Banten | LIPUTAN9NEWS
“Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam Negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki, dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.” (Syafrudin Prawiranegara dalam M. Natsir, Capita Selecta 3, 2008, h. 16).
“Segelintir kecil elit global yang menguasai 86 persen sumber daya Bumi yang mengendalikan dan mendapat keuntungan besar dari beroperasinya IMF dan World Bank, bertanggungjawab pada ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup, dan kebobrokan moral di seluruh dunia” (Kevin Danaher).
Meski judul tulisan ini ‘Belajar dari Krisis Ekonomi Politik 1997-1998’, namun sesungguhnya merupakan ulasan singkat atas buku-nya Kevin Danaher, 10 Reason Abolish IMF & World Bank, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi ’10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia’ oleh A.B. Widyanta dan diterbitkan Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas di tahun 2005. Buku ini layak dibaca oleh mereka yang merasa prihatin dengan fakta besarnya kemiskinan di negara-negara yang meminjam uang dari IMF dan World Bank. Dan memang, pada kenyataannya, IMF dan World Bank, berkebalikan dengan klaim mereka, acapkali justru memperparah krisis, seperti yang terjadi di Indonesia pada 1997-1998, yang mengalami puncaknya dengan lengser keprabon-nya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.
Resep yang diberikan kepada Indonesia oleh IMF dan World Bank kala itu, seperti penghapusan subsidi yang menyangkut hidup rakyat banyak, justru memperparah kemiskinan dan kemarahan di masyarakat akar rumput, dan berujung pada krisis politik, seakan yang melengserkan Presiden Soeharto, yang merupakan pasien setia IMF dan World Bank, justru adalah IMF dan World Bank, yang di masa itu dipimpin Michel Camdessus. Singkat kata, Indonesia menjadi korban malpraktek dua raksasa lembaga finansial-korporasi global –korban dari ketidakakuratan atau kekeliruan diagnosis mereka. Meski sesungguhnya, pakar dan para aktivis kemanusiaan yang kritis di seluruh dunia, menganggap dua lembaga tersebut memang lebih merepresentasikan korporasi global yang ‘menjarah’ negara-negara yang justru rakyatnya banyak yang miskin.
Introduksi yang Menarik
Buku itu menyuguhkan pengantar yang menarik dari Anuradha Mittal yang merupakan pendiri dan direktur eksekutif The Oakland Institute. Di pengantar itu Anuradha Mittal antara lain menulis: “Si kembar Bretton Woods, yaitu Bank Dunia dan IMF telah memanfaatkan krisis hutang global untuk menertibkan negara-negara Dunia Ketiga dan mengebiri kemampuan pemerintah Dunia Ketiga dalam menghadapi negara-negara Utara, sejumlah korporasi, dan agen-agen multilateral yang didominasi oleh Utara. Pendekatan pinjaman hutang melalui Program Penyesuain Struktural (SAP = Structural Adjusment Program) telah menjadi kendaraan utama bagi program liberalisasi pasar yang diberlakukan untuk seluruh perekonomian Dunia Ketiga.”
Apa yang disampaikan Anuradha Mittal itu sesungguhnya merupakan fakta yang terang-benderang, dan banyak dibenarkan oleh ahli dan pakar yang adil dan kritis di seluruh dunia. Termasuk oleh ekonom peraih Nobel sekaliber Joseph Stiglitz, yang memandang kebijakan lembaga-lembaga (IMF dan World Bank) ini yang justru seringkali memperburuk situasi ekonomi di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) dan malah hanya memperkuat dominasi negara-negara maju atas negara-negara Dunia Ketiga. Joseph Stiglitz juga mempertanyakan asumsi neoliberal yang mendasari kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dipaksakan kepada negara-negara Dunia Ketiga yang sesungguhnya tidak siap dan tidak pula memiliki bekal atau modal yang memadai untuk bersaing di pasar bebas secara adil dan setara.
Suara Menohok Kevin Danaher
Hal lain yang menarik dari buku ’10 Reason Abolish & World Bank’ Kevin Danaher karena dituturkan dengan gaya story telling yang kaya ilustrasi dari kehidupan nyata yang ia jumpai, semisal di negara-negara Benua Amerika, ketika para diktator ‘memperbudak’ rakyat mereka demi memperkaya diri mereka. Dan mirisnya, para diktator itu pula yang mendapatkan suntikan dana besar-besaran dari IMF dan World Bank, karena mereka memang menyediakan lahan subur keuntungan bagi korporasi global yang menjadi kantong-kantong finansial IMF dan World Bank. Misalnya, Kevin Danaher berkisah:
“Pada 1984, saya bersama istri saya, Medea Benjamin, melakukan riset tanya-jawab dengan para petani perempuan Guatemala, yang mana para suami mereka mati dibunuh oleh para oknum militer Guatemala. Satu dari mereka menceritakan kepada kami sebuah kisah yang jauh lebih gamblang ketimbang perkuliahan yang pernah saya dapatkan di bangku universitas selama bertahun-tahun. Berdiri di depan rumahnya yang sederhana, ditemani oleh ketiga anaknya yang cantik, perempuan itu membuka ceritanya kepada kami. Pada suatu malam sepasukan militer Guatemala datang, menyeret suaminya ke luar rumah, dan membabatnya dengan machete hingga tewas, tepat di depannya dan ketiga anaknya.
Saya kemudian bertanya, ‘Kenapa mereka melakukan semua ini?’ Ia tertunduk memandangi kedua tangannya, dan menjawab, ‘Mereka mengatakan bahwa suami saya seorang subversive (pemberontak)’. Lantas saya bertanya lagi, ‘Apa yang suamimu lakukan hingga militer menyebutnya pemberontak?’. Jawabnya, ‘Suami saya adalah seorang yang menjalani perutusan sebagai seorang misionaris awam (lay missionary), yang mengajarkan para petani lainnya bagaimana beternak kelinci’.
Saya tidak juga bisa paham kenapa membantu para petani lain untuk beternak kelinci membuat dirinya menjadi suatu ancaman bagi suatu sistem. Lagi-lagi, saya memintanya untuk menjelaskan. Ia pun berkata, ‘Anda harus memahami struktur masyarakat dan berbagai aturan kekuasaan di sini. Struktur perekonomian kami di Guatemala adalah bahwa orang-orang yang berkuasa, yang kebanyakan dari mereka adalah para jenderal, menguasai dan mengelola sejumlah perkebunan besar di dataran-dataran rendah. Mereka juga mengekspor barang-barang seperti kapas dan buah-buahan kepada orang-orang seperti kalian di Amerika Serikat. Para tuan tanah tersebut mendapatkan banyak uang. Mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar karena mereka memiliki orang-orang seperti kami: para petani di dataran tinggi yang teramat miskin. Karena himpitan kemiskinan itulah kami terpaksa pergi ke perkebunan-perkebunan itu, melakukan pekerjaan mengerikan, dan bahkan kami pun disemprot dengan pestisida semata-mata demi mendapatkan satu dollar per hari.
Kami tidak punya pilihan sama sekali. Oleh karena itu, jika kami melakukan sesuatu seperti mengajarkan para petani lain bagaimana beternak kelinci, agar kami dapat menghidupi diri kami sendiri tanpa harus pergi dan menjual tenaga kami demi satu dollar per hari, maka berdasarkan struktur pada sistem semacam itu kami akan dicap sebagai pemberontak.” Kisahan empiris Kevin Danaher itu menunjukkan bahwa kemiskinan banyak orang di suatu tempat dan di suatu jaman kerapkali karena sistem dan struktur sosial ekonomi politik yang ‘memiskinkan’ mereka demi keuntungan segelintir kecil para elit yang sengaja memberlakukan tirani dan melanggengkan kebodohan dan ketertinggalan demi keuntungan material (ekonomi) dan status quo kedudukan sosial-politik segelintir kecil para elit.
Sebagaimana ia nyatakan dengan gamblang, Danaher memandang kapitalisme elite kecil global yang menguasai 80-an persen sumber daya Bumi merupakan aktor dari, atau mereka yang bertangungjawab, terjadinya tiga wabah yang mengancam kemanusiaan dan demokratisasi: ketidakadilan sosial, kehancuran lingkungan hidup, dan kebobrokan moral. Elite kapitalisme global itu pula yang mengoperasikan dan ‘mendapatkan keuntungan besar’ dari beroperasinya IMF dan World Bank yang menjangkau banyak negara yang menjadi pasien dan jarahan mereka. Pasar bebas adalah salah-satu dari dogma yang mereka sebarkan ke seluruh dunia. Bagi Danaher, bila kita ingin memiliki dan memberlakukan demokrasi yang sejati, maka kedaulatan atau otoritas politik tertinggi harus diletakkan pada demos (masyarakat) itu sendiri. Bukan pada beberapa institusi global dengan akuntabilitas yang sangat terbatas, yang pada kenyataannya lebih merupakan instrumen kepentingan sepihak segelintir kecil elit global, yang acapkali memelihara para diktator selagi menguntungkan secara besar-besaran bagi mereka.
Di saat bersamaan, para pemimpin Dunia Ketiga yang terlanjur berhutang kepada IMF dan World Bank pun masuk jebakan (trap) dua institusi tersebut. Jika mereka mencoba menerapkan kebijakan yang lebih memihak kepada rakyat mereka sendiri ketimbang kepada para manajer korporasi transnasional, maka para pemimpin Dunia Ketiga itu akan diisolasi dari pasar-pasar modal internasional. Sebaliknya, jika para pemimpin Dunia Ketiga itu mematuhi aturan-aturan IMF dan World Bank dan menjalankan apa yang diinginkan kedua institusi tersebut, mereka akan dipelihara. Tidak heran, demikian lanjut Danaher, jika pada 1990-1998, atau sepanjang tahun-tahun ledakan hutang itu, negara-negara yang sedang berkembang (Dunia Ketiga) justru harus lebih banyak membayarkan bagi pelayanan hutang IMF dan World Bank, yang termasuk bunga hutang ditambah cicilan pokok, ketimbang mendapatkan hutang-hutang yang baru. Dan salah-satu negara yang menjadi korbannya adalah Indonesia.
Mekanisme Pasar dan Ketidakadilan Sosial
Danaher juga mempertanyakan dogma pasar bebas yang konon akan mendatangkan kesejahteraan bagi mayoritas warga dunia, namun pada kenyataannya justru sebaliknya: “Globalisasi kekuatan pasar, yang getol dipromosikan Bank Dunia dan IMF, menciptakan ketimpangan yang kian besar. Banyak data yang membeberkan bahwa ketimpangan, baik yang terjadi di antara negara-negara, maupun di dalam negara, menjadi semakin buruk. The United Nations Development Program (UNDP) melaporkan sebanyak 20 persen kaum kaya dari seluruh penduduk dunia menikmati 86 persen sumber daya dunia, sedangkan sebanyak 80 persen kaum miskin dari seluruh penduduk dunia hanya mendapatkan 14 persennya saja. Ketimpangan global saat ini jauh lebih ekstrim ketimbang yang pernah terjadi pada akhir Perang Dunia II, saat IMF dan Bank Dunia baru berdiri.
Ketimpangan global yang sangat besar tersebut mengakibatkan tingginya tingkat kematian anak-anak. Rata-rata dalam setiap sekian detik seorang anak mati kelaparan. Sebagian lainnya meninggal lantaran berbagai penyakit yang terkait dengan kekurangan gizi (malnutrition). Ada juga dari mereka yang meninggal karena berbagai penyakit seperti campak, kendati ongkos vaksin hanya beberapa sen dollar saja. Selain itu, dalam setiap sepuluh detik, rata-rata seorang anak meninggal setelah meminum air yang tercemar, kendati sesungguhnya pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan minuman oralit. Bayangkan, betapa pedihnya hati para orang tua dari anak-anak itu, yang terpaksa harus menyaksikan anak-anak mereka menderita dan meninggal, sementara mereka tahu bahwa terdapat kelimpahan di dunia ini.
Derita jutaan orang itu karena hampir seluruh barang dan jasa dalam ekonomi global didistribusikan melalui mekanisme pasar. Sebagai contoh, sekitar lebih dari 90 persen pengiriman beras di seluruh dunia merupakan transaksi komersial. Yang berupa bantuan kemanusiaan hanya sebagian kecil saja. Pada hakikatnya, pasar digerakkan oleh uang, atau permintaan efektif (effective demand). Dalam ekonomi pasar, anda mendapatkan barang hanya jika anda memiliki uang untuk membayar barang-barang tersebut. Jika benak anda terusik oleh paradigma ekonomi pasar tersebut dan berupaya mencari cara lain yang berbeda, bayangkan saja mengenai perpustakaan umum daerah anda (local public library): sebuah lembaga sosial nir-laba. Tentu saja uang bukanlah faktor dominan yang menghubungkan orang dengan buku-buku di perpustakaan tersebut. Adalah hak setiap orang untuk memperoleh akses pengetahuan. Lantas, mengapa prinsip hak-hak asasi semacam itu tidak diperluas ke sejumlah barang dan jasa penting lainnya, seperti pangan, perumahan, dan pelayanan kesehatan?”
Gugatan Kevin Danaher tersebut memang sangat layak kita afirmasi, mengingat IMF dan World Bank kerapkali menyukai kebijakan subsidi bagi masyarakat miskin, namun lebih sering menganjurkan kebijakan yang pro-korporasi dan pasar bebas. Dan sebelum mengakhiri tulisan ini, adalah sangat relevan untuk mengafirmasi apa yang ditegaskan Syafrudin Prawiranegara puluh tahun silam: “Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam Negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki, dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.” (M. Natsir, Capita Selecta 3, 2008, h. 16).
Sulaiman Djaya, Pengasuh Kajian Demokrasi dan Ekonomi Politik Sekretariat KAHMI Banten