Bandung, LIPUTAN 9 NEWS
“Dalam buku “From Slave to Scientist, Janet dan Geoff Benge mengatakan bahwa akar kebencian itu adalah ketakutan akan sesuatu yang ada dan atau terhadap orang lain. Tetapi kebencian tersebut pada akhirnya akan menghancurkan pembenci dibandingkan yang dibenci.”
Dalam menjalani kehidupan kadang tak selamanya seseorang disikapi baik oleh orang lain. Adakalanya mendapatkan kebencian dari orang lain, baik secara terang-terangan maupun terselubung, beralasan maupun tanpa alasan. Tapi itulah dinamika kehidupan kadang disukai atau sebaliknya dibenci.
Kalau direnungi, kebencian itu lahir pada diri seseorang, paling tidak karena beberapa alasan. Diantaranya membenci karena melihat seseorang sebagai ancaman, membenci karena ketidakmampuan diri sendiri saat menghadapi situasi tertertentu, membenci karena melihat kesuksesan orang lain, dan membenci karena merasa tidak dihargai orang lain. Jika didekati dari teori psikoanalisis perilaku membenci lebih dekat dengan sikap proyeksi.
Mental proyeksi merupakan proses mental yang dialami seseorang karena ketakutan akan sesuatu dengan mengaitkan apa yang ada dalam pikirannya sendiri kepada orang lain. Semacam melempar kesalahan, ketidakmampuan, kekalahan atau lainnya kepada orang lain dengan bentuk-bentuk kebencian, bisa dalam bentuk sikap, perilaku, bahkan narasi-narasi bohong atau memfitnah.
Dalam buku “From Slave to Scientist, Janet dan Geoff Benge mengatakan bahwa akar kebencian itu adalah ketakutan akan sesuatu yang ada dan atau terhadap orang lain. Tetapi kebencian tersebut pada akhirnya akan menghancurkan pembenci dibandingkan yang dibenci.
Anne E Scraff dalam “Dare to dream: coretta scott king and the civil rights movement (1997)”, Coretta istrinya Martin Luther King pernah mengatakan kebencian adalahbeban yang terlalu berat untuk ditanggung. Itu akan melukai si pembenci lebih dari melukai yang dibenci.
Bagi Dale Carnigie dalam, “Resolve Conflicts In Your Life (2015)”, ketika kita membenci seseorang, hakikatnya sedang memberi kekuasaan kepada dia atas kita. Kekuasaan atas tidur kita, nafsu makan kita, tekanan darah kita, kesehatan kita dan kebahagiaan kita. Kenapa? Ketika kita membenci seseorang, maka perasaan, pikiran, dan bahkan perilaku kita disibukkan bahkan dilelahkan setiap waktunya untuk memikirkan keberadaan orang yang dibenci tersebut.
Maafkanlah para pembenci karena pemgampunan dapat mendamaikan dan menyehatkan jiwa. Jika hidup tanpa pengampunan, maka hidup hanya akan diatur oleh siklus kebencian dan pembalasan yang tak ada habisnya. Rugilah seseorang yang selalu memelihara kebencian. Hanya disibukkan oleh perasaan bencinya kepada orang lain.
Robert Muller dalam, “Most of All, They Taught me Happiness, mengatakan memaafkan adalah bentuk cinta yang tertinggi dan terindah. Sebagai imbalannya, kamu akan menerima kedamaian dan kebahagian yang tak terhitung. Sepakat dengan Harriet Nelson dalam, “You’ill Drive Me Wild!”, maafkanlah semua yang telah menyinggungmu, bukan untuk mereka tapi untuk kebaikan dirimu sendiri.
Belajarlah tidak membenci siapapun, tidak peduli berapa banyak orang lain telah menyakiti. Hiduplah selalu dengan rendah hati, tidak peduli seberapa banyak keberhasilan yang telah ditorehkan. Belajarlah selalu berpikir positif, tidak peduli seberapa keras hidup ini. Berilah banyak orang lain, bahkan jika orang lain memberinya sedikit. Maafkan semuanya, terutama diri sendiri. Dan jangan pernah berhenti berdoa untuk kebaikan bagi semua orang.
Terakhir kata Will Smith dalam, “Will”, mungkin sepanjang hidup akan ada orang lain yang membuat marah, tidak menghormati, memperlakukan dengan buruk, merendahkan dan bahkan merusak nama baik. Biarkanlah, jangan habiskan waktu untuk membalasnya. Sebab akan menyulitkan diri sendiri jika kebencian itu sudah menjadi adat, lir memukuli tembok dan berharap bisa mengubahnya menjadi pintu. Biarkan Tuhan menangani hal-hal yang dilakukan para pembenci. Sebab jika dibalas dengan kebencian lagi maka akan menghanguskan segala kebaikan yang akan dan telah dilakukan.
Bagi orang-orang yang beriman, Islam telah mengajarkan bahwa pemaaf merupakan iman yang paling utama dan juga termasuk amal kebaikan. Sebagaimana telah di ungkapkan dalam al qur’an dan alhadist; “Orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,” (Qs. Ali Imran: 134). “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (Qs. Al A’raf: 199). Dan sabda Rasulullah SAW; “Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada,” (HR Bukhari dan Ad Dailami).
Dr. H. Dudy Imanuddin Effendi, M.Ag, Wakil Dekan 1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung























