Salah satu kriteria muslim yang terbaik sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi s.a.w. (HR. Bukhari, 12) adalah kita bisa berbagi apa yang kita miliki kepada orang lain yang amat sangat membutuhkan. Orang yang sering berbagai terhadap sesamanya dan terhadap makhluk lain memberikan manfaat dan faedah yang besar bagi kehidupan makhluk. Karena itu sangat layak jika orang itu tergolong dari bagian muslim yang terbaik. Dalam berbagi, tidak hanya berbagai dalam harta, konsumsi, sembako, dan sebagainya, tetapi harus berbagi dalam berbagai hal.
Agar kita bisa berbarbagi sesama kita dan terhadap makhluk lain, sebelumnya kita harus berusaha terlebih dahulu. Berusaha dan berbagai merupakan dua hal yang saling terkait dan berkelindan, sehingga tidak bisa dicerai-pisahkan antara yang satu dengan lainnya. Dalam melaksanakan hal tersebut, kita harus berusaha mencari berbagai hal yang bermanfaat, antara (1) berusaha dengan sungguh-sungguh dan melakukan penghematan dari hasil usaha tersebut, sehingga kita bisa menabung. Sebagian dari tabungan itu kita berikan kepada orang lain yang sangat membutuhkan.
Dalam hal berbagi, tidak selamanya harus bernilai tinggi. Sesuatu yang nampaknya kecil atau ringan pun bisa menjadi sangat bermanfaat bagi orang lain. Maka Rasulullah pernah berpesan: Janganlah engkau sia-siakan untuk berbuat baik, meskipun hanya sekedar menyedekahkan kikil kambing. Dalam hadits lain disebutkan siapa yang mengasihi orang lain, meskipun dengan menyedekahkan daging seekor burung bondol, maka Allah akan mengasihaninya pada hari kiamat.
Dalam urutan berikutnya, disebutkan mengenai berbagi dengan yang lebih kecil dari yang disebutkan di atas, seperti (a) dengan sebiji kurma atau kalau tidak ada (b) dengan secuil buah kurma, atau kalau tidak ada juga, bisa dilakukan dengan (c) menyedekahkan seteguk air susu. Apabila menyedekahkan seteguk air susu tidak bisa dilakukan, maka bersedekah dengan (d) seteguk air putih. Dalam perintah selanjutnya, berbuat baik itu bisa dilakukan dengan (e) menyampaikan perkataan yang baik atau terpuji. Selanjutnya (f) menyambut orang lain dengan wajah yang cerah dan menggembirakan. Selanjutnya yang terakhir sekali (g) hendaklah kita menjaga diri agar tidak mengganggu orang lain.
Dari uraian di atas, kita bisa membayangkan betapa banyaknya kesempatan bagi kita untuk berbuat kebajikan. Kalau kita memiliki sesuatu yang lebih banyak, maka memberikannya lebih banyak pula, dan itu akan menjadi lebih baik.
Langkah selanjutnya (2), kita harus berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menuntut ilmu dan meraih pengetahuan sebanyak-banyaknya. Karena kedudukan orang yang berilmu dalam pandangan Islam sangat luhur dan terpuji, disebutkan al-Qur’an:
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar, 39:09).
Berbeda sekali antar orang-orang yang berilmu dan mereka yang tidak berilmu, bagaikan perbedaan cahaya dan kegelapan, atau bagaikan perbedaan orang yang bisa melihat dan orang yang buta. Ilmu yang kita miliki itu terus kita kembangkan dan tidak boleh berhenti menuntut ilmu selama hayat masih di kandung badan. Ilmu-ilmu tersebut kemudian diamalkan dan dihayati secara sungguh-sungguh, selanjutnya dibagikan pada keluarga kita, masyarakat dan manusia secara umum. Dengan demikian, berbagai ilmu kepada umat secara umum, merupakan perbuatan yang sangat terpuji.
Sungguh sangat berbeda orang-orang yang berilmu kemudian mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya kepada orang lain dengan mereka yang tidak berilmu dan tidak banyak beramal. Dijelaskan al-Qur’an:
۞أَفَمَن يَعۡلَمُ أَنَّمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ ٱلۡحَقُّ كَمَنۡ هُوَ أَعۡمَىٰٓۚ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ
Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (QS. Al-Ra’d, 13:19).
Orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya kepada orang lain adalah tergolong Ulul Albab atau kaum intelektual muslim. Langkah seorang muslim berikutnya (3) adalah harus senantiasa memperkuat keyakinan dan meningkatkan keimanannya kepada Allah s.w.t.. Dengan keyakinan yang kuat dan keimanan yang tinggi, maka kehidupan beragamanya semakin mantap dan akan menjadi rule model (teladan) bagi manusia lain.
Meskipun kita memegang teguh keyakinan kita, dengan sekuat-kuatnya, sehingga keyakinan itu menjadi mantap. Namun demikian, harus tetap bersikap toleran pada keyakinan dan keimanan orang lain. Aktivitas selanjutnya (4) setiap diri manusia muslim harus terpanggil untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya. Perbaikan itu berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, kebudayaan, dan peradaban, termasuk harus terus menerus memperbaiki akhlak masyarakat.
Langkah selanjutnya (5) manusia muslim harus berani menghadapi resiko dalam memperbaiki masyarakat agar mengarah pada kemajuan. Berusaha meningkatkan peradaban dan kehidupan yang tinggi bagi masyarakat yang akan datang. Semua itu dilakukan dengan terus memperhatikan dan mengupayakan untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dan mendambakan keridhaan-Nya.
Dr. KH. Zakky Mubarok, MA., Dewan Pakar Lajnah Dakwah Islam Nusantara (LADISNU) dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)