JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Beberapa hari terakhir, saya melihat flayer digital JATMA Aswaja berseliweran di grup WhatsApp. Tampak biasa saja: ada acara, ada foto tokoh, ada informasi waktu dan tempat. Tapi satu hal langsung mencuri perhatian saya: posisi dan ukuran foto tokoh-tokoh yang ditampilkan.
Foto Presiden Prabowo Subianto terpampang besar. Tapi yang menarik, Habib Luthfi bin Yahya juga tampil sama besar, bahkan lebih sentral secara visual. Lalu di bawah mereka ada Sekjen JATMA Aswaja, Menteri Agama RI dan 2 tokoh lainnya. Di situlah saya mulai berpikir: ini bukan flayer biasa. Ini adalah komunikasi visual yang sedang menyampaikan sesuatu.
Bukan Sekadar Flayer
Dalam dunia komunikasi, gambar itu bicara. Siapa yang ditaruh paling atas, siapa paling besar, siapa disandingkan—semuanya mengandung makna. Dan pesan itu tidak harus diucapkan; ia cukup ditunjukkan lewat posisi, proporsi, dan arah pandangan.
Kalau kita pinjam kacamata teori semiotika ala Roland Barthes, flayer ini adalah “teks visual” yang menyampaikan makna di balik tampilan. Dalam semiotika, setiap elemen gambar adalah tanda—dan setiap tanda membawa pesan ideologis. Maka ketika Habib Luthfi disandingkan sejajar dan sebesar Presiden, itu adalah simbol kesetaraan otoritas, bukan sekadar bentuk penghormatan.
Barthes menyebut ini sebagai makna konotatif—yakni makna yang tidak terlihat langsung, tapi hidup dalam benak audiens. Artinya, walau tidak dikatakan secara eksplisit, penempatan itu bisa terbaca sebagai pesan: Habib Luthfi bukan hanya tokoh agama, tapi figur yang pantas disetarakan dengan pemimpin negara.
Foto Menag “Di Bawah” ?
Yang juga perlu digarisbawahi adalah posisi Menteri Agama. Beliau adalah pejabat resmi negara, tapi dalam flayer itu justru ditaruh di baris bawah. Ini bukan soal personal, tapi soal etika komunikasi visual dalam konteks kenegaraan.
Dalam Permendagri No. 6 Tahun 2022, dijelaskan bahwa foto Presiden dan Wakil Presiden harus dipasang secara tepat, tidak disejajarkan sembarangan dengan tokoh non-pemerintah. Prinsip serupa semestinya berlaku pada pejabat tinggi lainnya, seperti Menteri.
Karena itu, meskipun ini “cuma flayer acara”, kalau sudah mencantumkan Presiden dan Menteri, harus ada sensitivitas simbolik. Di era digital seperti sekarang, satu gambar bisa menyebar ke ribuan layar, ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang—dan bukan tidak mungkin menimbulkan spekulasi politik atau tafsir publik yang liar.
Politik Simbol
Kalau kita lihat lebih jeli, flayer ini sedang bicara lebih banyak dari yang tampak. Ia menyampaikan pesan bahwa Habib Luthfi bukan hanya tokoh sentral secara spiritual, tapi juga menjadi simbol moral yang “layak disandingkan” secara visual dan simbolik dengan kekuasaan negara.
Walau tak dipungkiri, di mata para pengikutnya, Habib Luthfi adalah sosok yang disentralkan dan dihormati. Tapi ketika ia secara visual disejajarkan dengan Presiden, dan Menag malah di bawah, ini menciptakan semacam “hirarki simbolik baru” yang membingungkan. Ada semacam pembalikan peran: tokoh spiritual di atas tokoh administratif negara?
Mari kita tengok, dalam perspektif komunikasi simbolik, seperti dikemukakan oleh Clifford Geertz, simbol bukan cuma ornamen. Ia adalah alat untuk membentuk realitas sosial. Dan ketika simbol-simbol ini ditata dengan cara tertentu, ia bisa mengatur cara publik memandang otoritas.
Jadi wajar jika muncul tafsir: apakah ini bentuk pengakuan spiritual terhadap legitimasi politik? Ataukah ini cara JATMA Aswaja menunjukkan bahwa kekuatan moral bisa (atau harus) sejajar dengan kekuasaan negara?
Bagi sebagian orang, ini cuma flayer. Tapi bagi saya, ini adalah panggung komunikasi—dan flayernya sedang memainkan simbol-simbol penting yang punya daya pengaruh. Ia bukan cuma undangan acara. Ia juga sedang menyusun ulang “peta kuasa” di benak publik.
Maka, lain kali bikin flayer, perhatikan baik-baik siapa yang kita taruh di atas, siapa di bawah, siapa paling besar, siapa paling kecil. Karena dalam komunimasi politik simbolik, gambar bisa lebih ribut dari teks.
Yusuf Mars, Magister Ilmu Komunikasi Politik, Mahasiswa Program Doktoral (S3) & Founder @PadasukaTV























