Banten | LIPUTAN9NEWS
Setelah berjalan selama beberapa jam di setapak itu, Siswi Karina akhirnya sadar setapak yang dilaluinya tersebut berhenti pada sebuah sungai jernih, hingga segala yang ada di dasar sungai itu tampak jelas terlihat oleh sepasang matanya yang indah. Ia pun tergoda untuk memandangi segala yang ada di dasar sungai tersebut, sebab apa saja yang ia lihat di dasar sungai tersebut belum pernah ia lihat sebelumnya.
Namun tiba-tiba sebuah perahu mungil yang dikayuh empat peri muncul begitu saja di depannya. “Naiklah! Kami akan membawamu ke tempat-tempat yang belum pernah kau-lihat,” ujar salah satu peri tersebut. Terbujuk oleh ajakan salah satu peri tersebut, Siswi Karina pun segera menaiki perahu mungil itu.
Empat peri itu pun mulai mendayung, dan setelah agak lama saling terdiam, salah satu peri itu mencoba mengajak Siswi Karina berbincang. “Apa kau senang?” “Ya aku senang. Tapi aku tak tahu di mana aku berada sekarang ini,” jawab Siswi Karina. “Nanti juga akan tahu!” kata peri yang lainnya lagi.
Selama satu jam lebih mereka mendayung perahu mungil itu, sampai-lah mereka di sebuah tempat yang mereka tuju, sebuah danau, yang entah tercipta dari apa, memiliki aneka warna di permukaan airnya.
Mereka pun sama-sama mendaki tepi sungai yang dipenuhi ragam tumbuhan dan bunga-bunga. Saat itu, Siswi Karina pun kembali terkejut ketika perahu mungil yang baru saja dinaikinya itu pun tiba-tiba menghilang begitu saja, hingga ia bertanya, “di mana aku saat ini berada?” “Kau berada di sebuah dunia yang telah ada sebelum kau ada,” jawab salah satu peri.
Sekarang mereka telah sampai di lembah-lembah dan sebuah savana yang terhampar luas yang terasa begitu sejuk dan damai. Pada saat itulah, sebuah bayangan yang bergerak begitu cepat berhenti di depan mereka, yang anehnya bayangan itu tak mengepulkan debu atau suara riuh kala bergerak datang begitu cepatnya.
Bayangan yang datang dengan cepat di hadapan mereka itu adalah sebuah kereta kuda yang ditarik oleh delapan kuda putih bersih yang masing-masing kuda itu memiliki sepasang tanduk runcing di dekat telinga mereka.
Tampak seorang perempuan cantik keluar turun dari pintu kereta kuda tersebut sesaat setelah salah satu pintu kereta kuda itu terbuka. Perempuan itu menampakkan rambut yang sangat indah yang sedikit terlihat dibalik kerudungnya yang berwarna merah menyala.
Lagi-lagi Siswi Karina terkejut ketika empat peri itu terbang dan menghilang begitu saja tak lama setelah ia diajak masuk ke dalam kereta kuda dengan delapan kuda putih yang masing-masing memiliki tanduk runcing di kepala mereka itu.
2
Kereta kuda itu melaju begitu cepat –hampir mendekati kecepatan cahaya, dan tak meninggalkan debu di belakangnya. Di dalam kereta kuda itu Siswi Karina masih terus bertanya-tanya di dalam hatinya seputar kejadian-kejadian aneh dan menakjubkan yang ia alami sebelumnya itu. Perahu mungil dan empat peri yang menghilang tiba-tiba begitu saja, dan juga hal-hal lainnya.
Ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada pemilik kereta itu, “Siapakah engkau sebenarnya?” “Aku Misyaila” jawab si empunya kereta ajaib tersebut. Mendengar nama itu, Siswi Karina teringat nama pelukis dan seniman yang karya lukisannya pernah ia lihat di tempat ia bekerja, Michelangelo, yang jika diterjemahkan, nama itu artinya adalah malaikat Mikhail.
Sembari berbincang itu, tanpa terasa mereka pun telah sampai di sebuah telaga yang di atasnya berdiri dengan rapihnya barisan rumah-rumah indah yang belum pernah ia lihat.
Saat itu Siswi Karina pun mendengar sayup-sayup suara musik, yang ia berusaha menduga dari mana musik tersebut. Ia seakan mendengar petikan-petikan suara harpa, alunan biola, dan komposisi cello, meski menurutnya itu semua hanya mirip saja.
Tempat di mana kini ia berada itu memang lebih mirip sebuah lukisan naturalis –sebuah telaga raksasa dengan rumah-rumah ajaib di atasnya. Lembah-lembah, savanna-savana, dan bukit-bukit yang dipenuhi tumbuhan dan binatang-binatang yang juga belum pernah ia lihat.
Ada unggas-unggas berwarna hijau. Ada kambing-kambing yang memiliki sepasang tanduk hijau dan memiliki sepasang sayap di punggung mereka. Ada capung-capung yang ukuran tubuhnya sama dengan burung-burung dan memiliki sepasang sayap berwarna merah terang. Semua itu membuat Siswi Karina takjub.
Siswi Karina pun melihat Unicorn berwajah lelaki tampan, yang tersenyum ke arahnya saat ia memandang Unicorn tersebut. Unicorn itu memiliki sepasang sayap berwarna hijau di punggugnnya –sepasang sayap yang menakjubkan.
Karena masih didera keheranan sekaligus kekaguman, Siswi Karina pun berusaha memuaskan sepasang matanya untuk melihat dan mengetahui segala yang ada di sekitaran telaga raksasa itu. Bagaimana ternyata rumah-rumah yang seakan mengambang di telaga itu dihuni oleh manusia-manusia yang lebih kecil dari ukuran tubuh dirinya, namun memiliki wajah-wajah yang cantik, menawan, dan tampan.
“Semua ini sudah ada sebelum engkau ada”, ujar si pemilik kereta kuda super cepat itu kepada Siswi Karina, yang seakan mengingatkan dirinya bahwa dirinya memiliki seorang sahabat dan tidak sendirian.
3
Mereka pun berjalan menuju susunan atau barisan rumah-rumah (yang seperti mengambang di atas telaga ajaib tersebut) melalui jembatan yang tersusun dari batu-batu yang entah karena apa, juga mengambang dan tidak tenggelam. Semula Siswi Karina mengira rumah-rumah itu tampak begitu dekat, namun ternyata cukup jauh juga.
Tahu bahwa Siswi Karina ingin segera sampai di rumah-rumah itu, tanpa disadarinya Misyaila menyentuhkan tongkat ajaibnya ke salah satu kaki Siswi Karina, dan tiba-tiba Siswi Karina pun sudah ada di depan salah-satu rumah, tentu saja berbarengan dengan Misyaila sendiri, yang menggunakan salah-satu rahasia ilmu Tuhan yang ia dapatkan dari salah seorang Rasul.
“Shalom ‘Eleykum” ujar Misyaila sembari mengetuk pelan pintu salah satu rumah tersebut. Tak berapa lama, muncul seorang perempuan yang tingginya hanya separuh tinggi Siswi Karina. Ia adalah Zipora, yang sekaligus kepala rumah tangga yang menggantikan posisi dan tugas suaminya yang gugur dalam perang melawan para penyusup yang bekerja untuk kekuatan buruk (jahat).
Ia telah mengenal Misyaila, namun belum mengenal Siswi Karina, dan karena itu ia memperkenalkan dirinya sembari agak membungkuk, dan segera dibalas oleh Sisiwi Karina dengan memperkenalkan diri pula.
Di rumah itu, tentu saja, Zipora tidak sendiri: ia ditemani satu anak lelakinya (si sulung) yang bernama Ilias dan dua putrinya yang masing-masing bernama Hagar dan Sophia.
“Bolehkah kami menginap semalam saja, Zipora,” ujar Misyaila, dan Zipora mengangguk tanda mengiyakan permintaan Misyaila. Ia menyeru nama Sophia agar menyiapkan hidangan untuk Siswi Karina dan Misyaila, serta untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya, sementara ia sendiri mempersilahkan kedua tamunya tersebut untuk segera masuk.
Kini mereka bersama-sama sudah duduk di lantai rumah tersebut, yang seperti terbuat dari susunan batu Kristal, di mana rumah itu sendiri meski dari luar tampak mungil, ternyata begitu luas saat di dalam, yang lagi-lagi membuat Siswi Karina takjub.
Menu makan malam yang disediakan Sophia untuk mereka adalah sebuah buah yang bernama Buah Barakat yang berwarna merah menyala, tapi bentuk seperti mentimun, namun lebih panjang dari mentimun, yang oleh Sophia telah dipotong-potong dan ditempatkan ke masing-masing bejana berwarna hijau.
Semula Siswi Karina ragu apakah dengan hanya memakan dua potong Buah Barakat tersebut rasa laparnya akan hilang dan tenaganya akan pulih. Dan lagi-lagi, ia kembali heran ketika merasakan nikmatnya buah tersebut, namun pada saat bersamaan ia pun merasa terpuaskan dengan hanya memakan dua potong saja. Ia belum pernah merasakan kenikmatan buah tersebut selama hidupnya.
Buah itu memiliki rasa yang mirip anggur, tapi ia lebih nikmat dari anggur. Memiliki kelenjar cair yang seperti jeruk, tapi rasa asam dan manisnya jauh melebihi rasa jeruk. Sungguh Kuasa Tuhan yang Agung yang takkan pernah terpikirkan oleh akal manusia yang acapkali arogan dan merasa diri mereka sanggup memahami misteri, padahal hanya menduga-duga. Dan mereka tak perlu minum setelah memakan Buah Barakat tersebut –karena buah tersebut menghilangkan lapar sekaligus haus.
Sementara itu, Misyaila sendiri sudah sering singgah ke rumah Zipora, yang salah-satu alasannya adalah karena ingin mengetahui keadaan anak-anak Zipora secara berkala. Barangkali ia memang memiliki misi dan rahasia khusus kenapa ia begitu perhatian kepada anak-anak Zipora, semenjak ayah mereka, yaitu Iliyyun, gugur ketika memimpin pertempuran melawan para penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (atau perintah jahat) dari sebuah dunia yang untuk sementara belum diketahui Misyaila.
Usai makan bersama, dan kemudian diteruskan dengan perbincangan yang tidak terlalu lama itu, Siswi Karina dan Misyaila pun beristirahat di satu kamar dengan dua alat tidur yang telah disediakan Zipora untuk masing-masing mereka. Esok mereka akan menuju sebuah tempat yang sudah tentu tidak diketahui oleh Siswi Karina dan hanya diketahui oleh Misyaila.
Sebuah tempat yang teramat sangat purba, yang dikenal oleh para penduduk Telaga Kahana bernama Jaham, sebuah tempat yang untuk sementara dicurigai oleh Misyaila sebagai asal pasukan penyusup yang dikendalikan kekuatan buruk (kendali jahat) yang telah menewaskan suami Zipora dan sejumlah penduduk lainnya beberapa tahun silam. (Bersambung)
Sulaiman Djaya, Esais dan penyair