BANTEN | LIPUTAN9NEWS
Tulisan ini merupakan resensi bagian pertama dari sebuah buku terjemahan Mukaddimah-nya Ibn Khaldun oleh Masturi Irham, Malik Supar dan Abidun Zuhri yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar tahun 2001 (cetakan ketiga), sebuah magnum opus ilmuwan abad pertengahan yang kemudian menginspirasi para sejarahwan dunia dan disiplin (kajian dan penelitian) sejarah dari ragam mazhab atau aliran, semisal Mazhab Annales Perancis. Karya itu membuat penulisnya, Ibn Khaldun, masyhur dan didapuk sebagai pelopor dalam ranah (disiplin) sosiologi dan sejarah (juga filsafat sejarah).
“Dilihat dari segi lahiriah, sejarah tidak lebih dari berita tentang peristiwa-peristiwa di masa lalu”, demikian dinyatakan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, “Selain itu, sejarah membuat kita memahami bagaimana kondisi-kondisi manusia mengalami perubahan…” (h. 9). Sebagai seorang ilmuwan, Ibn Khaldun sesungguhnya terinspirasi Quran ketika memperlajari dan memahami sejarah sebagai sebuah ‘pelajaran’, bukan semata catatan kejadian atau peristiwa belaka: “Secara hakikat, sejarah mengandung pemikiran, penelitian, dan alasan-alasan detil tentang perwujudan masyarakat dan dasar-dasarnya, sekaligus ilmu yang mendalam tentang karakter berbagai peristiwa” (Ibid)
Dengan apa yang dinyatakan di paragraf-paragraf awal Mukaddimah-nya itu, Ibn Khaldun hendak menegaskan bahwa sejarah memang merupakan catatan-catatan tentang masyarakat manusia dan peradabannya, namun demikian ia juga merupakan studi tentang perubahan yang terjadi pada watak dan sifat masyarakat dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman berikutnya. Dalam hal demikian, Ibn Khaldun memandang sejarah tak semata kronik peristiwa belaka, melainkan ilmu (sains) yang menganalisis faktor penyebabnya dan menguji kebenarannya secara kritis, dengan menghubungkan peristiwa-peristiwa tersebut melalui kausalitas yang logis dan rasional.
Dengan Mukaddimah-nya itu, Ibn Khaldun sesungguhnya hendak membersihkan sejarah dari distorsi, dan menjadikan sejarah sebagai kerja ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara objektif dan ilmiah. Tentang kelemahan kerja penulisan sejarah oleh orang-orang sebelumnya, Ibn Khaldun melancarkan kritik dan koreksi: “Upaya penelitian sedikit dilakukan. Kesempurnaan pun cacat. Berita yang sampai sering keliru. Taklid sudah berurat-berakar pada kebanyakan manusia” (h. 10). Ibn Khaldun memang mendapatkan inspirasi penulisan dari para pendahulunya, meskipun ia juga menemukan sejumlah kelemahan-kelemahan mereka yang perlu diperbaiki dan disempurnakan:
“Seorang kritikus (sejarah) yang benar-benar ahli memiliki kemampuan untuk menyingkap kepalsuan berita-berita mereka atau memberikan penilaian bahwa mereka orang yang layak diterima. Peradaban itu memiliki karakter-karakter tersendiri yang dapat dijadikan tolok-ukur sejarah sekaligus menjadikan rujukan riwayat dan atsar. Kebanyakan metodologi sejarah yang ditulis masih bersifat umum…” (Ibid). “Mereka hanya menempuh cara-cara taklid, miskin karakter dan akalnya, selain berpikiran jumud…hanya mengikuti pola-pola penulisan sejarah yang sudah ada dan lalai terhadap perubahan-perubahan masa dan tradisi-tradisinya dari generasi ke generasi, dari bangsa ke bangsa lain…(h. 11).
Ibn Khaldun pun menganjurkan metode dan pendekatan multidisipliner dalam penelitian dan penulisan sejarah: “Ilmu sejarah membutuhkan banyak rujukan, bermacam-macam pengetahuan, dan penalaran sekaligus ketelitian yang mengantarkan kepada kebenaran serta menyelamatkan dari kesalahan-kesalahan. Hal itu karena sejarah, jika hanya didasarkan pada penukilan tanpa menilik kepada prinsip-prinsip adat, kaidah-kaidah politik, tabiat peradaban, kondisi-kondisi sosial masyarakat, serta yang ghaib, lalu tidak dianalogikan kepada yang dapat disaksikan; masa kini hadir tidak dianalogikan dengan masa lalu, maka sejarah seperti itu tidak aman dari kekeliruan…(h. 17)
Dengan pandangan-pandangan yang ia tuliskan di Mukaddimah itu, Ibn Khaldun mempelopori teori sejarah sosial (social history), yang melihat sejarah dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan, termasuk perubahan karakter, hubungan sosial, aktivitas pekerjaan manusia dan masyarakat, dan tren zaman. Ibn Khaldun menganjurkan (menekankan keharusan seorang sejarahwan atau penulis sejarah) untuk menggunakan metode ilmiah dalam mempelajari sejarah, yaitu dengan menganalisis fakta sejarah dalam konteks sosial, ekonomi, dan politiknya secara objektif dan komprehensif. Pandangan dan pemikirannya tentang bagaimana sejarah harus dipahami sebagai studi tentang masyarakat dan peradaban itulah yang membuatnya dianggap dan didapuk sebagai salah satu pendiri ilmu sosial modern, dan ide-idenya memengaruhi disiplin ilmu seperti sosiologi, politik, dan ekonomi modern.
Ibn Khaldun mengkritik para penulis sejarah yang kehilangan rasionalitas mereka dan cenderung abai pada verifikasi. Contoh penulis sejarah yang dikritik Ibn Khaldun adalah Al-Mas’udi:
“Contoh tentang hal ini adalah apa yang telah dinukil Al-Mas’udi dan para penulis sejarah lainnya tentang pasukan Bani Israel. Al-Mas’udi menyebutkan bahwa nabi Musa as menghitung jumlah mereka di Tih setelah memperbolehkan orang yang mampu berperang harus yang sudah berumur dua puluh tahun atau lebih. Total jumlah mereka mencapai 600 ribu atau lebih. Di sini Al-Mas’udi lupa tentang kapasitas Mesir dan Syam untuk mendatangkan pasukan sebanyak itu…Selain itu pasukan berjumlah besar seperti itu sulit kemungkinannya untuk dapat melancarkan serangan…Raja Persia dan kekuasaannya lebih besar daripada Raja Bani Israel dan kekuasaannya. Buktinya, kemenangan dan penguasaaan Bakhtanashar terhadap mereka…Padahal Bakhtanashar hanyalah salah satu dari para gubernur Kerajaan Persia…Walaupun demikian, pasukan Persia tidak mencapai jumlah pasukan Bani Israel sebagaimana yang disebutkan Al-Mas’udi (h. 18).
Tidak diragukan lagi, Ibn Khaldun merupakan ilmuwan dan akademisi yang mempelopori sejarah kritis dan mengenalkan metode dan pendekatan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam kajian (penelitian) dan penulisan sejarah. Singkatnya, Ibn Khaldun mempelopori metode sejarah, yaitu bagaimana menguji dan mengalisis secara kritis sumber sejarah. Tapi apa itu sumber sejarah? Jawabannya ada banyak ragam sumber sejarah, misalnya: laporan tertulis, dokumen, dan manuskrip. Melalui Mukaddimah, yang merupakan pendahuluan kitab Al-Ibar itu, Ibn Khaldun menggugah dan mencerahkan kita bahwa sejarah tak semata soal siapa, di mana, apa dan kapan, namun juga soal mengapa dan bagaimana. Dalam Mukaddimah-nya itu, Ibn Khaldun menawarkan bahwa ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan bisa membantu untuk meng-interpretasi sejarah.
Karena kontribusi pandangannya tentang sejarah dan penulisan sejarah itu, Ibn Khaldun pun dilabeli sebagai filsuf sejarah, yang warisan pandangannya bahkan menyadarkan dan membangunkan kesadaran ilmiah Eropa. Dalam Mukaddimah-nya itu, Ibn Khaldun membahas (mengurai) gejala-gejala sosial dan sejarahnya. Sebagai ilmuwan dan filsuf yang lahir dalam kondisi dan situasi zamannya, sudah tentu ada kekeliruan atau kekurangan dalam pandangan-pandangannya, yang bahkan diakui sendiri secara rendah hati oleh Ibn Khaldun, hingga menyarankan para pembacanya untuk bebas mengoreksi atau menambah kerja kepenulisan dan pemikiran yang telah ia lakukan:
“Aku mencatat permulaan generasi-generasi dan kerajaan-kerajaan, bangsa-bangsa awal yang berada pada satu masa, sebab-sebab tindakan dan perubahan dalam masa-masa lalu dan agama-agama, dan apa yang menjadi prasyarat peradaban berupa kerajaan, agama, kota, cara berpakaian, kebanggaan, kehinaan, jumlah yang banyak dan jumlah yang sedikit, ilmu dan keahlian, kondisi yang berubah-ubah secara umum, perkotaan, perdesaan, peristiwa yang sudah terjadi dan yang sedang dinanti kejadiannya…Aku telah menulis semua itu, menjelaskan bukti-bukti dan alasan-alasannya…Namun demikian, aku yakin bahwa kitab ini ada kekurangannya…Karenanya aku sangat mengharapkan pihak-pihak yang memiliki pengalaman dan pengetahuan luas untuk menelaahnya secara kritis (h. 14)”. Mengafirmasi keinsyafan dan kerendah-hatian ilmuwan dan filsuf sejarah bernama Ibn Khaldun itu, kiranya tepat menyertakan pendapat Al-Jabiri tentangnya, sebagaimana dikutip Abdul Aziz dalam tulisannya di https://bincangsyariah.com/khazanah/ibnu-khaldun-dan-filsafat-sejarah/:
“Ibnu Khaldun dalam menulis al-Muqaddimah tidak pernah bertujuan untuk menafsirkan sejarah secara keseluruhan. Ibnu Khaldun tidak pernah menjelaskan persoalan nasib manusia secara umum di setiap ruang dan waktu. Ibnu Khaldun hanya menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi dan menentukan jalannya sejarah dalam fase tertentu, yakni sejarah Islam secara umum dan sejarah Arab-Islam bagian barat (al-maghrib) secara khusus…Fondasi nalar yang mendorong Ibnu Khaldun untuk menulis Al-Muqaddimah bukanlah karena pertimbangan filsafat namun lebih karena aspek politik dan sosial…”
Pendapat Al-Jabiri itu sudah tentu haruslah kita pandang sebagai sebuah ruang terbuka bagi kita untuk mengembangkan kerja dan sikap ilmiah dalam kajian (penelitian) dan penulisan sejarah, bukan dalam rangka mengecilkan sumbangan besar Ibn Khaldun dalam kajian (penelitian) dan penulisan sejarah, khususnya sejarah sosial. Begitu pun, tidak sedikit pakar dan ilmuwan lainnya, baik di Timur atau pun Barat, yang mendapuknya sebagai sosiolog, selain sebagai filsuf sejarah. Yah karena Mukaddimah-nya, yang merupakan pendahuluan kitab Al-Ibar-nya itu menarasikan atau mendeskripsikan gejala-gejala sosial dan analisis-analisis sosiologis. Yang pasti, Ibn Khaldun telah mempelopori sejarah kritis dan sejarah sosial sebagai penolakan dan kritiknya terhadap penulisan-penulisan sejarah sebelum atau bahkan semasanya yang menurutnya tak lebih tulisan-tulisan dan kutipan-kutipan distortif yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah.
Sulaiman Djaya, Peminat Kajian Kebudayaan
























