Bogor, LIPUTAN 9 NEWS
Bagi pihak yg aktif mengikuti perdebatan nasab dari awal hingga hari ini, dipastikan akan menemukan jalan keluar dari pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada merasa paling benar sendiri, tanpa menelaah seberapa urgenkah pembahasan nasab ini menjadi sebuah diskursus ilmu pengetahuan.
Urgensi bagi pencari kebenaran harus didasari dugaan-dugaan terlebih dahulu (dzoni), tidak kekeh mempertahankan argumentasi dalam berpendapat dengan cara menghujat dan mencaci maki hingga menghina berlebihan kepada lawan debat, dalam proses menelusuri nasab yang belum tuntas karena belum ada bantahan, yang dikeluarkan oleh perwakilan resmi Robithoh Alawiyah sebagai pembanding tesis kyai Imaduddin yang telah mengerahkan tenaga maksimal untuk menggali sumber-sumber kitab dari para ulama, baik dari kitab-kitab sejarah, kitab-kitab nasab hingga tawaran tes DNA, tidak boleh ada upaya mengkebiri karya tulis dan memutuskan pendapat seseorang biarkan diskursus ilmu nasab ini terus berjalan.
Ibarat makanan di meja makan yang telah dihidangkan oleh pelayan restoran dengan beragam jenis makanan, belum dikatakan telah selesai makan bila belum habis apa yang dihidangkan untuk disantap. Kadang proses memakannya pun membutuhkan waktu lama, bisa saja ada kawan yang belum datang, atau pesanan yang belum tersaji semua hal itu butuh proses.
Kemungkinan besar menunggu hidangan utk disantap terlebih dahulu dengan ngobrol-ngobrol santai terlebih, atau juga ada yang kebelet ingin buang hajat kan harus menunggu sampai semua siap untuk makan.
Jangan sampai makanan yang sudah tersedia, cuma gara-gara dari obrolan ringan terjadi ribut-ribut akhirnya gagal menikmati makan enak di restoran.
Pembahasan nasab yang saat ini sedang berlangsung, jika ditarik kesimpulan dari analogi di atas, kita perlu sama-sama menjaga kajian nasab terlepas benar atau tidaknya pendapat seseorang harus menjadi hidangan nikmat dan lezat agar bisa dinikmati bersama, tentunya masing-masing pihak baik yang pro maupun yang kontra menunggu hasil akhir perdebatan dengan bercengkrama, rasanya semua pihak akan bisa merasakan nikmatnya sebuah ilmu tentang kajian nasab ini dan tentu akan menjadi ilmu tersendiri yang selama ini tidak pernah kita semua tahu dan openi.
Hujatan, cacian, hinaan yang awalnya dilakukan oleh Habib-habib muda telah memancing keresahan para pendukung tesis kyai Imadudin yang sedang berkonsentrasi ingin ikut menelaah dan meneliti kebenaran klan baalwi.
Dengan adanya serangan caci maki dan merendahkan ulama pribumi, terjadilah saling bersahutan dan saling serang dari masing-masing kubu.
Jika dibiarkan, ada kekhawatiran bisa menghilangkan objektifitas dalam mencari kebenaran, karena telah tertutup oleh taasubiyah terhadap pendapat masing-masing.
Bagi muslim Indonesia saya yakin sepakat, bahwa pewaris nabi adalah ulama dan orang yang takut kepada Allah hanyalah Ulama, sebagaimana Alquran mengatakan itu :
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور(سورة الفاطر: ٢٨)
“Hanya saja yang takut kepada Allah dari hamba-hambanya adalah Ulama, sungguh Allah itu maha gagah lagi maha pengampun”
: (العلماءُ) فهم أهل الخشية والخوف من الله .
Ulama adalah kelompok orang yang punya rasa takut dan kekhawatiran terhadap Allah.
Dalam tafsir albaidlowi juz 4/418 ، dan dalam kitab Fathul qofir hal.4/494
أن العلماء هم أهل الخشية ، وأن من لم يخف من ربه فليس بعالم .
“Sesungguhnya para ulama itu adalah mereka kelompok orang yang punya rasa takut, bahwa orang orang yang tidak merasa takut terhadap Tuhannya tidak bisa dikatakan orang berilmu”.
Dikatakan oleh Imam Abu Laits Assamarqondi, bahwa orang yang berakal adalah :
ينبغي للعاقل أن يكون عارفا بزمانه، حافظا للسانه، مقبلا على شأنه.
“Seyogyanya orang yang berakal, hendaknya bisa menjadi pribadi yang mengenal zaman, menjaga lisan dan bertindak sesuai keadaan.”
Untuk mencari titik temu dalam menyikapi polemik nasab ini agar hati dan pikiran kita bisa berimbang, yaitu meletakan permasalahan secara proporsional artinya membahas akhlak dan nasab ditempatkan pada porsinya, yaitu Allah menilai seseorang bukan karena rupa, tidak melihat pada tubuh atau jasad, juga tidak melihat pada wajah kalian, tetapi Dia melihat pada hati kalian dan amal kalian”, jelas Allah menilai seseorang bukan karena Nasab atau garis keturunan.
Meletakan porsi secara proporsional harus kembali terhadap anjuran Nabi SAW :
عن أبي هُريْرة عَبْدِ الرَّحْمن بْنِ صخْرٍ رضي الله عَنْهُ قَالَ: قالَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: “إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وأعمالكم “رواه مسلم.
“Dari Sahabat Abi Huroiroh rodhiallohu ‘anhu, yakni Abdurrohman bin Shokr mengatakan: Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda;
“Sejatinya Alloh (laa yandhuru ila ajsamikum) tidak melihat pada tubuh atau jasad kalian, juga tidak melihat pada wajah kalian, tetapi Dia melihat pada hati kalian dan amal kalian” (HR Muslim).
Dengan kembali menelisik ayat dan hadits di atas, biar keberkahan tidak runtuh dan kemanfaatan ilmu tidak tercerabut maka tidak boleh taklid buta dan tetap harus berada dalam rel kebenaran yang sudah diperintahkan Allah SWT, yaitu ILMU dan KETAQWAAN bukan karena ada garis Nasab.
Menurut hemat saya, marilah kita terus ikuti dan dukung perkembangan ilmu nasab ini, bukan pembenaran berdasarkan pendapat masing-masing dengan pembelaan membabi buta seperti Film Saolin dengan Jurus Dewa Maboknya.
Kalau benar apa yang dilakukan oleh para pendukung balawi menggunakan jurus Dewa Mabok tapi bisa mematahkan jurus ilmu dari pendukung Kyai Imadudin, berarti jurus dewa mabok yang dimainkan oleh para Muhibbin habaib sudah sangat terlatih dan sudah ada persiapan. Biasanya pelatih tidak perlu turun ke gelanggang pertandingan, cukuplah murid-murid yang sudah terlatih untuk menghadapi.
Kiai Ahmad Suhadi, S.Pd.I, Ketua Ikatan Mubaligh-mubalighoh Nusantara (IMMAN) DPD Kabupaten Bogor dan Katib JATMAN Kabupaten Bogor.