Banten | LIPUTAN9NEWS
Dalam bukunya yang bertajuk Democracy in the Digital Age itu, Anthony G. Wilhelm beberapa kali mengutip pandangan Martin Heidegger, Jacques Derrida, Henry David Thoreau dan lainnya yang terbilang para filsuf mayor, yang kebetulan ia ‘masukan’ dalam kategori kelompok dystopian.
Memang, menurut Hiedegger, teknologi tak lebih dari sekadar alat atau mesin. Karena itu, sarannya, jangan sampai kita malah diperalat atau bahkan diperbudak mesin. Kita memang semestinya menjadi tuan dari alat-alat atau teknologi yang kita ciptakan, bukan malah ‘memenjara’ kita dan ironisnya menumpulkan kecerdasan dan nalar kita. Ketika manusia malah ‘dikendalikan’ oleh mesin dan teknologi yang ia ciptatakan.
Heidegger menganggap teknologi tak lebih sebagai “cara pengungkapan” (way of revealing) atau “modus pengungkapan” (mode of revealing), yang membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia dalam kehidupan kita. Ia juga mengkritik esensi teknologi modern yang, menurutnya, cenderung menempatkan segala sesuatu sebagai “persiapan” atau “cadangan” (standing-reserve) yang siap dimanfaatkan, yang dapat menyebabkan krisis ekologis dan alienasi sosial (keterasingan berjamaah dalam masyarakat).
Teknologi informasi memang telah mendekatkan dan memampatkan jarak dan waktu dalam skala global sekaligus. Tapi tidak sedikit yang memandang komunikasi dan ‘perjumpaan’ yang dimediasi instumen atau perangkat teknologi informasi bersifat semu belaka. Hambar bahkan justru menciptakan alienasi atau keterasingan baru manusia. Hilangnya keintiman sejati seperti keintiman yang kita dapatkan dalam perjumpaan nyata (konkrit) tanpa perantara perangkat atau aplikasi digital (internet).
Persoalan yang sama juga sesungguhnya terjadi dalam peristiwa-peristiwa politik. Banyak masalah yang timbul ketika demokrasi kini berada di era digital. Dari persoalan monopoli oleh mereka yang memiliki kapital besar untuk menguasai seluruh ruang-ruang dan media-media digital untuk kepentingan elit segelintir. Sehingga segelintir elit kecil itu bisa membayar platform digital itu sendiri hingga menyewa para buzzer dan konten kreator untuk memonopoli opini hingga propaganda yang bisa sangat mempengaruhi para pengguna media sosial dan internet.
Ada tiga mazhab dan pendekatan dalam memandang teknologi informasi yang dipaparkan Anthony G. Wilhelm, atau ada tiga varian pandangan dalam menyikapi era digital: Dystopian, Neo-Futuris, dan Teknorealis, dalam bukunya yang bertajuk Democracy in the Digital Age itu. Kelompok dystopian adalah mereka yang sangat berhati-hati pada penerapan teknologi informasi, bahkan menghindari, karena menurut mereka dapat mengacaukan kehidupan sosial-politik.
Kelompok dystopian ‘menyesali’ hilangnya pesona dan kualitas hidup akibat teknologi informasi dan merebaknya media yang melahirkan kedangkalan, sehingga mereka pun ‘berharap’ agar kita tidak menjadi para pecandu teknologi, yang justru malah akan diperalat dan dipenjara teknologi (alat/instrument) itu sendiri. Mereka yang masuk dalam kategori kaum dystopian ini contohnya antara lain filsuf besar dari Jerman Martin Heidegger dan Edmund Husserl, Hannah Arendt, Henry David Thoreau, dan Benjamin Barber.
Hannah Arendt, contohnya, memandang keberadaan media (dan teknologi) justru menghilangkan hubungan antar manusia yang sejati. Sedangkan Martin Heidegger menganjurkan kita agar memandang teknologi tak lebih sebagai cadangan tetap yang harus dikontrol dan ditata. Tidak jauh berbeda dengan Heidegger, menurut Arendt di era kemajuan teknologi informasi justru terjadi pelemahan hubungan politik karena pemusnahan ruang-ruang publik oleh rezim totalitarian baru (maksudnya: rezim teknologi komunikasi modern).
Sementara itu menurut kelompok neo futuris, teknologi-teknologi dengan kecepatan tinggi adalah realitas yang akan menggilas apa saja yang dilewatinya. Alvin Toffler, sebagai salah satu dari kelompok ini, misalnya menganjurkan kita untuk terus-menerus memperbaiki dan berpikir ulang mengenai tujuan sosial yang ia sebut sebagai demokrasi antisipator agar kita selamat dari guncangan masa depan. Bagi neo futuris lainnya, yaitu Jim Ruben, kemajuan teknologi digital justru akan memberi semangat baru bagi demokrasi. Di jalan tengah ada kelompok tekno-realis yang mengakui bahwa teknologi memang tidak netral, dan internet adalah revolusioner tetapi tidak utopia.
Kelompok neo-futuris sadar bahwa ada banyak kepentingan di balik penggunaan (penerapan) media, semisal media bermula dari mengontrol ruang-waktu, namun kemudian mengontrol orang: contohnya iklan-iklan yang massif dan senantiasa hadir untuk selalu ‘memerintah’ banyak orang agar tak pernah berhenti untuk membeli dan mengkonsumsi. Media menjadi mesin dari hasrat tirani pasar yang tak berkesudahan, dan banyak orang kemudian diubah hanya menjadi masyarakat konsumer yang kehilangan kritisisme dan mengalami pembusukan nalar.
Menurut Anthony G. Wilhelm, kelompok neo futuris adalah mereka yang tidak kritis dan sangat terbuka pada hal-hal baru dari kemajuan teknologi, dan selalu melihat masa depan dengan harapan membuta. Sedangkan kaum dystopian adalah mereka yang sangat kritis dan berhati-hati pada teknologi, bahkan cenderung menentangnya karena dianggap mereduksi kualitas esensial masyarakat dan membawa kekacauan secara politik dan sosial. Adapun kelompok teknorealis memandang bahwa teknologi informasi mempunyai manfaat-manfaat praktis yang dapat digunakan tanpa harus melawan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
Barangkali kita bisa membaca konstruk bangunan teoritik Anthony G. Wilhelm tentang tiga pendekatan dalam memahami perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tersebut bukanlah sebuah kategori melainkan sebuah rangkaian, seperti yang dicetuskan dalam teori dialektika Friedrich W. Hegel mengenai tesis, antitesis dan sintesis. Dalam hal ini kelompok neo-futuris adalah tesis: teknologi penting untuk kehidupan manusia di masa depan. Sedangkan kelompok dystopian hadir sebagai antitesis neo-futuris: dengan kritik mereka terhadap penerapan teknologi dan dampak sosialnya. Lalu kelompok tekno-realis menawarkan sintesis bahwa teknologi mempunyai manfaat-manfaat praktis yang dapat digunakan tanpa harus mendobrak nilai-nilai sosial. Sintesis inilah yang kemudian akan bergerak kembali menjadi tesis baru seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan.
Sulaiman Djaya, Pengasuh Kajian Demokrasi dan Ekonomi Politik Sekretariat KAHMI Banten