LIPUTAN9.ID – Seorang sufi besar dari Mesir bernama Abu Hafash Syarfuddin Umar bin Ali atau dikenal dengan nama Ibnu al-Faridh. Ia lahir di Kairo, Mesir, pada tanggal 22 Maret 1181. Ia juga banyak mengarang syair tentang kerinduan ilahiah, sehingga salah satu gelarnya adalah “Sultanul Asyiqin” (Raja Para Pecinta). Ibn al-Farid meninggal di Kairo pada tahun 632 H./1234 M.
Sebelum banyak menulis puisi tentang cinta-cinta ilahiah, Ibnu Al-Faridh lebih dahulu menghabiskan hidupnya dengan uzlah. Ia menjauhi manusia dan hidup di bukit-bukit selama 15 tahun. Salah satu syair Ibnu Arabi tentang cinta ilahiah sebagai berikut:
”… aku khalwat bersama Sang Kekasih, dan di antara kita ada rahasia yang lebih lembut dari semilir angin. Dia membolehkanku untuk melihat, lalu kurenungkan, maka jadilah aku orang yang diterima sekaligus ditolak. Aku tergoncang di antara keindahan dan keagungan-Nya. Hanya perbuatanku yang mampu menjelaskannya..” (Ali Abdul Fattah, Diwan Ibnu Al-Faridh: Sultanul ‘Asyiqin, Wikalah al-Shahafah al-Arabiah Mesir, 2013: 9).
Syair-syair Ibnu al-Faridh ini dikarang setelah ia pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji atas perintah guru tasawufnya, Syeikh al-Baqqal. Setibanya di Makkah, Ibnu al-Faridh bertemu dengan Syihabuddin as-Suhrawardi pengarang kitab ”Awariful Ma’arif” pada umumnya yang kontroversial. Penting dicatat, pengembangan konsep wahdatul wujud dan Islam Cinta ini menjadi matang di abad-abad 11 sampai 13 Masehi di mana Perang Salib antara Muslim dan Kristen memuncak.
Tampaknya, kaum Sufi, termasuk Ibnu al-Faridh, menjadi juru bicara perdamaian. Islam ditampilkan sebagai ajaran teologis yang mendorong perdamaian, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan keragaman manusia, baik keyakinan, suku, bahasa, budaya, dan lainnya. Para Sufi ini ingin menyatukan umat manusia atas nama Cinta, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Al-Faridh.
Ibnu al-Faridh terus tinggal di Hijaz sampai pada tahun 628 H., ketika Syeikh al-Baqqal meminta al-Farid untuk kembali ke Mesir. Setibanya di Mesir, Ibnu al-Faridh mengumpulkan syair-syair yang pernah ditulisnya selama di Hijaz. Salah satu karya terbesarnya berjudul “al-Qasidah at-Taiyyah al-Kubro,” dengan 761 bait (Mawsu’ah al-Syuruq, Dar al-Syuruq li an-Nasyr wa al-Tawzi’, Kairo, 1994: 18-19).
Ibnu al-Faridh sendiri tumbuh di lingkungan keluarga yang taat menjalankan agama. Ayahnya yang bernama “al-Faridh” itu adalah orang yang bertugas membagi harta gono gini dan warisan kepada para ahli waris di hadapan hakim. Pekerjaannya sebagai pembagi harta waris itulah menyebabkannya disebut “al-Faridh”.
Al-Faridh, sang ayah, adalah salah satu intelektual besar di zamannya. Ketika melihat anaknya kembali dari Hijaz ke Mesir, wajahnya terlihat sangat bahagia (Muhammad Musthafa Hilmi, Ibnu al-Faridh wa al-Hubb al-Ilahi, Wikalah al-Shahafah al-Arabiah Mesir, 2020: 37).
Sang Ayah ini berasal dari Hamawi, Syam, dan hijrah ke Mesir pada tahun 565 Hijriah ketika Syam dilanda gempa bumi (Musthafa Hilmi, 2020: 38). Dengan begitu, Ibnu al-Farid sebenarnya berdarah Syam. Namun, yang penting diketahui, rentang waktu antara akhir abad 6 dan awal abad 7 hijriah, dimana penguasa Syam dan Mesir adalah dari Dinasti Ayyubiah menggantikan kepemimpinan Fatimiah. Mazhab Sunni menggantikan mazhab Syiah.
Artinya, Ibnu Al-Faridh lahir ketika Perang Salib antara umat muslim dan Kristen sedang memuncak. Sebagai para Sufi besar lainnya, yang juga hidup di era Perang Salib ini, mereka banyak yang mengembangkan Islam Damai, Pluralisme, dan Wahdatul Wujud (Unitiy of Being), termasuk Cinta Ilahiah Ibnu Al-Faridh.
Sebagaimana para Sufi lainnya yang dicela karena mengembangkan teologi Wahdatul Wujud, Ibnu al-Faridh juga mengalami cacian dengan alasan yang sama. Misalnya, Misalnya, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani bertanya kepada gurunya, Imam Sirajuddin al-Bulqini, tentang Ibnu Arabi. Al-Bulqini menjawab: “Dia kafir.”
Lalu Ibnu Hajar bertanya tentang Ibnu al-Faridh, al-Bulqini menjawab: “aku tidak ingin membicarakannya. Tapi ketika ia membacakan puisinya sendiri, ia bilang: ini kufur,” (Ahmad bin Ahmad Zarruq, Iddatul Murid as-Shadiq, Dar Ibnu Hazm, 2006: 247). Di sini, Ibnu al-Faridh ditempatkan hampir sejajar dengan kekufuran Ibnu Arabi.
Sebagai seorang Sufi yang baru kembali dari Hijaz Makkah, Ibnu Al-Faridh langsung mengajar di Al-Azhar. Banyak orang yang tertarik dengan ajarannya, bahkan Al-Malik al-Kamil datang sendiri untuk berkunjung ke Ibnu al-Faridh. Ia hidup sezaman dengan para penyair lainnya seperti: Ibnu Sina al-Mulk, Ibnu Qalaqis, Ibnu an-Nabih, Ibnu Syamsul Khilafah.
Ulama lain yang juga sezaman adalah Bahauddin Zuhair, Ibnu Sinan al-Khafaji, Ibnu al-Sa’ati, Shadruddin al-Bashri, Hisamuddin al-Hajiri, dan al-Thaghra’I (Ahmad Farid al-Mazidi, Syarh Taiyatu Ibni al-Faridh al-Kubro Daud bin Mahmuh bin Muahmmad al-Qaishari, Dar Kutub Ilmiah Beirut, 2004: 3).
Ketertarikan Ibnu al-Faridh untuk mendalami Sufisme ini jauh sesudah ia mendalami ilmu fikih mazhab Syafi’iah dan ilmu hadits dari Ibnu Asakir. Baru setelah ilmu fikih dan hadits dikuasainya, ia tertarik untuk menjalani suluk Sufisme. Ia mulai berperilaku zuhud, suka menyendiri, dan banyak i’tikaf di masjid-masjid yang tidak disukai orang-orang di Kairo, Mesir. Artinya, Sufisme tidak lepas dari fondasi syariat.
Artikel ini tayang juga di Disway.id dengan judul Ibnu al-Faridh, Penyair Sufi dari Mesir, pada hari Jum’at, 23 Semptember 2022.
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.