• Latest
  • Trending
  • All
  • Politik
Sulaiman-Djaya

Belajar dari Krisis Ekonomi-Politik 1997-1998

May 31, 2025
Dr. KH. Zakky Mubarok, MA, Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU)

Kesempurnaan Ajaran Agama

August 8, 2025
Ayik Heriansyah: Doktrin al Wala wal Bara Sebabkan Prasangka Buruk Terhadap Umat Islam

Jangan Su’uzhan kepada Ulama yang Dekat dengan Pengauasa

August 8, 2025
Pra-peradilan Kasus OTT Kades Golo Bilas di Labuan Bajo Sarat dengan dugaan Mafia Peradilan

Pra-peradilan Kasus OTT Kades Golo Bilas di Labuan Bajo Sarat dengan dugaan Mafia Peradilan

August 8, 2025
PNIB: Rakyat Indonesia Patut Bersyukur Punya Densus 88, Selalu Jaga Keamanan dari Ancaman Terorisme seluruh Indonesia dari Aceh Hingga Papua

PNIB: Rakyat Indonesia Patut Bersyukur Punya Densus 88, Selalu Jaga Keamanan dari Ancaman Terorisme seluruh Indonesia dari Aceh Hingga Papua

August 7, 2025
KNPI

Ketua Umum DPP KNPI Resmikan Satgas Pemuda Asta Cita untuk Kawal Pemerintahan Prabowo-Gibran

August 7, 2025
Arifa Widiasari, mahasiswa asal Pati sekaligus Sekretaris Wilayah BEM PTNU DIY

Menaikkan PBB Hingga 250 Persen! Mahasiswa Asli Pati Geram, Tuntut Bupati Buka Telinga

August 7, 2025
Yaqut

Didampingi Kuasa Hukumnya Yaqut Cholil Qoumas Penuhi Panggilan KPK

August 7, 2025
BEM PTNU

BEM PTNU DIY Soroti Penangkapan Pemain Judi Online: Kenapa Bukan Bandarnya yang Ditangkap?

August 7, 2025
Yaqut Cholil Qoumas

Hari Ini! KPK Panggil Eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Terkait Kasus Korupsi Kuota Haji Khusus

August 7, 2025
Masjid Nabawi

Khutbah Jumat: Krisis Kemanusiaan di Gaza Palestina

August 7, 2025
  • Iklan
  • Kontak
  • Legalitas
  • Media Sembilan Nusantara
  • Privacy Policy
  • Redaksi
  • Tentang
Friday, August 8, 2025
  • Login
Liputan 9
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Wisata-Travel
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Dunia Islam
    • Al-Qur’an
    • Ngaji Kitab
    • Muallaf
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Filantropi
    • Seputar Haji
    • Amaliah NU
    • Tasawuf
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Sejarah
    • Buku
    • Pendidikan
    • Seni Budaya
No Result
View All Result
Liputan 9
No Result
View All Result
Home Artikel Opini

Belajar dari Krisis Ekonomi-Politik 1997-1998

Oleh: Sulaiman Djaya

Sulaiman Djaya by Sulaiman Djaya
May 31, 2025
in Opini
A A
0
Sulaiman-Djaya

Sulaiman Djaya, Esais, Penyair, dan Pengurus Majelis Kebudayaan Banten

499
SHARES
1.4k
VIEWS

Banten | LIPUTAN9NEWS

“Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam Negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki, dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.” (Syafrudin Prawiranegara dalam M. Natsir, Capita Selecta 3, 2008, h. 16).

“Segelintir kecil elit global yang menguasai 86 persen sumber daya Bumi yang mengendalikan dan mendapat keuntungan besar dari beroperasinya IMF dan World Bank, bertanggungjawab pada ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup, dan kebobrokan moral di seluruh dunia” (Kevin Danaher).

Meski judul tulisan ini ‘Belajar dari Krisis Ekonomi Politik 1997-1998’, namun sesungguhnya merupakan ulasan singkat atas buku-nya Kevin Danaher, 10 Reason Abolish IMF & World Bank, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi ’10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia’ oleh A.B. Widyanta dan diterbitkan Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas di tahun 2005. Buku ini layak dibaca oleh mereka yang merasa prihatin dengan fakta besarnya kemiskinan di negara-negara yang meminjam uang dari IMF dan World Bank. Dan memang, pada kenyataannya, IMF dan World Bank, berkebalikan dengan klaim mereka, acapkali justru memperparah krisis, seperti yang terjadi di Indonesia pada 1997-1998, yang mengalami puncaknya dengan lengser keprabon-nya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

BeritaTerkait:

BEM PTNU Soroti Krisis Multisektor di Indonesia, dari Ekonomi hingga Keamanan Nasional

BEM PTNU dan Politik Ketahanan Pangan: Saatnya Mahasiswa Menjadi Aktor Strategis Bangsa

Krisis Gerakan Islam Hidroponik

BEM PTNU Soroti Putusan MK Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Tidak Selaras dengan Amanat Konstitusi

Resep yang diberikan kepada Indonesia oleh IMF dan World Bank kala itu, seperti penghapusan subsidi yang menyangkut hidup rakyat banyak, justru memperparah kemiskinan dan kemarahan di masyarakat akar rumput, dan berujung pada krisis politik, seakan yang melengserkan Presiden Soeharto, yang merupakan pasien setia IMF dan World Bank, justru adalah IMF dan World Bank, yang di masa itu dipimpin Michel Camdessus. Singkat kata, Indonesia menjadi korban malpraktek dua raksasa lembaga finansial-korporasi global –korban dari ketidakakuratan atau kekeliruan diagnosis mereka. Meski sesungguhnya, pakar dan para aktivis kemanusiaan yang kritis di seluruh dunia, menganggap dua lembaga tersebut memang lebih merepresentasikan korporasi global yang ‘menjarah’ negara-negara yang justru rakyatnya banyak yang miskin.

Introduksi yang Menarik

Buku itu menyuguhkan pengantar yang menarik dari Anuradha Mittal yang merupakan pendiri dan direktur eksekutif The Oakland Institute. Di pengantar itu Anuradha Mittal antara lain menulis: “Si kembar Bretton Woods, yaitu Bank Dunia dan IMF telah memanfaatkan krisis hutang global untuk menertibkan negara-negara Dunia Ketiga dan mengebiri kemampuan pemerintah Dunia Ketiga dalam menghadapi negara-negara Utara, sejumlah korporasi, dan agen-agen multilateral yang didominasi oleh Utara. Pendekatan pinjaman hutang melalui Program Penyesuain Struktural (SAP = Structural Adjusment Program) telah menjadi kendaraan utama bagi program liberalisasi pasar yang diberlakukan untuk seluruh perekonomian Dunia Ketiga.”

Apa yang disampaikan Anuradha Mittal itu sesungguhnya merupakan fakta yang terang-benderang, dan banyak dibenarkan oleh ahli dan pakar yang adil dan kritis di seluruh dunia. Termasuk oleh ekonom peraih Nobel sekaliber Joseph Stiglitz, yang memandang kebijakan lembaga-lembaga (IMF dan World Bank) ini yang justru seringkali memperburuk situasi ekonomi di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) dan malah hanya memperkuat dominasi negara-negara maju atas negara-negara Dunia Ketiga. Joseph Stiglitz juga mempertanyakan asumsi neoliberal yang mendasari kebijakan IMF dan Bank Dunia yang dipaksakan kepada negara-negara Dunia Ketiga yang sesungguhnya tidak siap dan tidak pula memiliki bekal atau modal yang memadai untuk bersaing di pasar bebas secara adil dan setara.

Suara Menohok Kevin Danaher

Hal lain yang menarik dari buku ’10 Reason Abolish & World Bank’ Kevin Danaher karena dituturkan dengan gaya story telling yang kaya ilustrasi dari kehidupan nyata yang ia jumpai, semisal di negara-negara Benua Amerika, ketika para diktator ‘memperbudak’ rakyat mereka demi memperkaya diri mereka. Dan mirisnya, para diktator itu pula yang mendapatkan suntikan dana besar-besaran dari IMF dan World Bank, karena mereka memang menyediakan lahan subur keuntungan bagi korporasi global yang menjadi kantong-kantong finansial IMF dan World Bank. Misalnya, Kevin Danaher berkisah:

“Pada 1984, saya bersama istri saya, Medea Benjamin, melakukan riset tanya-jawab dengan para petani perempuan Guatemala, yang mana para suami mereka mati dibunuh oleh para oknum militer Guatemala. Satu dari mereka menceritakan kepada kami sebuah kisah yang jauh lebih gamblang ketimbang perkuliahan yang pernah saya dapatkan di bangku universitas selama bertahun-tahun. Berdiri di depan rumahnya yang sederhana, ditemani oleh ketiga anaknya yang cantik, perempuan itu membuka ceritanya kepada kami. Pada suatu malam sepasukan militer Guatemala datang, menyeret suaminya ke luar rumah, dan membabatnya dengan machete hingga tewas, tepat di depannya dan ketiga anaknya.

Saya kemudian bertanya, ‘Kenapa mereka melakukan semua ini?’ Ia tertunduk memandangi kedua tangannya, dan menjawab, ‘Mereka mengatakan bahwa suami saya seorang subversive (pemberontak)’. Lantas saya bertanya lagi, ‘Apa yang suamimu lakukan hingga militer menyebutnya pemberontak?’. Jawabnya, ‘Suami saya adalah seorang yang menjalani perutusan sebagai seorang misionaris awam (lay missionary), yang mengajarkan para petani lainnya bagaimana beternak kelinci’.

Saya tidak juga bisa paham kenapa membantu para petani lain untuk beternak kelinci membuat dirinya menjadi suatu ancaman bagi suatu sistem. Lagi-lagi, saya memintanya untuk menjelaskan. Ia pun berkata, ‘Anda harus memahami struktur masyarakat dan berbagai aturan kekuasaan di sini. Struktur perekonomian kami di Guatemala adalah bahwa orang-orang yang berkuasa, yang kebanyakan dari mereka adalah para jenderal, menguasai dan mengelola sejumlah perkebunan besar di dataran-dataran rendah. Mereka juga mengekspor barang-barang seperti kapas dan buah-buahan kepada orang-orang seperti kalian di Amerika Serikat. Para tuan tanah tersebut mendapatkan banyak uang. Mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar karena mereka memiliki orang-orang seperti kami: para petani di dataran tinggi yang teramat miskin. Karena himpitan kemiskinan itulah kami terpaksa pergi ke perkebunan-perkebunan itu, melakukan pekerjaan mengerikan, dan bahkan kami pun disemprot dengan pestisida semata-mata demi mendapatkan satu dollar per hari.

Kami tidak punya pilihan sama sekali. Oleh karena itu, jika kami melakukan sesuatu seperti mengajarkan para petani lain bagaimana beternak kelinci, agar kami dapat menghidupi diri kami sendiri tanpa harus pergi dan menjual tenaga kami demi satu dollar per hari, maka berdasarkan struktur pada sistem semacam itu kami akan dicap sebagai pemberontak.” Kisahan empiris Kevin Danaher itu menunjukkan bahwa kemiskinan banyak orang di suatu tempat dan di suatu jaman kerapkali karena sistem dan struktur sosial ekonomi politik yang ‘memiskinkan’ mereka demi keuntungan segelintir kecil para elit yang sengaja memberlakukan tirani dan melanggengkan kebodohan dan ketertinggalan demi keuntungan material (ekonomi) dan status quo kedudukan sosial-politik segelintir kecil para elit.

Sebagaimana ia nyatakan dengan gamblang, Danaher memandang kapitalisme elite kecil global yang menguasai 80-an persen sumber daya Bumi merupakan aktor dari, atau mereka yang bertangungjawab, terjadinya tiga wabah yang mengancam kemanusiaan dan demokratisasi: ketidakadilan sosial, kehancuran lingkungan hidup, dan kebobrokan moral. Elite kapitalisme global itu pula yang mengoperasikan dan ‘mendapatkan keuntungan besar’ dari beroperasinya IMF dan World Bank yang menjangkau banyak negara yang menjadi pasien dan jarahan mereka. Pasar bebas adalah salah-satu dari dogma yang mereka sebarkan ke seluruh dunia. Bagi Danaher, bila kita ingin memiliki dan memberlakukan demokrasi yang sejati, maka kedaulatan atau otoritas politik tertinggi harus diletakkan pada demos (masyarakat) itu sendiri. Bukan pada beberapa institusi global dengan akuntabilitas yang sangat terbatas, yang pada kenyataannya lebih merupakan instrumen kepentingan sepihak segelintir kecil elit global, yang acapkali memelihara para diktator selagi menguntungkan secara besar-besaran bagi mereka.

Di saat bersamaan, para pemimpin Dunia Ketiga yang terlanjur berhutang kepada IMF dan World Bank pun masuk jebakan (trap) dua institusi tersebut. Jika mereka mencoba menerapkan kebijakan yang lebih memihak kepada rakyat mereka sendiri ketimbang kepada para manajer korporasi transnasional, maka para pemimpin Dunia Ketiga itu akan diisolasi dari pasar-pasar modal internasional. Sebaliknya, jika para pemimpin Dunia Ketiga itu mematuhi aturan-aturan IMF dan World Bank dan menjalankan apa yang diinginkan kedua institusi tersebut, mereka akan dipelihara. Tidak heran, demikian lanjut Danaher, jika pada 1990-1998, atau sepanjang tahun-tahun ledakan hutang itu, negara-negara yang sedang berkembang (Dunia Ketiga) justru harus lebih banyak membayarkan bagi pelayanan hutang IMF dan World Bank, yang termasuk bunga hutang ditambah cicilan pokok, ketimbang mendapatkan hutang-hutang yang baru. Dan salah-satu negara yang menjadi korbannya adalah Indonesia.

Mekanisme Pasar dan Ketidakadilan Sosial

Danaher juga mempertanyakan dogma pasar bebas yang konon akan mendatangkan kesejahteraan bagi mayoritas warga dunia, namun pada kenyataannya justru sebaliknya: “Globalisasi kekuatan pasar, yang getol dipromosikan Bank Dunia dan IMF, menciptakan ketimpangan yang kian besar. Banyak data yang membeberkan bahwa ketimpangan, baik yang terjadi di antara negara-negara, maupun di dalam negara, menjadi semakin buruk. The United Nations Development Program (UNDP) melaporkan sebanyak 20 persen kaum kaya dari seluruh penduduk dunia menikmati 86 persen sumber daya dunia, sedangkan sebanyak 80 persen kaum miskin dari seluruh penduduk dunia hanya mendapatkan 14 persennya saja. Ketimpangan global saat ini jauh lebih ekstrim ketimbang yang pernah terjadi pada akhir Perang Dunia II, saat IMF dan Bank Dunia baru berdiri.

Ketimpangan global yang sangat besar tersebut mengakibatkan tingginya tingkat kematian anak-anak. Rata-rata dalam setiap sekian detik seorang anak mati kelaparan. Sebagian lainnya meninggal lantaran berbagai penyakit yang terkait dengan kekurangan gizi (malnutrition). Ada juga dari mereka yang meninggal karena berbagai penyakit seperti campak, kendati ongkos vaksin hanya beberapa sen dollar saja. Selain itu, dalam setiap sepuluh detik, rata-rata seorang anak meninggal setelah meminum air yang tercemar, kendati sesungguhnya pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan minuman oralit. Bayangkan, betapa pedihnya hati para orang tua dari anak-anak itu, yang terpaksa harus menyaksikan anak-anak mereka menderita dan meninggal, sementara mereka tahu bahwa terdapat kelimpahan di dunia ini.

Derita jutaan orang itu karena hampir seluruh barang dan jasa dalam ekonomi global didistribusikan melalui mekanisme pasar. Sebagai contoh, sekitar lebih dari 90 persen pengiriman beras di seluruh dunia merupakan transaksi komersial. Yang berupa bantuan kemanusiaan hanya sebagian kecil saja. Pada hakikatnya, pasar digerakkan oleh uang, atau permintaan efektif (effective demand). Dalam ekonomi pasar, anda mendapatkan barang hanya jika anda memiliki uang untuk membayar barang-barang tersebut. Jika benak anda terusik oleh paradigma ekonomi pasar tersebut dan berupaya mencari cara lain yang berbeda, bayangkan saja mengenai perpustakaan umum daerah anda (local public library): sebuah lembaga sosial nir-laba. Tentu saja uang bukanlah faktor dominan yang menghubungkan orang dengan buku-buku di perpustakaan tersebut. Adalah hak setiap orang untuk memperoleh akses pengetahuan. Lantas, mengapa prinsip hak-hak asasi semacam itu tidak diperluas ke sejumlah barang dan jasa penting lainnya, seperti pangan, perumahan, dan pelayanan kesehatan?”

Gugatan Kevin Danaher tersebut memang sangat layak kita afirmasi, mengingat IMF dan World Bank kerapkali menyukai kebijakan subsidi bagi masyarakat miskin, namun lebih sering menganjurkan kebijakan yang pro-korporasi dan pasar bebas. Dan sebelum mengakhiri tulisan ini, adalah sangat relevan untuk mengafirmasi apa yang ditegaskan Syafrudin Prawiranegara puluh tahun silam: “Apabila para pemimpin rakyat pada suatu saat tidak sanggup lagi bekerja betul-betul untuk kepentingan rakyatnya, apabila kedudukan atau kursi sudah menjadi tujuan dan bukan lagi menjadi alat, maka yang akan mengancam Negara kita ialah bahwa demokrasi akan tenggelam dalam koalisi dan kemudian koalisi akan dimakan oleh anarki, dan anarki akan diatasi oleh golongan-golongan yang bersenjata itu.” (M. Natsir, Capita Selecta 3, 2008, h. 16).

Sulaiman Djaya, Pengasuh Kajian Demokrasi dan Ekonomi Politik Sekretariat KAHMI Banten

Tags: EkonomiEkonomi-PolitikKrisisPolitik
Share200Tweet125SendShare
Sulaiman Djaya

Sulaiman Djaya

Sulaiman Djaya, lahir di Serang, Banten. Menulis esai dan fiksi. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di Koran Tempo, Majalah Sastra Horison, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Majalah TRUST, Majalah AND, Majalah Sastra Kandaga Kantor Bahasa Banten, Rakyat Sumbar, Majalah Sastra Pusat, Jurnal Sajak, Tabloid Kaibon, Radar Banten, Kabar Banten, Banten Raya, Tangsel Pos, Majalah Banten Muda, Tabloid Cikal, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Harian Siantar, Change Magazine, Banten Pos, Banten News, basabasi.co, biem.co, buruan.co, Dakwah NU, Satelit News, simalaba, dan lain-lain. Buku puisi tunggalnya Mazmur Musim Sunyi diterbitkan oleh Kubah Budaya pada tahun 2013. Esai dan puisinya tergabung dalam beberapa Antologi, yakni Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi (Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013), Antologi Puisi Indonesia-Malaysia, Berjalan ke Utara (Antologi Puisi Mengenang Wan Anwar), Tuah Tara No Ate (Antologi Cerpen dan Puisi Temu Sastra IV di Ternate, Maluku Utara Tahun 2011), Sauk Seloko (Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi Tahun 2012)), Kota, Kata, Kita: 44 Karya Para Pemenang Lomba Cipta Cerpen dan Puisi 2019, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi, Antologi Puisi ‘NUN’ Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015, dan lain-lain.

BeritaTerkait

BEM PTNU
Nasional

BEM PTNU Soroti Krisis Multisektor di Indonesia, dari Ekonomi hingga Keamanan Nasional

by liputan9news
July 23, 2025
0

JAKARTA | LIPUTAN9NEWS Indonesia tengah menghadapi situasi yang cukup kompleks dan mengkhawatirkan di berbagai sektor kehidupan bangsa. Ketua BEM PTNU...

Read more
BEM PTNU dan Politik Ketahanan Pangan: Saatnya Mahasiswa Menjadi Aktor Strategis Bangsa

BEM PTNU dan Politik Ketahanan Pangan: Saatnya Mahasiswa Menjadi Aktor Strategis Bangsa

July 17, 2025
Ayik Heriansyah: Doktrin al Wala wal Bara Sebabkan Prasangka Buruk Terhadap Umat Islam

Krisis Gerakan Islam Hidroponik

July 11, 2025
BEM PTNU ARIP

BEM PTNU Soroti Putusan MK Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, Tidak Selaras dengan Amanat Konstitusi

July 9, 2025
Load More

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Gus Yahya

PBNU Respon Rais Am JATMAN yang telah Demisioner dan Teken Sendirian Surat Perpanjangan Kepengurusan

November 26, 2024
Akhmad Said Asrori

Bentuk Badan Hukum Sendiri, PBNU: JATMAN Ingin Keluar Sebagai Banom NU

December 26, 2024
Jatman

Jatman Dibekukan Forum Mursyidin Indonesia (FMI) Dorong PBNU Segera Gelar Muktamar

November 22, 2024
Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

Al-Qur’an Surat Yasih Arab-Latin dan Terjemahnya

2420
KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

KBRI Tunis Gelar Forum Peningkatan Ekspor dan Investasi di Sousse, Tunisia

740
KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

KA Turangga vs KA Commuter Line Bandung Raya Tabrakan, Apa Penyebabnya?

140
Dr. KH. Zakky Mubarok, MA, Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU)

Kesempurnaan Ajaran Agama

August 8, 2025
Ayik Heriansyah: Doktrin al Wala wal Bara Sebabkan Prasangka Buruk Terhadap Umat Islam

Jangan Su’uzhan kepada Ulama yang Dekat dengan Pengauasa

August 8, 2025
Pra-peradilan Kasus OTT Kades Golo Bilas di Labuan Bajo Sarat dengan dugaan Mafia Peradilan

Pra-peradilan Kasus OTT Kades Golo Bilas di Labuan Bajo Sarat dengan dugaan Mafia Peradilan

August 8, 2025
  • About
  • Advertise
  • Privacy & Policy
  • Contact
  • Media Sembilan Nusantara

Copyright © 2024 Liputan9news.

No Result
View All Result
  • Home
  • Berita
    • Daerah
    • Nasional
    • Internasional
  • Artikel
    • Opini
    • Resensi
    • Download
  • Ekonomi
    • Wisata-Travel
    • Bisnis
    • Karir
    • UMKM
    • Lowongan Kerja
  • Politik
    • Pilkada
    • Pilpres
  • Kesehatan
  • Dunia Islam
    • Filantropi
    • Amaliah NU
    • Al-Qur’an
    • Tasawuf
    • Muallaf
    • Sejarah
    • Ngaji Kitab
    • Khutbah
    • Tanya-Jawab
    • Ramadan
    • Seputar Haji
    • Syiar Islam
  • Lainnya
    • Agenda
    • Pendidikan
    • Sejarah
    • Buku
    • Tokoh
    • Seni Budaya

Copyright © 2024 Liputan9news.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In