiran dan para penguasa modal agar ‘wong cilik’ tidak melakukan perlawanan dan pemberontakan.
Sesungguhnya Karl Marx menyadarkan saya tentang arti penting agama dan iman yang membebaskan dan memerdekakan. Tentang agama yang memang kemudian tidak menjadi candu dan tidak memapankan kesadaran palsu. Ironisnya di sisi lain, kaum Islam Kanan yang biasanya adalah juga Islam Proksi (Islam boneka) melakukan apa yang justru dikritik oleh Karl Marx, mempolitisasi dan memanipulasi isu dan retorika keagamaan demi upah dari orang-orang kaya. Menjual isu komunisme dan PKI agar dapat komisi dan kompensasi dari oligarkhi dan mereka yang terlibat kejahatan 1965 di Indonesia. Hingga membakar buku tentang pemikiran Karl Marx semisal buku yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno.
Yang lebih lucu lagi adalah mereka membuat sendiri bendera-bendera PKI dan lalu mereka mendemonstrasikan pembakarannya di hadapan orang-orang lain hanya untuk melakukan kebohongan bahwa mereka menemukan bendera-bendera PKI. Sungguh kurang ajar politik praktis di Indonesia yang masih terus membodohi masyarakat!
Saat ini pun, diakui atau tidak, banyak aktor-aktor agama atau pun para politisi menjadikan agama untuk membodohi dan memanipulasi massa. Yah seperti yang telah dicontohkan di atas. Sehingga tanpa sadar, mereka kembali menjadikan agama sebagai wahana kesadaran palsu yang beroperasi demi kepentingan oligarkhi dan korporat. Para penceramah dari kalangan muslim di Indonesia, sebagai contohnya, acapkali adalah orang-orang partisan sampai-sampai mereka berpose bersama koleksi motor dan mobil mewah mereka.
Secara pribadi, bagi saya silahkan saja Anda menjadi seorang anti-komunis, anti PKI atau anti-Marxisme. Hanya saja soalnya, di Indonesia ini, orang seringkali menghakimi dan mengutuk apa yang mereka tidak baca dan tidak mereka ketahui. Dan sepanjang tentang Karl Marx, analisis-analisis serta pandangan-pandangannya sesungguhnya masih tetap relevan untuk membaca dan memahami praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme mutakhir saat ini. Sebuah zaman yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai masyarakat budak (masyarakat kapitalis yang memapankan struktur piramida ummat manusia) di mana mayoritas manusia menjadi buruh dan pekerja untuk membuat semakin kaya segelintir orang yang super-kaya. Meski harus pula diakui, analisis dan spekulasinya yang lainnya ternyata meleset dan tidak relevan.
Marx pun, tentu sebagai seorang filsuf, bagi saya terbebas dari dogmatisasi yang dilakukan Lenin atau yang lainnya yang ternyata memang lebih didasari dan dimotivasi oleh kepentingan politik praktis, bukan interest ilmiah. Sehingga di sejumlah Negara dan belahan dunia, para tiran dan diktator pun mengaku diri sebagai sosialis atau Marxist. Sampai-sampai sosialisme yang mestinya berpihak dan membebaskan ‘wong cilik’ ternyata juga malah menjadikan ‘wong cilik’ sebagai instrument untuk melaksanakan program politik mereka. Semisal ‘memaksa’ mereka secara komunal untuk menggarap lahan-lahan pertanian dengan massal.
Bila demikian, soalnya bukan apakah sosialisme lebih adil dan kapitalisme itu tidak adil, namun selagi para tiran dan diktator mengklaim dan mengatasnamakan diri sebagai pelaku atau pelaksana ideologi tertentu dan praktik politiknya adalah despotisme, maka tetap saja baik apakah dia mengaku seorang sosialis atau lainnya, tetap saja mempraktikkan tirani.
Sementara itu, dalam praktik politik praktis di Indonesia, acapkali para kandidat pun memanfaatkan para pemimpin agama dan organisasi atau lembaga keagamaan untuk menaikkan dukungan dan popularitas mereka. Tentu saja mereka akan membidik para pemimpin agama yang punya massa banyak dan organisasi atau lembaga keagamaan yang berpengaruh. Hal ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai ‘politisasi agama’ yang dulu dikritik Karl Marx secara ilmiah dalam arti dari perspektif atau sudut pandang sosiologis, di mana Karl Marx pun dalam kadar tertentu didapuk sebagai sosiolog dan pendiri mazhab sosiologi tersendiri.
Demikian pula tirani dan pola manipulasinya punya banyak wajah dan bentuk. Mari kita contohkan di Indonesia. Oligarkhi (pengusaha atau korporat) menyumbang pembangunan masjid dan pondok pesantren, sehingga ketika para pengusaha bersangkutan melakukan penggusuran dan penyingkiran lahan rakyat, para tokoh agama cenderung diam dan tidak melancarkan kritik kepada oligarkhi. Selain itu, sejumlah lembaga keagamaan pun cenderung kooperatif bagi perusahaan-perusahaan, seperti demi ‘memasarkan’ label halal. Jadi, selain praktik manipulasi agama, pun agama ternyata memang dapat menjadi komoditas yang menguntungkan di era kapitalisme mutakhir saat ini. Dalam hal ini, lagi-lagi, suara Marx masih relevan dan tetap terdengar.
Sekarang ini, sebagaimana dulu dibaca dan dianalisis Karl Marx dalam konteks masyarakat industri awal di Ingris atau Negara-negara lainnya di Eropa yang menjadi tonggak lajunya perkembangan kapitalisme, agama dan pasar ternyata saling melengkapi, untuk tidak dikatakan saling menunggangi, atau mungkin agama kembali dimanipulasi oleh kapitalisme. Dalam hal ini, saya bisa saja keliru dan bisa juga benar!
Sulaiman Djaya, Pimpinan Pondok Pesantren Insanul Falah