Banten | LIPUTAN9NEWS
Brain Rot dipilih sebagai Oxford Word of The Year tahun 2024, yang memang dalam konteks budaya konsumsi digital yang berlebihan, yang justru menyebabkan membusuknya nalar dan pikiran manusia. Brain rot adalah gambaran deteriorasi intelektual dan mental sebagai dampak konsumsi berlebihan konten-konten yang dangkal, yang tidak mencerahkan dan tidak menantang untuk lahirnya kesadaran, terutama di media sosial, yang sayangnya justru konten-konten yang acapkali viral.
Apa jadinya manusia jika teknologi yang mereka ciptakan justru membunuh kecerdasan dan melemahkan kekuatan inteleknya? Teknologi di sini secara spesifik adalah gawai dan media sosial yang menciptakan rutinitas mengakses konten dan informasi yang teramat melimpah dan cepat berganti di ragam platform dan aplikasi. Bagaimana jika perkembangan teknologi informasi justru malah membuat pikiran manusia justru membusuk dan kesadarannya memudar? Inilah yang dimaksud brain rot, membusuknya nalar dan pikiran manusia karena serbuan kedangkalan informasi dan konten yang cepat dan melimpah. Brain rot juga didefinisikan sebagai kondisi ketika kemampuan berpikir melemah akibat terlampau sering mengonsumsi konten-konten dan informasi-informasi yang tak berisi dan tak bergizi.
Brain Rot dipilih sebagai Oxford Word of The Year tahun 2024, yang memang dalam konteks budaya konsumsi digital yang berlebihan, yang justru menyebabkan membusuknya nalar dan pikiran manusia. Brain rot adalah gambaran deteriorasi intelektual dan mental sebagai dampak konsumsi berlebihan konten-konten yang dangkal, yang tidak mencerahkan dan tidak menantang untuk lahirnya kesadaran, terutama di media sosial, yang sayangnya justru konten-konten yang acapkali viral. Singkatnya, brain rot merupakan kondisi di mana otak manusia menjadi tumpul karena senantiasa terpapar konten-konten tak bermutu dan tanpa nilai yang memadai.
Istilah itu mulanya digunakan oleh Henry David Thoreau dalam bukunya yang berjudul Walden, terbit tahun 1854, yang kala itu digunakan untuk mengkritik mereka yang lebih menghargai ide dan gagasan dangkal ketimbang pemikiran yang kompleks dan bernas. Dengan nada dan gaya satiris-parodis, Henry David Thoreau melontarkan sarkasmenya, “Saat Ingris berusaha menangani (menyembuhkan) penyakit busuk kentang, adakah yang mau menyembuhkan busuknya otak, yang justru jauh lebih banyak dan lebih mematikan?”
Kini istilah itu menjadi relevan dan aktual kembali dalam konteks, semisal, membanjir dan membludaknya konten viral yang tidak mencerahkan, sampai-sampai R. F. Kuang dalam bukunya yang berjudul Yellowface menulis, “Media sosial adalah ruang yang teramat kecil dan picik. Sebab, setelah anda menutup layar, tak ada yang peduli.” Media sosial dan dunia digital memang berguna bila dijadikan wahana untuk mencari dan mengonsumsi informasi-informasi dan konten-konten yang memantik kita berempati dan berpikir. Atau informasi-informasi dan konten-konten yang mengandung pengetahuan-pengetahuan baru yang menantang dan memotivasi perkembangan pengetahuan dan kearifan kita. Namun, jika yang kita konsumsi adalah informasi dan konten yang cenderung tak bermutu hingga hoax, maka yang terjadi adalah melemahnya nalar dan kesadaran kita. Teknolgi informasi kemudian malah menjadi penyakit dan virus baru bagi kita.
Teknologi sendiri pernah dikritik, tepatnya disarankan untuk waspada dan mawas atas dampak negatifnya bagi kehidupan dan eksistensi manusia, oleh Martin Heidegger, salah-satu filsuf jempolan dari Jerman. Heidegger mewanti-wanti bahwa teknologi bisa menumpulkan kepekaan dan kesadaran manusia. Heidegger memang memandang teknologi tak lebih sebagai gestell, sebuah kata yang menggambarkan ketika manusia justru dikendalikan oleh ciptaannya sendiri. Atau katakanlah malah terpenjara ‘berhala’ komoditas buatannya sendiri. Teknologi, demikian menurut Heidegger, bukanlah aktivitas asli manusia, tapi justru ‘mesin’ yang bisa berkembang di luar kendali manusia.
Tak hanya itu saja, menurut Martin Heidegger, teknologi tak semata alat atau instrumen bagi manusia untuk membantu aktivitas dan memudahkan pekerjaan, semisal demi efisiensi dan kecepatan yang sifatnya produktif seperti dalam produksi komoditas oleh industri, tetapi lebih dari itu, teknologi sesungguhnya telah sampai pada fase menentukan cara pandang manusia terhadap dunia. Apa yang dinyatakan Heidegger itu ternyata masih relevan saat ini, yang di era digital dan medsos zaman kita sekarang ini, ketika banyak orang tanpa sadar menganggap realitas virtual seakan lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri.
Diantara dampak atau konsekuensi utama dari pandangan teknologis ini, demikian bila kita kembali merujuk pada pandangan Heidegger, adalah alienasi (keterasingan) manusia mutakhir itu sendiri, di mana kemudian mereka cenderung melupakan hubungannya dengan alam dan makna yang lebih dalam tentang kehadiran mereka di kehidupan nyata keseharian. Akibatnya, manusia kehilangan makna dalam kehidupan keseharian mereka, sebab teknologi ternyata tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan eksistensial yang sangat mendasar, semisal keintiman kita pada kesunyian dan keindahan alam atau lingkungan yang masih lestari dan memberikan ketenangan dan kenyamanan batin.
Lalu kita kembali ke masalah brain rot. Jangan-jangan kemajuan teknologi informasi pun sesungguhnya, disadari atau pun tidak, sesungguhnya telah menciptakan atau melahirkan keterasingan manusia. Sebab, fenomena brain rot juga ternyata memberikan dampak yang akut bagi kesehatan mental banyak orang, khususnya bagi anak-anak dan remaja, atau katakanlah generasi Z alias Gen Z. Telah banyak pula hasil penelitian yang menunjukkan secara mencengangkan bahwa budaya konsumsi konten digital secara berlebihan berimplikasi terhadap kesehatan mental. Terutama memang konten-konten yang dangkal yang lebih cenderung mengumbar hiburan banal ketimbang mencerahkan dan menantang bagi lahirnya kesadaran baru.
Contohnya sebuah studi tahun 2023 lalu di BMC Public Health yang mengaitkan screen time yang lebih lama pada remaja dengan berbagai masalah kesehatan mental, diantaranya adalah depresi, gejala attention-deficit atau menurunnya daya tahan atensi, hingga gangguan perilaku. Studi dan penelitian lainnya, yaitu studi yang diterbitkan Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking yang mengungkapkan keterkaitan antara keterlibatan dalam platform media sosial, seperti TikTok dan Instagram pada peningkatan gejala depresi serta gangguan mental lainnya semisal kecemasan.
Tak hanya itu, salah satu pusat perawatan kesehatan mental di Amerika Serikat, yaitu Newport Institute, bahkan telah mengeluarkan panduan untuk mengenali dan menghindari brain rot. Sebuah langkah maju antisipati yang keren. Dalam situsnya, Newport Institute menyebut brain rot atau pembusukan otak sebagai kelesuan kondisi mental yang mengurangi rentang perhatian atau penurunan atau merosotnya kapasitas daya atensi serta penurunan fungsi kognitif akibat penggunaan gawai secara berlebihan atau terlalu lama, yang mengarah pada kecanduan.
Brain rot atau pembusukan otak itu bisa muncul dalam sejumlah perilaku, seperti bermain game video secara kompulsif, meskipun tidak kecanduan, dan berselancar di dunia maya tanpa tujuan atau zombie scrolling. Bila terbukti penggunaan gawai secara berlebihan atau kecanduan media sosial berdampak pada pembusukan otak atau brain rot, maka saran Henry David Thoreau itu sangat relevan, begitu pula inisiasi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk membatasi usia para pengguna gawai, barangkali perlu didukung dan diterapkan. Barangkali!
Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan