JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Ketakutan dan kesedihan adalah kondisi kejiwaan yang wajar dimiliki oleh setiap manusia, bahkan oleh kalangan Nabi sekalipun. Seperti takutnya Nabi Musa as. akan pengejaran bala tentara Fir’aun setelah ia berhasil menewaskan orang Qibti Mesir yang menganiaya kaumnya Bani Israil (QS. Al-Qashash: 21) atau saat menghadapi tukang-tukang sihir Fir’aun (QS. Thoha: 68).
Bentuk ketakutan seperti itu lumrah dan manusiawi, sebagaimana takutnya seseorang akan tertimpa musibah bencana alam, takut akan kejahatan setan/jin, manusia, hewan buas, ataupun takut akan penyakit menular dan sejenisnya. Kendati demikian, ketakutan dan kesedihan tersebut harus kita tempatkan sesuai pada proporsinya. Adakalanya takut dan kesedihan itu wajar dan adakalanya tidak wajar. Karena itu perlu disetel alias dikelola agar berlangsung sewajarnya, jangan sampai terlalu berlebihan.
Di sisi lain, bentuk ketakutan dan kesedihan ada juga yang positif seperti takut kepada amarah dan siksa Allah, takut berbuat dosa, takut melanggar hukum, atau takut mencemarkan nama baik agama, diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Adapun kesedihan yang positif seperti sedih atau menyesal atas dosa-dosa yang telah dilakukan, sedih tidak bisa membalas jasa-jasa baik orang tua, guru dan orang lain, sedih telah melewatkan kesempatan beramal baik, dan sebagainya.
Sejatinya ada beberapa faktor pemicu ketakutan serta aneka ragam ketakutan yang sering dihadapi manusia beserta langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki dan mengendalikan perasaan negatif tersebut.
- Terlalu cinta harta/pekerjaan : dari sisi ini sering muncul rasa takut kehilangan atau berkurangnya harta, takut tersaingi, takut gagal/ bangkrut , takut dipecat, takut diputus kontrak bisnis, takut tidak makan, takut tidak dibutuhkan, takut kehilangan asset (murid/santri, jamaah, donatur), takut kehilangan masa depan, dan lain sebagainya.Ketika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap harta/pekerjaan: maka sikap kita harus sabar, tabah dan ikhlas ridho menerima dan menjalani ujian yang telah ditetapkan.Segera move on, memperbaiki diri, tidak boleh larut dalam kesedihan saat menghadapi musibah yang menyangkut kekurangan harta, kehilangan job, asset, donatur, dan semacamnya.Sadarilah bahwa semua cobaan itu hanya sementara, pasti segera berganti dengan kemudahan dan kebahagiaan. Jangan pula punya perasaan memiliki. Sebab semua yang kita punya sebenarnya bukanlah milik kita. Semua itu milik Allah SWT. Kita hanya tukang parkir yang ketitipan berbagai nikmat Ilahi. Suatu saat akan diambil kembali oleh pemilik aslinya. Maka janganlah kita kesal, marah atau kecewa saat pemilik asli itu mengambilnya. Ingatlah bahwa siapa saja yang merasa memiliki, maka ketika miliknya itu hilang, pasti akan terasa sakit hati sekali.Di samping itu pula kita tidak boleh terlalu gembira saat memperoleh semua itu, lupa diri ataupun bangga diri (QS. Al-Hadid: 23) karena semua nikmat tersebut hakekatnya ujian (QS. Al-Anbiya’: 35) apakah seseorang pandai mensyukurinya atau tidak? Lalu dari segi waktu, semua nikmat itu bersifat sementara, tidak akan selamanya kita rasakan, suatu saat akan hilang, berganti dan berlalu.
- Terlalu cinta keluarga: dari sisi ini sering muncul rasa takut kalau tidak disayang atau dihargai lagi, takut ditinggal mati, takut dikhianati, takut ditolak, takut tidak ada yang memberi nafkah, takut tidak mendapat balas budi dari keluarga yang sudah mati-matian diperjuangkan, dan seterusnya.Maka ketika ketakutannya itu menjadi kenyataan, banyak orang yang larut dalam kesedihan atau kekecewaan jika ditinggal mati oleh orang yang dikasihinya, bahkan ada yang sampai meratap, meronta-ronta, karena tidak terima atas takdir Ilahi.Hal ini termasuk perbuatan jahiliah yang harus ditinggalkan. Karena sikap itu mengundang amarah Allah SWT sebagai Dzat Pengatur dan Penolong yang terbaik. Selain itu kita pun harus ikhlas dalam menolong orang lain, sehingga ketika orang yang kita tolong itu tidak pandai berterimakasih, maka kita tidak akan sakit hati.
- Terlalu cinta pada diri : efeknya mengantarkan seseorang kepada perasaan takut tua, takut mati, takut cacat, takut dihina atau dicemooh, takut tidak dihargai atau dihormati lagi, dan lain-lain.Ketakutan seperti ini sangatlah naif, tidak beralasan dan tidak pantas untuk dikhawatirkan. Karena selama orang itu hidup pasti akan menghadapi masa-masa tua, kematian kapan saja (QS. Al-Ankabut : 57), serta tidak akan terlepas dari pencinta atau pendukung yang memuji serta musuh atau pesaing yang mencaci.Jadi santai saja menghadapinya. Sambil kita memperbanyak amal saleh untuk bekal di hari kemudian, juga harus bermental tangguh dan berniat tulus sehingga tidak tumbang ketika dicaci, tidak lupa diri saat dipuji, tidak kecil hati ketika kehilangan penghormatan dari orang lain. Sebab pada dasarnya setiap manusia itu sudah dihormati, dimuliakan serta diberi banyak kelebihan oleh Allah daripada sekalian makhluk-makhlukNya (QS. Al-Isra: 70).
- Terlalu cinta kepada popularitas, jabatan: sehingga bisa menyebabkan seseorang mengalami ketakutan akan kehilangan jabatan, takut dilengserkan, takut dikritik, takut dimutasi, takut celaan dan dibenci publik, takut dikhianati, takut kehilangan followers, takut tidak laku lagi dan semacamnya.Jenis ketakutan yang terakhir ini biasanya menghinggapi mereka yang memiliki penyakit “post power syndrome”, perasaan takut tidak dihornati atau dihargai orang lain setelah lengser dari suatu jabatan atau takut tidak diliput oleh media lagi, sehingga banyak artis yang berani membuat sensasi agar dirinya menjadi perhatian publik kembali.Obatnya adalah dengan berkumpul dengan orang-orang alim dan saleh. Banyak belajar agama dari mereka khususnya ilmu tasawuf, juga mendengar banyak nasihat dari orang-orang bijak agar memiliki prinsip hidup yang positif, ketenteraman batin serta tidak mudah tertipu oleh kamuflase duniawiah.
Semoga kita bisa mengatasi semua bentuk ketakutan dan kesedihan yang negatif tersebut agar kita bisa dimasukkan golongan orang-orang yang dikasihi Allah SWT. Aamiin ya Mujibas saailiin bisirrilfatihah qobul 3x
(Renungan Spiritual 27 Oktober 2025)
KH. Cep Herry Syarifuddin, Pengasuh Pesantren Sabilurrahim Mekarsari Cileungsi Bogor
























