Cirebon, LIPUTAN 9 NEWS
“Zuhud dan Zahid di mata publik lebih dipahami sebagai sikap hidup yang anti kenikmatan duniawi. Imam al-Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai tingkatan batin seseorang yang lebih memilih akhirat daripada kesenangan duniawi” (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 211).
Dunia dan materi merupakan barang rebutan semua orang. Persaingan digelar sepanjang waktu. Walaupun sudah dibuatkan aturan dan norma untuk membatasinya, namun tetap saja sering kali para pesaing melanggarnya. Dunia menjadi sumber kekacauan. Bagi orang yang hatinya tidak cinta dunia, maka ia akan memilih menyingkir. Inilah konteks sosial awal mula konsep Zuhud dibangun.
Zuhud secara bahasa berarti meninggalkan atau tidak menyukai (zahida, yazhadu, zuhdan). Pelakunya disebut Zahid (Warzon, 626-627). Orang-orang yang Zuhud, tidak terlalu tertarik pada dunia dan lebih memilih ibadah pada Allah, dikisahkan dalam al-Quran. Allah Swt berfirman: “Dan mereka menjualnya (Yusuf) dengan harga rendah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik kepadanya,” (Qs. Yusuf: 20).
Orang-orang yang menyelematkan Yusuf dari dalam sumur, kemudian menjualnya dengan harga murah kepada pembesar Mesir, disebut oleh Allah sebagai kalangan Zahidin, orang-orang yang Zuhud. Pada perkembangan berikutnya, zuhud tidak lagi menjadi kualitas ataupun identitas personal dan kelompok melainkan bagian penting dari perjalanan spiritual Islam itu sendiri (Kemal Riza, 2012, Vol. 1, No. 1).
Sebagai bagian penting dari ajaran spiritual Islam, pengertian Zuhud dikembangkan dengan banyak disandarkan pada al-Quran dan Sunnah. Beberapa ayat al-QUran yang dapat dijadikan rujukan antara lain: ar-Ra’du ayat 26, an-Nisa’ ayat 77, asy-Syura ayat 36, Ghafir ayat 39, al-A’la ayat 16-17, al-Hadid ayat 20 dan 33. Semua itu bicara tentang rendahnya materi dan kesenangan duniawi lainnya.
Sebuah hadits tentang Zuhud juga banyak. Abu Hurairah ra meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ أَوْ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia ini dilaknat dan terlaknat pula segala yang ada di dalamnya, kecuali dzikir pada Allah dan yang berhubungan dengannya, atau seorang yang ‘alim dan yang belajar,” (HR. Ibnu Majah: 4102).
Zuhud dan Zahid di mata publik lebih dipahami sebagai sikap hidup yang anti kenikmatan duniawi. Imam al-Ghazali mendefinisikan zuhud sebagai tingkatan batin seseorang yang lebih memilih akhirat daripada kesenangan duniawi (al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 211).
Namun demikian, dari waktu ke waktu, pengertian tentang Zuhud juga berkembang. Syeikh Asy-Syarqawi, Pensyarah Kitab al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, mengatakan bahwa fakulluman yafirru minal khalqi likaunihim qathi’ina anillah wa dzalika lighaibatihim ‘anillahi fi kulli syai-in. Siapapun yang melarikan diri dari kehidupan sosial adalah lantaran mereka terputus dari Allah dan mereka tidak mampu melihat Allah dalam segala sesuatu (asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam, t.t.; 89).
Ibnu Athaillah as-Sakadari, salah satu mursyid tarekat Syadziliyah, ingin mengajarkan bahwa praktik Zuhud tidak mengharuskan seorang Zahid menghindari duniawi hanya untuk mengingat Allah SWT. Sebab, berdzikir pada Allah dapat dilakukan setiap saat dan dimanapun, baik di dalam hutan maupun di tengah kota, baik di dalam kamar sempit maupun sembari bekerja mencari rejeki di pasar. Allah ada di mana-mana.
Syeikh Imam Syadzili sendiri selain dikenal sebagai seorang sufi, pendiri tarekat Syadziliyah, beliau juga dikenal kaya raya. Kekayaannya sangat melimpah ruah. Ia memiliki lahan perkebunan, sawah dan ladang yang sangat luas. Bangunan rumahnya terlihat megah dan mewah. Namun, semua orang juga tahu bahwa pada saat itu juga semua harta tersebut sama sekali tidak mempengaruhi batinnya. (Susetya, 2007: 170).
Tidak saja Syeikh Syadzili, masih banyak para sufi besar yang juga kaya raya, seperti Ibnu Arabi, Fariduddin al-Aththar, Junaid al-Baghdadi, dan lainnya. Fariduddin al-Aththar yang terkenal melalui karya kitabnya berjudul Mantiqut Thair (Logika Burung) adalah pedagang parfum yang sukses (al-Munawar, 2001:89).
Faridduddin al-Aththar juga menceritakan dalam kitab Tadzkirul Auliya bahwa seorang sufi besar bernama asy-Syibli berguru kepada Imam Junaid al-Baghdadi. Salah satu bentuk ujian perihal tekadnya menempuh jalan tasawuf adalah perintah berdagang. Barang dagangan yang dijual kalaitu adalah belerang (Fathollah, 2018:108).
Pendapat sufi lain yang senada adalah Zunnun al-Misri. Menurut Amir an-Najar, Zunnun al-Misri mengatakan bahwa orang zuhud tidak harus miskin. Orang Zuhud sejati adalah seseorang yang hatinya sama sekali tidak merasa senang dengan harta yang melimpah ruah. Begitu pula, hatinya tidak sedih bila harus kehilangan harta tersebut. Sedangkan Zahid adalah orang yang zuhud jiwanya (an-Najar, al-‘Ilmu an-nafsi ash-Shufiyah, 2001: 238).
Pendapat Zunnun al-Misri dan Ibnu Athaillah ini menjadi tawaran baru tentang pengertian Zuhud dan Zahid. Nilai paling penting dalam konsepsi zuhud adalah peran kesinambungan manusia terhadap kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara. Zahid tidak harus menghindari peran-peran penting dan pos-pos strategis yang tersedia baginya. Sebaliknya, Zahid menjaga hati dan pikirannya agar tidak terikat dan melekat pada gemerlap dunia; tidak senang bila mendapati harta berlimpah dan juga tidak sedih bila kehilangan segalanya.
Sejatinya memang masuk di akal betapa ruginya orang yang meninggalkan dunianya demi akhiratnya. Padahal, dunia dan akhirat sama-sama hijab bagi seseorang yang mencari Allah SWT. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan, “dunia adalah hijab bagi akhirat, dan akhirat adalah hijab dari Tuhan. Bila dunia-akhir sama-sama berdiri, maka jangan pandangi keduanya, dan engkau akan benar-benar zuhud terhadap segala sesuatu,” (Syukur, Zuhud Di Era Modern 14-15).
Dikisahkan bahwa pada suatu hari, salah satu sufi murid dari Ibnu Arabi bernama Syeikh Kepala Ikan. Gelar itu diperoleh karena masyarakat menilainya hidup sederhana, yakni hanya makan kepala ikan untuk lauknya. Syeikh Kepala Ikan ini memiliki seorang murid. Suatu hari, sang murid ingin pergi berdagang ke daerah Mursia, Spanyol. Syeikh Kepala Ikan berpesan, “pergilah ke Mursia, carilah guruku, dan mintakan pesannya untukku.”
Sang murid pun pergi, setibanya di Spanyol, ia bertanya ke sana ke mari tentang sosok sufi besar sebagaimana dikatakan oleh gurunya di kampung halamannya itu. Terkejut dan tak kepalang tanggung. Sang murid melihat sosok Syeikh berwibaya, bergelimang harta, dan sayup-sayup muncul bisikan dalam hatinya, “bagaimana mungkin orang kaya raya ini pernah menjadi guruku di kampung.”
Sang murid pun disambut oleh ulama besar dari Spanyol itu. Suguhan dengan ragam hidangan disajikan. Setelah tiba pada sisi perbincangan, sang murid menjelaskan dirinya, gurunya, dan meminta nasehat untuk gurunya. Syeikh Spanyol itu berkata, “sampaikan padanya, jangan memikirkan dunia!”
Keterkejutan sang murid semakin menjadi-jadi. Ia pun selesai masa perdagangannya dan kembali ke kampung halaman. Ia menyampaikan pesan Syeikh Abkar dari Mursia, Spanyol. Syeikh Kepala Ikan itu tersenyum sambil menangis, “Syeikh Akbar itu benar. Menjalani tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh kekayaan yang dimiliki, tetapi tetap terpaut pada Allah SWT.
Kisah ini menjadi penegas bahwa para sufi besar memang tidak melarang para muridnya untuk berdagang dan menjadi kaya raya. Hanya saja, hati harus betul-betul dijaga jangan sampai memikirkan kenikmatan duniawi. Hati orang kaya raya yang tidak terikat oleh kecintaan pada gemerlap duniawi jauh lebih mulia dari hati orang miskin yang selalu mengejar-ngejar dunia.
Dengan kekayaan yang melimpah semacam itu, umat muslim diperintahkan bersedekah, berinfat, berzakar, berwakaf, dan mendermakannya untuk kepentingan bangsa dan negara. Allah SWT berfirman: “Maka celakalah orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya, yang berbuat riya, dan enggan (memberikan) bantuan,” (Qs. al-Ma’un: 4-7).
Sekalipun harta yang semula berlimpah habis untuk berderma (sedekah, infaq, zakat, wakaf), hati seorang Zahid tidak pernah sedih, sebagaimana ia juga tidak pernah senang saat berlimpah. Imam al-Ghazali mengatakan, seseorang tetap akan dianggap zuhud sekalipun mampu bersedekah dengan harta yang melebihi kebutuhan hariannya. Boleh bersedekah seluruh hartanya selama mampu memastikan memiliki hati yang siap tawakal (al-Ghazali, Ihya’, 1/799).
Jika tidak mampu berderma uang, maka boleh berderman kebaikan lainnya. Makki al-Rumaili menceritakan tentang sufi besar, al-Khatib, yang mengalami sakit sejak pertengahan bulan Ramadan hingga Dzul Hijjah. Setalah mati, ditemukan wasiatnya untuk mewakafkan semua kitabnya, sedangkan hartanya dibagi-bagikan ke berbagai sektor kebaikan dan khususnya kepada kaum Muhaditstsin (Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 2004:519).
Alhasil, zuhud menyangkut masalah hati, bukan masalah kaya dan miskin. Seseorang tetap disebut Zahid walaupun kaya selama tidak terikat oleh kesenangan duniawi. Sehingga hatinya terbuka lebar untuk menggunakan kekayaannya demi kebaikan umat, bangsa dan negara; banyak berderma melalui jalan-jalan yang sudah ditetapkan dalam syariat Islam, seperti sedekah, zakat, infah, wakaf, dan lainnya. Wallahu a’lam bis showab.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
- Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Qamus ‘Arabiy-Indunisiy, (Yogyakarta t.t.)
- A.Kemal Riza, “Ascetism inIslam and Christianity:With Reference to Abu Hamid alGhazaliand Francis of Assisi,” dalam Teosofia Indonesian Journal of Islamic Mysticism, Vol. 1,Number 1, 2012.
- Abdullah Asy-Syarqawi, Syarh al-Hikam, (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.)
- Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali, Ihya’Ulum al-Diin, juz 4, (ttp: Syirkat an-Nur Asia, tt.).
- Amin Syukur, Zuhud Di Era Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
- Mohammad Fathollah, Surat Cinta Para Sufi, (Yogyakarta: Diva Press, 2018)
- Said Aqil Husin Al Munawar, Hidup Penuh Berkah Melalui Ibadah Yang Paling Mudah, (Banten: Penerbit IIMaN, 2001)
- Wawan Susetya, Ngelmu Makrifat Kejawen, (Yogyakarta: Narasi, 2007).
- Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2004.
- https://m.tribunnews.com/tribunners/2021/03/04/bolehkan-sang-zahid-kaya-raya-memaknai-zuhud-dan-fungsi-derma-sosialnya