Ribuan tahun silam, di Yunani, seorang warga Athena bertemu dengan Sokrates, dan lalu berkata, “Apakah Anda tahu apa yang telah saya dengar tentang teman Anda?” “Tunggu sebentar,” jawab Sokrates. “Sebelum Anda berbicara kepada saya tentang teman saya, saya ingin Anda mengikuti suatu ujian. Saya menyebutnya Ujian Tiga Saringan.”
“Ujian Tiga Saringan?” “Betul sekali,” ujar Sokrates. “Ada baiknya Anda meluangkan waktu sejenak untuk benar-benar menyaring apa yang akan Anda katakan kepada saya. Itulah mengapa saya menyebutnya Ujian Tiga Saringan. Saringan pertama adalah Kebenaran. Apakah Anda yakin bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya adalah benar?” “Hmm, tidak,” kata pria itu, “sebenarnya saya hanya mendengar saja tentang hal itu.”
“Baiklah,” lanjut Sokrates. “Jadi Anda tidak benar-benar yakin apakah itu benar atau tidak. Sekarang, mari kita coba saringan kedua, yaitu Kebaikan. Apakah yang ingin Anda ceritakan kepada saya tentang teman saya adalah sesuatu hal yang baik?” “Hmmm, tidak, malah sebaliknya!”
“Jadi,” Sokrates melanjutkan, “Anda ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang teman saya, tetapi Anda tidak yakin apakah berita itu benar.” Baiklah, mungkin saja Anda masih bisa lulus ujian terakhir, karena ada satu saringan lagi yang masih tertinggal, yaitu Kegunaan. Apakah hal yang ingin Anda ceritakan tentang teman saya akan berguna dan bermanfaat bagi saya?” “Tidak, saya pikir tidak.” “Baiklah jika demikian,” Sokrates pun menyimpulkan, “Jika apa yang ingin Anda katakan kepada saya itu adalah hal yang tidak benar, tidak baik, bahkan tidak berguna, mengapa Anda harus mengatakannya kepada saya?”
Ajaibnya, ilustrasi di atas tetap relevan dan kontekstual di jaman kita saat ini yang disebut sebagai era digital. Jaman ketika sebaran informasi makin marak dan merebak, namun banyak menyebarkan ketidakvalidan atau kebohongan, hingga kita justru dituntut untuk menjadi lebih kritis, juga di saat kemajuan tekhnologi malah hanya menghidupkan budaya oral dan melumpuhkan kritisisme. Ruang-ruang digital atau dunia maya saat ini ternyata juga tak bisa kita anggap remeh, karena sebagaimana telah terbukti dan terjadi, paham-paham intoleran hingga narasi dan wacana kekerasan serta hasutan persekusi disebarkan dan dimassifkan lewat medsos dan internet, semisal melalui fanpage dan situs-situs sektarian yang dikelola kelompok-kelompok atau kaum-kaum intoleran di dunia yang makin mengglobal dan mendekatkan jarak serta menisbikan batas-batas geografi dan negara sekarang ini.
Dalam artikel menariknya yang berjudul Globalisasi Terpilih dan Globalisasi-globalisasi Hegemonik (Lihat Oliver Leaman [ed], Pemerintahan Akhir Zaman, Al-Huda 2005, hal. 64), Sayid Reza Ameli Menulis: “Globalisasi merupakan hasil dari munculnya industri komunikasi global yang dianggap sebagai hal vital bagi munculnya berbagai bentuk globalisasi lahiriah, dalam tampilan budaya, dan secara samar, dalam orientasi kognitif”. Apa yang dikatakan Sayid Reza Ameli itu cukup menarik bagi kita saat ini, mengingat jaman kita ini, sebagaimana sama-sama kita sadari, bukan hanya jaman meruahnya informasi secara massif dan cepat, namun juga derasnya arus dis-informasi (baca: penyesatan atau penghasutan) baik berupa berita atau pun opini yang digerakkan oleh motif dan ambisi politik, seperti “upaya” menarik simpati dan dukungan bagi ISIS yang didesign oleh Barat beberapa waktu lalu.
Lalu apa hubungannya ISIS (yang di sini sekedar contoh saja) dengan jaman citra dan tekno-sains, era kita saat ini? Tak lain bahwa karena “rekayasa media” yang dimiliki kelompok ISIS dan para pendukung mereka, mereka dapat menyebarkan dan menciptakan “opini” dan “citra” mereka sebagai “mujahidin”, padahal motif dan perang mereka ternyata berbagi, bahkan bekerjasama, dengan kepentingan Barat. Mereka, sebagai contoh, mengklaim diri sebagai “mujahidin” agar dapat menarik simpati dan dukungan kaum muslim di seluruh dunia, meski perang mereka sesungguhnya berdasarkan kepentingan dan skenario Barat. Inilah contoh yang akan disebut oleh Sayid Reza Ameli itu sebagai “Globalisasi Hegemonik” atau “Globalisasi yang Sepihak dan Menindas”, yang dalam bahasa Jacques Derrida (Lihat Giovanna Borradori, Philosophy in the Time of Terror, terj. Alfons Taryadi, Penerbit Kompas 2005, hal. 232-236) disebut sebagai “mondialisasi”, yaitu pendesakkan atau pemaksaan ideologi dan kekuatan politik dan ekonomi dari dunia yang satu (yang dalam hal ini Dunia Barat) terhadap dunia lainnya, yang seringkali motifnya adalah kepentingan material dan ekonomis (semisal perebutan minyak).
Inilah jaman ketika media menjadi aktor utama dan penentu-pencipta opini dunia hingga seorang Sokrates harus menyaring berita atau inforrmasi yang datang di hadapannya dengan tiga saringan: kebenaran, kebaikan dan kegunaan. Di jaman mutakhir kita saat ini, adalah sangat penting untuk memahami sejumlah praktik media yang tak dapat dilepaskan dari interest kekuasaan, politik, dan korporasi, utamanya media-media yang dimiliki dan dikendalikan kaum multinasionalis dan adidaya saat ini. Bersamaan dengan itu, haruslah kita akui, media dan opini yang melayani suatu kepentingan dan kekuasaan, pada akhirnya akan melakukan diskriminasi dan penyingkiran alias eksclusi terhadap hal-hal yang tidak menjadi kepentingannya.
Sebagai contoh, ketika suatu kekuasaan dan imperium hendak membentuk suatu citra publik, seketika itu pula, ia atau pun mereka akan mengerahkan media-media yang dimilikinya untuk membentuk ‘keberpihakan’ publik. Inilah suatu abad atau sebuah jaman, bila meminjam istilahnya Jacques Derrida saat berbincang dengan Giovanna Borradori, di mana publik yang tidak kritis dan malas berpikir akan sangat rentan dimanipulasi dan dihasut oleh media-media yang mengabdi pada kekuasaan dan tirani demi suatu tujuan strategis dan politis, utamanya dalam kancah politk global saat ini.
Dalam hal ini, jaringan media yang kebetulan dikuasai dan dimiliki suatu kelompok tertentu atau suatu rezim bersama yang bekerja berdasarkan kepentingan yang sama akan tak sungkan-sungkan menjadikan media sebagai instrument ‘penaklukkan’, di mana opini, keberpihakan, atau sikap massa (publik) digiring sesuai dengan kehendak para pemilik media, entah para pemilik media itu adalah suatu korporasi, kekuasaan, aliansi, atau suatu rezim kekuasaan dan politik.
Di sini kita dapat memberikan contoh kasusnya adalah ketika media-media seperti youtube, google, facebook dan lain-lainnya mengangkat (dan atau meng-create) citra publik (simpati bersama) bagi insiden Paris beberapa waktu yang silam, namun pada saat bersamaan mereka ‘tidak mengangkat’ atau meng-create citra publik (simpati bersama) bagi tragedi-tragedi yang lebih parah, semisal agressi terhadap Yaman, Suriah dan Palestina.
Salah-satu pemikir kontemporer yang konsen dengan soal ini adalah Noam Chomsky, yang menyatakan bahwa salah-satu strategi media yang mengabdi pada kekuasaan dan korporasi adalah dengan memassifkan opini atau pun diskursus untuk menyembunyikan ‘masalah’ yang sesungguhnya. Media memiliki arti yang sangat penting dalam proses politik, di mana dalam artian negatifnya adalah dalam rangka ‘menguasai’ opini dan sikap publik (massa).
Selain seperti yang dikatakan oleh Sayid Reza Ameli dan Jacques Derrida itu, Anthony Giddens memiliki istilah sendiri untuk menyebut era globalisasi dan kapitalisme lanjut jaman kita ini, yaitu apa yang disebutnya “modernitas kedua”, sedangkan Jean Baudrillard menyebutnya sebagai “Era Simulacra”, yaitu suatu jaman ketika “citra” dan “gambar-gambar visual” adalah motor utama penggerak pikiran dan perilaku kita dalam hidup keseharian kita. Suatu jaman ketika “realitas” dimanipulasi dan direkayasa oleh media serta “hasrat pasar” yang cepat dan massif di era mutakhir kita ini. Tak terkecuali juga ketika hasrat-hasrat politik menggunakan tekno-sains untuk melakukan dis-informasi (pemanipulasian dan penghasutan), semisal ketika ISIS dan Barat membajak Islam dan “Jihad” demi mengelabui sekaligus demi mendapatkan dukungan dan legitimasi pihak-pihak yang justru ingin mereka “taklukkan”, yaitu Islam dan kaum muslim. Sedangkan “modernitas kedua” yang dimaksud Anthony Giddens, meminjam paparannya Sindhunata di majalah Basis Edisi Januari-Februari Tahun 2000 halaman 7 adalah “suatu periode peralihan masyarakat, di mana peralihan itu terjadi dengan menggelisahkan, ketika yang lama dirobohkan di saat yang baru belum dibangun”.
Dengan demikian, di era tekno sains dan jaman citra kita ini, kita dituntut untuk menjadi orang-orang cerdas dan cermat yang akan mampu memilah dan membedakan antara informasi (pengetahuan dan informasi yang objektif) dengan dis-informasi (penyesatan, penghasutan, dan pemanipulasian) yang acapkali digerakkan oleh hasrat-hasrat politik sepihak. Sebagai contoh, yang dalam hal ini kita akan kembali mengambil contoh ISIS yang mencitrakan diri sebagai para “mujahidin” itu, ternyata adalah “agen” dan “pion” Barat di kawasan Timur Tengah.
Filsuf, pengkaji budaya hingga ilmuwan politik menyebut jaman kita saat ini sebagai era postmodern, masyarakat konsumer, masyarakat post-industry dan lainnya. Bagi yang menyebut era ini adalah jaman posttmodern, contohnya, sebagaimana dinyatakan Glenn Ward (Teach Yoursself: Postmodernism, Contemporarry Books 2003: 4) istilah itu merupakan: a descriptive term for all sorts of proposed shifts and change in contemporary society and culture. Sebuah istilah untuk menyebut segala perubahan dan pergeseran dalam masyarakat secara sosial dan budaya. Masyarakat kontemporer itu, yang bila meminjam sebutannya Jean-Francois Lyotard (Krisis dan Masa Depan Pengetahuan, Teraju 2004) adalah masyarakat yang semakin termesinkan dan terkomputerisasi. Lyotard sendiri, sebagaimana ia nyatakan dengan lantang, memaksudkan diksi postmodern dalam ranah budaya dan pemikiran sebagai ketidakpercayaan terhadap logosentrisme, metanarasi, totalitarisme dan merayakan kemajemukan dan perbedaan.
Bahkan, dengan sangat berani, Philippa Berry menganggap jaman kita saat ini sebagai era paska agama dengan menyatakan: The society and culture we inhabit today, at the start of the third millennium, appear at first glance to be the most secular that the world has yet known. As traditional conceptions of knowledge and religion appear increasingly redundant in the context of a postmodern pluralism, so an increasingly frenetic pursuit of this worldly pleasure, along with an ever higher standard of living – with the attendant pressures not just to work harder and to play harder but, above all, to consume – seems definitively to have replace that emphasis upon otherworldly and religious forms of comfort, or salvation, that was accorded social and cultural legitimation in precapitalist society (The Cambridge Companion to Postmodernism, Cambridge University Press 2004: 168).
Jika kita setuju dengan pernyataan Pĥilíppa Berry itu, masyarakat kita saat ini sesungguhnya lebih disibukkan oleh kerja dan karir ketimbang mengejar janji-janji ukhrawi nanti. Berry juga secara terbuka menyatakan bahwa masyarakat religius lebih sebagai ciri masyarkat pra-kapittalisme lanjut seperti saat ini. Sebuah anggapan dan pernyataan yang sesungguhnya sudah terbukti keliru dan terbantahkan ketika gejala fundamentalisme keagamaan malah marak di jaman yang mereka klaim sebagai era postmodern saat ini. Termasuk bangkitnya gerakan kanan keagamaan di Amerika ssendiri. Jeff Zaleski (Spiritualitas Cyber Space, Mizan 1999) sebagai contoh, mengemukakan bahwa di jaman internet dan era yang semakin terkomputerisasi saat ini, ekspressi dan praktik ritual keagamaan malah beralih dan menemukan ruang-ruang dan media-media baru yang jangkauannya lintas negara atau dalam skala global yang menembus dan melintasi batas-batas geografis. Orang yang ingin berkonsultasi atau berdiskusi soal keagamaan dari Amerika bisa melakukan sambungan langsung dengan panutan religiusnya yang ada di Iran atau di Indonesia.
Sementara itu, terkait merebaknya fundamentalisme keagamaan di era kontemporer kita, sekaliber filsuf Jacques Derrida menganggapnya dilahirkan dan dimungkinkan oleh situasi dan perkembangan kontemporer dunia kita saat ini meski sebagai sebuah reaksi (Giovanna Borradori, Filsafat dalam Masa Teror, Kompas 2005: 178-181).
Sedangkan secara sosial, trend dan budaya jaman kontemporer saat ini, Jean Baudrillard mengemukakannya dengan agak metaforis:..one might suppose that the acceleration of modernity, of technology, events and media, of all exchanges –economic, political and sexual – has propelled us to escape velocity, with the result that we have flown free of the referential sphere of the real and of history. We are liberated in every sense of the term, so liberated that we have taken leave of a certain space-time, passed beyond a certain horizon in which the real is possible….(The Postmodern History Reader, Edited By Keith Jenkins, Routledge 1997: 39). Bahwa, bila mengutip pernyataan Jean Baudrillard itu, barangkali kita hidup dalam dan bersama ilusi-ilusi yang kita buat yang lalu membingungkan kita sendiri, ketika orang mungkin mengira bahwa percepatan modernitas, teknologi, peristiwa hidup sehari-hari dan hingar-bingar media, segala aktivitas pertukaran – ekonomi, politik dan seksual – telah mendorong kita untuk melepaskan diri dari kecepatan atau kesegeraan, dengan hasil bahwa kita telah terbang bebas dari lingkup referensial, dari yang nyata dan dari sejarah. Seakan-akan Baudrillard hendak menyatakan bahwa segalanya adalah hal yang mungkin dan apa saja bisa terjadi di era mutakhir kita saat ini. Termasuk dampak buruk perkembangan tekhnologi-informasi itu sendiri yang sudah diramalkan oleh banyak penulis dan pemikir.
Zaman Digital
Di jaman kita saat ini, internet telah merambah ke setiap sudut hidup dan lintas usia, dari mulai anak-anak hingga orang tua. Internet, tak diragukan lagi, merupakan bukti di mana kapitalisme telah menciptakan suatu dunia tekno-sains yang dampak revolusionernya dapat disamakan dengan revolusi mesin cetak yang ditemukan Gutenberg, tentu saja menurut kadar jamannya masing-masing. Namun, selain sejumlah fungsi dan nilai positifnya, internet juga bermata dua: memiliki dampak negatif yang bahkan bisa melampaui manfaat positifnya: membuat banyak orang jadi tumpul akalnya dan hidup kembali dalam budaya oral.
Terkait perkembangan gegap gempita “dunia maya” ini, sejumlah kalangan dan analis mengkhawatirkan, misalnya, ketika orang-orang menghabiskan waktunya di dunia maya (internet), pada saat itu mereka telah melupakan realitas hidup atau dunia nyata mereka, ruang nyata dan persentuhan hidup sesungguhnya dengan sesama dan lingkungan (ruang) yang riil, yang tak semata virtual. Di antara pengkritiknya yang keras adalah Mark Slouka dan yang moderat adalah Jean Baudrillard.
Berbeda dengan Jean Baudrillard yang terbilang santai dalam menyikapi gegap gempita dunia maya ini, Mark Slouka termasuk sangat mengkhawatirkan dampak dunia maya akan merusak identitas dan kedirian ummat manusia secara sosial dan psikologis. Ada baiknya kita kutip ilustrasi yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality (yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Ruang yang Hilang dan diterbitkan Mizan di tahun 1999) halaman 39:
“Ketika itu tahun 1990. Seorang wartawan New York Times sedang menyelidiki kasus terkenal tentang seorang pria yang dituduh membunuh istrinya yang sedang hamil, tetapi kemudian sang pria justru berkilah tentang serangan seorang kulit hitam tak dikenal atas pembunuhan tersebut. Ia mewawancara tetangga pasangan itu. “Anda percaya ceritanya?” tanya si wartawan. “Anda mengenal tersangka? Menurut Anda, mungkinkah dia hanya mengarang cerita bohong?” “Saya sungguh tak tahu,” jawab si tetangga. “Saya ingin sekali menonton filmnya ditayangkan di TV agar saya dapat mengetahui bagaimana akhir ceritanya.” Kurang dari satu tahun kemudian, acara TV yang ditunggunya itu akhirnya mengudara, judulnya “Selamat Malam, Istri Tersayang: Pembunuhan di Boston.”
Dengan ilustrasi tersebut, Mark Slouka sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa kemajuan tekhno-sains atau tekhnologi informasi dan dunia maya, yang dalam hal ini sajian entertainment di televisi sebagai contohnya (yang telah mengakibatkan kecanduan bagi para penontonnya) justru telah mengasingkan manusia dari kehidupan nyatanya dan dari kehidupan kesehariannya, serta dari persentuhan dan keterlibatannya secara intim dengan sesamanya sendiri dalam ruang hidup dan lingkungan yang nyata.
Dalam hal ini, jauh sebelumnya Neil Postman telah menyadari sisi buruk tekhno-sains atau tekhnologi informasi (di samping manfaat positifnya), melalui bukunya yang cukup populer yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul ‘Menghibur Diri Sampai Mati’ yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1995, di mana ia berpendapat bahwa salah-satu sisi buruk televisi, sebagai contohnya, telah membuat orang-orang kembali menggandrungi budaya oral serta hal-hal yang instant dan banal.
Nilai penting buku Neil Postman tak lain karena buku tersebut telah membuktikan kecenderungan bahwa apa yang diramalkan George Orwell adalah keliru, dan apa yang “diramalkan” atau diprediksi oleh Aldous Huxley adalah benar –setidaknya menurut versi Neil Postman sendiri. George Orwell memperingatkan kita akan ancaman penindasan tirani penguasa. Sedangkan Aldous Huxley justru menyatakan bahwa manusia justru akan semakin mencintai penindasnya, memuja berbagai tekhnologi (termasuk internet seperti jejaring sosial atau media sosial dunia maya dan perangkat tekhno-sains lainnya) yang akan membutakan pikirannya. Neil Postman memberikan contohnya seperti ini:
“Orwell memprihatinkan pelarangan buku. Huxley memprihatinkan lenyapnya alasan untuk melarang penerbitan buku, karena minat baca telah punah. Orwell mencemaskan adanya pihak yang ingin menjauhkan kita dari informasi, sementara Huxley mengkhawatirkan mereka yang menjejali kita dengan begitu banyak informasi sampai kita menjadi pasif dan egois. Orwell mengkhawatirkan disembunyikannya kebenaran dari kita, Huxley mengkhawatirkan hilangnya kebenaran di dalam lautan informasi yang tidak relevan. Orwell mencemaskan datangnya masa di mana kita menjadi masyarakat yang terbelenggu. Huxley mencemaskan kemungkinan kita menjadi masyarakat remeh-temeh. Singkatnya, Orwell cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita benci. Huxley, sebaliknya, cemas akan kehancuran kita yang disebabkan oleh hal-hal yang kita sukai.
Maka, mengapa saya tidak terkejut, karena apa yang kini terjadi di sini, sesungguhnya telah terjadi di, sebut saja, Amerika sana di waktu dulu. Di mana politik bahkan sudah dipengaruhi begitu jauh dengan sisi-sisi entertainment. (Menjadi presiden di sana berarti menjaga penampilan, berat badan, hindari kebotakan, dan lain sebagainya!). Bukan hanya soal politik, bahkan juga soal agama. Di Amerika, Tuhan menganak-emaskan mereka yang memiliki bakat dan kemampuan untuk menghibur, apakah mereka pengkhotbah, atlit, pengusaha, politisi, guru, maupun jurnalis. Di Amerika, justru penghibur profesional yang tidak menghibur.” Sebuah satir halus yang menyadarkan kita tentang ruang-ruang bermata dua yang diciptakan oleh kemajuan tekhnologi informasi jaman kita saat ini.
Sulaiman Djaya, Esais, Penyair, dan Pengurus Majelis Kebudayaan Banten
Comments 1