BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Perjumpaan atau perkenalan pertama saya dengan puisi-puisi Taufiq Ismail terjadi sewaktu menjadi mahasiswa di IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu ketika para demonstran 1998 kerapkali membacakan sejumlah puisi Taufiq Ismail dengan lantang di hadapan massa demonstran, baik ketika di kampus sebelum berangkat atau pun saat dalam perjalanan menuju lokasi demonstrasi dan di lokasi demonstrasi.
Pada saat-saat itulah saya mulai sering mendengar nama Taufiq Ismail dan beberapa judul puisinya, selain nama WS Rendra dan puisi-puisinya yang juga kerapkali dibacakan secara keras oleh para demonstran dari kalangan para mahasiswa. Sejak itulah, terutama sekali ketika aksi-aksi demonstrasi para mahasiswa di tahun 1998 mulai reda, keinginan saya untuk mengetahui dan membaca puisi-puisi Taufiq Ismail mendapatkan waktu dan kesempatan yang cukup baik. Kebetulan saya indekos di tempat yang juga menjadi sekretariat kajian para mahasiswa yang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku-buku sastra yang cukup melimpah, termasuk juga jurnal dan majalah sastra, semisal majalah sastra Horison dan Jurnal Kalam.
Puisi-puisi Taufiq Ismail dan WS Rendra pun acapkali juga dibacakan di acara-acara seni-budaya di kampus saya, seperti oleh para pegiat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang konsen dalam bidang teater, seni dan sastra. Di masa-masa demonstrasi para mahasiswa tahun 1998 itu, memang bisa dianggap wajar kenapa puisi-puisi Taufiq Ismail dan WS Rendra paling sering dibacakan oleh para demonstran karena memang relevan dan kontekstual dengan sejumlah isu dan gagasan yang juga hendak disuarakan oleh para mahasiswa, yaitu persoalan-persoalan sosial-politik bangsa, semisal isu korupsi dan tirani kebijakan, kekerasan dan kesemena-menaan aparat dan pelanggaran HAM, dan yang sejenis itu semua:
“ Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun‐tahun //
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja //
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ‘Selamat tinggal perjuangan’
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan? //
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan‐bangunan
Menunduk bendera setengah tiang //
Pesan itu telah sampai kemana‐mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang‐abang becak, kuli‐kuli pelabuhan
teriakan‐teriakan di atas bis kota, pawai‐pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN!”
(Taufiq Ismail, Tirani dan Benteng, Yayasan Ananda 1993, h. 67).
Puisi berjudul ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’ Taufiq Ismail itu tentu saja akan terasa dekat dan relevan bagi para demonstran mahasiswa, tidak terkecuali saya yang juga ketika itu ikut langsung berdemonstrasi di tahun 1998, sebelum akhirnya saya belakangan kembali berkali-kali mendengarkan dan menyimak suara dan semangat dari pesan puisi itu ketika para peserta FLS2N membacakannya dengan penuh ekspresi serta penghayatan, ketika saya menjadi juri baca puisi FLS2N untuk sekolah menengah tingkat kab/kota di Banten.
Kedekatan para demonstran mahasiswa dengan puisi-puisi Taufiq Ismail karena memang umumnya puisi-puisi Taufiq Ismail menyuarakan isu dan gagasan terkait situasi atau kondisi sosial-politik bangsa ini di masa-masa puisi-puisi tersebut ditulis yang dirasa tetap relevan kapan saja selagi masalah-masalah dan situasi-situasi serupa masih terjadi, seperti ketika para demonstran mahasiswa di tahun 1998 menyoroti sejumlah isu dan kondisi sosial-politik ketika itu, yang dengan demikian, adalah sangat beralasan dan cukup tepat bila kita menggolongkan mayoritas puisi-puisi Taufiq Ismail adalah ‘puisi politik’ (meski ada beberapa puisinya yang menyoroti fenomena trend budaya massa yang menurutnya tidak mendidik semisal yang mengajarkan kekerasan bukannya intelektualitas seperti trend boxing atau tinju di Indonesia di era 80an hingga 90an) semisal puisinya yang berjudul ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’ itu, yang bagi para demonstran mahasiswa, jaket itu adalah jaket almamater seorang demonstran yang terkena kekerasan aparat yang bertugas melaksanakan perintah atasan mereka, selain suara dan bunyi sugestif puisi itu juga memang sanggup memompakan semangat perlawanan dan gairah para demonstran mahasiswa untuk tetap bergerak: “Dalam kepedihan bertahun‐tahun // Sebuah sungai membatasi kita di bawah terik matahari Jakarta, antara kebebasan dan penindasan, berlapis senjata dan sangkur baja // Akan mundurkah kita sekarang…”
Betapa kontekstual dan relevan sekali larik-larik suara dan isi gagasan puisi “Sebuah Jaket Berlumur Darah” itu dengan gagasan dan juga situasi serta tempat para demonstran mahasiswa di tahun 1998, yaitu Jakarta dan situasi krisis ekonomi yang berimbas pada krisis politik, yang disebut dalam puisi tersebut, meski penyairnya menulis puisi tersebut sebagai respons terhadap situasi dan jamannya, yaitu era transisi politik Indonesia dari orde lama Bung Karno ke orde baru Soeharto. Keseluruhan suara dan bunyi puisi itu memang relevan dengan apa yang juga ingin disuarakan para mahasiswa demonstran ketika itu yang pada akhirnya mendapatkan restu dan dukungan massa rakyat, bukan hanya mahasiswa: “Pesan itu telah sampai kemana‐mana // Melalui kendaraan yang melintas // Abang‐abang becak, kuli‐kuli pelabuhan // teriakan‐teriakan di atas bis kota, pawai‐pawai perkasa // Prosesi jenazah ke pemakaman // Mereka berkata // Semuanya berkata; LANJUTKAN PERJUANGAN!”
Namun perlu saya kemukakan bahwa meski mula perjumpaan saya dengan puisi-puisi Taufiq Ismail adalah dengan puisi-puisi politiknya, saya justru lebih tertarik kepada puisi-puisi lirisnya yang menyuarakan gagasan dan metafora alam serta kehidupan yang ditangkap secara bathin dan disuarakan dengan puisi dan nada dalam bahasa dan narasi puitika, seperti puisinya yang berjudul ‘Beri Daku Sumba’ (Lihat: Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya 1975, h. 67):
“Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu //
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga //
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana //
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossa nova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba //
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh //
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.”
Salah-satu puisi indah Taufiq Ismail yang menggambarkan etnisitas, kebudayaan dan ekologi bangsa kita, yang dalam hal ini adalah kebudayaan agraris masyarakat Indonesia yang mengkreasi kearifan dan nilai-nilai hidup mereka bersumber dari alam dan kehidupan menjadi ritus dan seni tradisi bangsa kita yang membentuk identitas Indonesia sebagai bangsa dan masyarakat yang memiliki kearifan ekologis sekaligus para pencipta seni dan budaya serta ritual tradisi dan tradisi ritual yang selaras dengan alam dan tata masyarakat yang tidak mengedepankan kerakusan dan keserakahan ala kapitalisme zaman modern yang memesinkan manusia justru ketika rasionalitas instrumental menjadi hukum besi birokrasi dan tata-aturan hidup sehari-hari yang telos-nya semata-mata digerakkan hanya untuk meraih keuntungan material yang merusak alam dan aset kehidupan masa depan –digerakkan demi ketamakan dan individualisme yang merusak solidaritas, welas-asih dan kepekaan nurani manusiawi.
Ketika merenungi puisi berjudul ‘Beri Daku Sumba’ itu, saya jadi tergelitik untuk mengajukan pertanyaan: Apa puisi dan siapa penyair? Bagi saya pribadi, sekedar contoh, kepenulisan puisi dan kepenyairan adalah masalah keterlibatan dengan kehidupan sehari-hari yang kita jalani, hadir dari ruang sejarah dan peristiwa-peristiwa sosial, politis, ekonomis, dan budaya dalam kehidupan kita. Bahwa menulis puisi adalah juga menyangkut kerja mengolah bahasa dan laku naratif yang sifatnya intelektual menjadi ‘buah seni’ adalah benar adanya, namun tentu saja, kita menggali bahan-bahan perenungannya dari pengalaman dan perasaan bathin kita yang sifatnya manusiawi, di mana bahasa itu berusaha diberi konteks hidup dan kehidupannya.
Dalam konteks resepsi dan pembacaan, ada beberapa resiko membaca puisi naratif yang panjang jika puisi bersangkutan kurang merayu dan menarik para pembacanya untuk ikut terlibat dalam peristiwa dan isu yang diangkat puisi bersangkutan, termasuk puisi yang mengangkat isu dan tema kritik sosial (dan politis). Misalnya para pembaca akan jenuh dan merasa lelah, dan lalu menghentikan pembacaan sebelum mereka membaca keseluruhan sebuah puisi atau malah mereka akan enggan meneruskan pembacaan bila baris-baris pertamanya dirasa tidak menarik bagi mereka, tidak memancing minat mereka pada isu atau tema yang hendak disodorkan kepada para pembaca. Dan untungnya, sejumlah puisi naratif panjang Taufiq Ismail selalu menyodorkan gagasan keprihatinan dan kritik yang selalu menarik untuk disimak dan dibaca.
Begitu juga, para penulis atau penyair yang acapkali mengandalkan karya-karya tulis mereka sebagai penopang hidup keseharian mereka, tak mungkin mengingkari bahwa mereka ingin berdialog dengan para pembaca karya-karya mereka. Para pembaca adalah para penerima pesan kita ketika kita hendak mengutarakan pendapat dan pandangan kita sejauh menyangkut hidup dan soal-soal lainnya, entah tentang realitas sosial, pengalaman individual, atau pun narasi yang mengangkat tokoh tertentu dalam realitas sosial dan sejarah kehidupan keseharian kita. Dan tentu juga, puisi adalah substansi estetik yang berbeda dengan bahasa komunikasi biasa. Puisi adalah seni, dan karena ia seni, disampaikan dan dituliskan dengan unsur dan perangkat-perangkat yang sanggup melahirkan keindahan. Yang dengan modus dan metode puitik tersebut, pembaca diajak merenung dan merefleksikan hidup secara arif sembari dihibur.
Selanjutnya yang juga tidak bisa dipungkiri, puisi lahir bersama jamannya. Puisi lahir dan ditulis oleh penyair dari kehidupan, dalam arti puisi tidaklah lahir dari ruang hampa yang tercerabut dari kondisi manusiawi yang berjalan bersama sejarah, bersama kondisi-kondisi sosial-kultural-politis, bahkan eksistensial. Singkat kata, puisi lahir dari rahim sejarah dan kondisi kemanusiaan sebagai sebuah refleksi dan sikap seorang penyair menjalani dan memandang hidup. Karena itu tak jarang puisi juga mencerminkan ideologi dan pandangan-pandangan tertentu yang sedang dianut dan dipercayai.
Bila demikian, puisi tidaklah lahir dan ditulis dari ruang vakum atau ruang hampa yang terlepas dari peristiwa-peristiwa sosial, budaya, ekonomis, dan politis. Haruslah diakui oleh kita bahwa kerja-kerja kepenulisan dan kebudayaan tidak pernah tercerabut dari jalan sejarah dan komitmen kita kepada kemanusiaan, sebab kerja kepenulisan tidak berada di ruang vakum peristiwa sosial-budaya, ekonomi dan politik. Kita hidup dalam dunia, bukan berada di luar dunia. Kepenyairan tak dapat dilepaskan dari sikap kita pada hidup dan kehidupan, sebagai bentuk komitmen kita kepada sejarah dan kemanusiaan.
Dalam kadar yang demikian, sudah merupakan sesuatu yang lazim bahwa puisi adalah cerminan geliat dan ruh hidup. Acapkali puisi merupakan modus mengada dan metode seorang penyair untuk mengajukan dan menawarkan pandangan dan sikap hidup itu sendiri. Puisi digali dan ditulis dari relung jiwa kehidupan dan keseharian manusiawi bersama sejarah, dari pertarungan dan perjalanan manusia sebagai ‘Sang Pengada’ dalam lautan banalitas dan kedalaman sejarah. Karena itulah puisi acapkali mengandung kearifan –sebagaimana sejumlah puisi Taufiq Ismail yang metaforanya diambil dari alam dan semesta hidup keseharian.
Tidak jauh berbeda dengan ‘Beri Daku Sumba’, puisinya yang lain, ‘Kabut Dalam Hujan Januari’(Lihat: Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung, Pustaka Jaya 1975, h. 24) juga memancarkan pesona serupa:
“Saat angin dan kabut Januari
Berkejaran di atas atap-atap kota
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari Ini Nestapa Menyanyi’ //
Adakah dingin dalam bunyi senja
Yang bernapas pelan dalam gugur daunan
Sampai padamu dalam warna-warna serupa
Dan menyuarakan angin yang gemetaran //
Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
Bunga di luar musimnya ungu mengangguk-angguk
Kujamah hati kamar ini dan merasa sangat dingin
Berkata, di sini kau mestinya merenda duduk //
Dan deru di langit yang tak lagi biru
Berdenyar-denyar dalam gugusan badai
Adakah itu yang kauberi nama rindu
Berpijar-pijar namun tak sempat sampai //
Adalah jalanan yang masuk dalam malam
Bertebaran serta basah daun berjuta
Napas kabut antara desah pohonan
Menyapaku lengang lewat jendela.”
Sebuah puisi liris yang lembut mengajak pembacanya untuk merenung dan merefleksikan hidup, memiliki suasana, suara dan gagasan religius. Mengajak pembaca untuk mengakrabi dan mengintimi hidup, entah dalam gembira dan nestapa, menjadi ketulusan dan keikhlasan untuk menjalaninya. Puisi-puisi Taufiq Ismail yang menyuarakan gagasan-gagasan demikian, bagi saya yang justru mencerminkan dunia puitika Taufiq Ismail –bahwa puisi-puisinya pada dasarnya, entah yang menyuarakan kritik sosial dan yang merefleksikan alam serta keseharian atau semesta kehidupan lahir dari kepekaan religius seorang penyairnya.
Dunia Puisi Taufiq Ismail
Sebagai penyair yang masa-masa kreatif kepenyairannya di jaman dan situasi krisis sosial-politik bangsa kita, Indonesia, sebagian besar puisi-puisi Taufiq Ismail menyuarakan isu dan gagasan keprihatinan serta kritik-protest kepada polah rezim penguasa dan kebijakan mereka yang menurut penyairnya didorong semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas namun dengan kebijakan dan pendekatan yang justru menimbulkan gejolak di kalangan warga Negara yang terdampak oleh kebijakan dan pendekatan tersebut. Meski demikian, ada sejumlah puisi-puisi lirisnya yang indah yang mengajak kita untuk merenungi dan merefleksikan hidup kita demi kemajuan di masa yang akan datang serta mengajak kita untuk menjalani hidup kita dengan kejujuran, menyingkirkan watak dan mental ketidakpedulian pada sesama dan kerakusan yang melahirkan korupsi.
Puisi-puisinya tetap relevan di jaman kita saat ini, jaman pasca reformasi yang ternyata juga belum berhasil menyelesaikan persoalan-persoalan politik dan kebangsaan kita yang menghambat kemajuan dan cita-cita meraih kemakmuran yang berlandaskan keadilan sosial bagi mayoritas penduduk atau warga Negara sebagaimana di-visi-kan Pancasila sebagai dasar Negara kita. Hingga dapat dikatakan, para elit bangsa kita sesungguhnya belum berhasil pula mewujudkan cita-cita bangsa kita pasca kemerdekaan dari kolonialisme, belum sepenuhnya mengamalkan dan menjalankan amanat kemerdekaan serta falsafah dan dasar Negara kita.
Minat dan konsen Taufiq Ismail pada persoalan-persoalan sosial-politik bangsanya tidak terlepas dari perjalanan hidupnya sebagai mahasiswa aktivis di jamannya, yaitu era transisi dan krisis politik Indonesia akhir orde lama dan awal orde baru, yang berpengaruh besar dalam perjalanan proses kreatifnya sebagai seorang penyair selain pengaruh estetik kepenulisan puisinya dari seni wayang dan pedalangan Jawa serta kaba Sumatra yang ia adaptasi ke bentuk puisi-puisi naratif panjangnya –di mana puisi dipinjam untuk menyampaikan sindiran satir untuk melancarkan kritik dan protest terhadap hal-hal yang dirasa bertentangan dengan cita-cita dan tujuan kebajikan manusiawi kehidupan.
Begitu pun, rupa-rupanya, kepekaan yang mulanya dipicu pada soal-soal dan isu-isu politik itu kemudian meluas dan melebar ke persoalan-persoalan budaya massa yang dinilai bertentangan dengan martabat dan kodrat manusiawi serta bertentangan dengan identitas dan kearifan bangsa kita, seperti boxing atau tinju yang memuja kepalan atau kekerasan bukannya menghargai intelektualitas. Sebab boxing secara sengaja mengejek intelektualitas dan merendahkan martabat kepala manusia sebagai tempat beradanya salah-satu organ yang berfungsi sebagai organ daya pemikiran dengan menjadikannya sebagai sasaran pukulan dan hantaman yang terbukti membawa atau berbuah tragedi bagi si pemilik otak itu sendiri, yaitu si petinju –meninggal karena dipicu kerusakan organ-ogan tubuh yang ada di kepala.
Sesungguhnya puisi-puisi kritik sosial-politik dan kritik-budayanya Taufiq Ismail lahir dari seorang penyair yang memiliki lanskap dan kepekaan religius yang kuat dan kaya. Religiusitas itulah yang mengasah kepekaan seorang penyair menjadi manusia yang cepat menangkap kekeliruan dan tanggap atau tangkas merefleksikannya. Dalam kadar demikian, puisi-puisinya yang bernuansa renungan religius dan kritik sosial-politik-budaya merupakan satu kesatuan yang lahir dari kosmologi seorang penyair yang memandang hidup dan dunia ini sebagai manifestasi tempat dan laku menuju keselamatan dan kebahagiaan sejati yang kekal-abadi.
Nuansa dan suasana religius itu terasa dan terbaca kuat terutama pada puisi-puisinya yang menggambarkan dan mengkiaskan hidup dengan meminjam perumpamaan dari alam serta keprihatinan hidup, selain tentu saja, dalam beberapa puisinya yang menyuarakan gagasan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam yang seakan-akan hendak memaknakan ulang hakikat sujud dan sembahyang yang mestinya terimplementasi dalam laku bajik hidup kita secara keseluruhan selain inti tujuan hidup itu sendiri bagi penyairnya memang tidak lebih dalam rangka bersujud kepada yang Maha Agung (Tuhan Pencipta dan Pemelihara Semesta) untuk tidak menjadi budak benda-benda dan budak sesama manusia, yang membuat saya lebih terpikat pada puisi-puisinya yang demikian, ketimbang pada puisi-puisi politiknya yang justru menjadi jembatan mula perkenalan saya dengan puisi-puisinya, terutama yang termaktub dalam buku Tirani dan Benteng dan buku Sajak Ladang Jagung. Hingga dapatlah kita katakana bahwa Dunia Puisi Taufiq Ismail adalah dunia puitika religius yang meneropong dan menyingkap persoalan-persoalan kehidupan manusiawi kita sehari-hari sebagai refleksi dan modus mengada penyairnya sendiri yang kemudian dibagi dan dikomunikasikan dengan para pembacanya.
Sulaiman Djaya banyak mempublikasi tulisan fiksi dan non-fiksi di media-media nasional dan lokal. Kini tinggal di Serang, Banten.




















