Banten | LIPUTAN9NEWS
Salah satu calon Pahlawan Nasional yang diusulkan pada tahun 2025 ini adalah Idrus bin Salim Al-Jufri. Ia telah diusulkan sebagai pahlawan nasional sejak tahun 2006 lalu namun tidak memenuhi sarat. Dalam pengusulan pertama itu Abah Nongtji ditunjuk sebagai Ketua Tim Pengusulan Guru Tua Pahlawan Nasional.
Pada tahun 2022 Idrus bin Salim diusulkan kembali sebagai Pahlawan Nasional, pada sidang pembahasan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar (TP2GP) Idrus bin Salim diputuskan ditunda untuk dibahas, kemungkinan besar karena alasan yang sama yaitu karena tidak memenuhi sarat. Kemudian pada 23 Maret 2023 kembali diusulkan Kepada Direktorat Pemberdayaan Sosial di Kementerian Sosial di Gedung Kementerian Sosial Jalan Salemba, Jakarta. Tahun 2023 itu pun Idrus bin Salim tidak berhasil ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Pertanyaannya: kenapa usulan Idrus bin Salim Al-Jufri ditolak?
Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan pasal 1 ayat 4 disebutkan: “Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia dalam membela bangsa dan Negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau yang menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan bagi kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia”.
Dari definisi Pahlawan Nasional menurut Undang-Undang ini, kita dapat memahami bahwa seorang yang diusulkan sebagai pahlawan nasional ia harus Warga Negara Indonesia (WNI), apakah Idrus bin Salim adalah WNI? Ia lahir di Hadramaut pada 15 Maret 1892 kemudian pindah ke wilayah yang sekarang menjadi Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka ia tidak mengurus kewarganegaraan sebagai WNI sampai ia meninggal pada 22 Desember 1969. Kemudian baru beberapa bulan yang lalu status kewarganegaraannya diurus dan kemudian mendapat status itu pada tahun 2024. Pertanyaannya apakah sah memberikan status kewarganegaraan kepada orang yang sudah meninggal dunia? Hal tersebut berpotensi melanggar hukum yang berlaku di Republik Indonesia.
Jika seseorang bukan warga Negara Indonesia, ia masih bisa menjadi Pahlawan Nasional dengan syarat ia harus gugur dalam berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia. Sedangkan Idrus bin Salim Al-Jufri, ia tidak gugur dalam berjuang melawan penjajahan.
Bagi yang tidak hidup di masa penjajahan seperti ia tumbuh balig di masa kemerdekaan maka ia bisa menjadi Pahlawan Nasional dengan syarat ia melakukan tindakan kepahlawanan, seperti terbukti menyelamatkan banyak nyawa bangsa Indonesia walaupun dengan itu ia gugur. Apakah Idrus bin Salim pernah melakukan hal semacam itu pada saat hidupnya? Tidak ada data apapun.
Dalam pasal 1 di atas pula disebutkan, Ia menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan bagi kemajuan bangsa dan Negara Republik Indonesia seperti menemukan mesin uap, listrik, dsb. Apakah Salim bin Idrus Al-Jufri mempunyai prestasi atau karya yang luar biasa? Tidak ada data apapun. Jika dikatakan bahwa ia mempunyai karya dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Al-Khaerat, itu bukan prestasi yang luar biasa, karena ribuan ulama lain pun sanggup mendirikan yayasan pendidikan seperti itu.
Adapun yang pernah diungkapkan oleh Hidayat Nurwahid bahwa Idrus bin Salim Al-Jufri sebagai pengusul bendera merah putih kepada Bung Karno berdasarkan mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW adalah buah bibir yang tidak mempunyai sumber tertulis apapun. Ada dua narasi dari cerita Hidayat Nurwahid itu yang keduanya jauh dari kesahihan: pertama narasi bahwa Idrus bin Salim Al-Jufri mengusulkan bendera merah putih kepada Presiden Sukarno, orang mengusulkan itu tentu harus bertemu, pernahkah ada dokumentasi bahwa Idrus bin Salim pernah bertemu Sukarno? Jika dokumnetasi pertemuan itu ada, apakah ada dokumen tertulis yang mencatat usulannya itu?
Jika ada yang mengatakan sesuatu yang terjadi tidak mesti semuanya dicatat, betul, tetapi jika sesuatu itu adalah sebuah klaim yang besar semacam klaim bahwa bendera merah putih adalah atas usulan Idrus bin Salim Al-Jufri, maka klaim itu harus dapat dibuktikan dengan data tertulis. Adalagi yang mengatakan bahwa Salim Al-Jufri pernah membuat syair untuk Sukarno yang menunjukan bahwa ia mendukung Sukarno.
Pertama, harus dapat dibuktikan bahwa syair itu benar karangan Idrus bin Salim, yang kedua harus diketahui lagu itu ditulis tahun berapa, dibutuhkan dokumen untuk itu yang terbukti sah secara filologi, jika itu ditulis setelah merdeka, itu namanya “melu wis menang” (ikut serta setelah kemenangan bukan ketika masa berjuang). Walaupun itu ditulis sebelum kemerdekaan, itupun tidak lantas seorang penulis lagu di atas meja bisa menjadi pahlawan ketika dalam waktu yang sama para pejuang bertempur di medan perang.
Jadi berdasar UU Nomor 20 tahun 2009 pasal 1 ayat 4 itu Idrus bin Salim tidak memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan menurut UU yang sama pada pasal 26 tentang syarat-syarat khusus disebutkan:
“Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 24 hurup “b” untuk Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya:
- Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa;
- idak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan;
- Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya;
- Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara;
- Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa;
- Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau
- Melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.”
Dari pasal 26 UU Nomor 20 tahun 2009 sangat jelas bahwa sosok seperti Idrus bin Salim tidak memenuhi syarat sebagai Pahlawan Nasional. Dalam point “a” disebutkan seorang pahlawan nasional harus mempunyai dokumen tertulis tentang bahwa ia pernah memimpin perjuangan bersenjata. Bukan hanya ia pernah ikut dalam perjuangan bersenjata, tetapi ia harus tercatat sebagai pemimpin, karena jika semua pejuang harus tercatat maka akan ada ribuan para prajurit yang akan diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan untuk Idrus bin Salim, jangankan ia tercatat sebagai pemimpin perjuangan bersenjata, sebagai anggota saja tidak ada.
Kemudian masih dalam point “a” pasal 26 tersebut disebutkan, bahwa Pahlawan Nasional bisa diangkat dari selain perjuangan bersenjata seperti bidang politik atau bidang lain dalam rangka mencapai, merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dari sana seorang pejuang politik untuk mencapai kemerdekaan semacam Presiden Sukarno berhak menjadi Pahlawan Nasional walaupun belum pernah ditemukan dokumen tertulis bahwa ia pernah memimpin perjuangan bersenjata. Sedangkan Idrus bin Salim yang telah ada di Indonesia sejak tahun 1922, di mana para pejuang waktu itu sedang menyusun strategi mencapai kemerdekaan bangsa, tidak pernah ada bukti dokumen tertulis bahwa ia pernah melakukan perjuangan baik dalam perjuangan senjata, politik atau bidang lain untuk mencapai kemerdekaan bangsa.
Masih dalam point “a” disebutkan tentang “mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa”. Mungkin Idrus bin Salim akan diusahakan laik sebagai Pahlawan Nasional berdasar proposisi ini, bahwa ia berjuang mengisi kemerdekaan. Jika point kelaikan seorang menjadi Pahlawan Nasional hanya karena ia mengisi kemerdekaan maka para Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh Indonesia pun berjuang mengisi kemerdekaan, bahkan para supir angkot pun berjuang untuk kesejahteraan anak istrinya dalam mengisi kemerdekaan. Jika kalimat “serta” dalam frasa “mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa” adalah sarat bersama point sebelumnya, maka ia yang laik menjadi Pahlawan Nasional sebagai pejuang yang mengisi kemerdekaan harus disertai dengan prestasi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk proposisi ini, tokoh semacam Yusuf Kalla yang pernah berperan dalam memediasi perundingan antara pemerintah dan GAM, jika ia telah meninggal dunia, laik mendapat gelar Pahlawan Nasional, atau Gusdur yang telah melakukan berbagai macam kebijakan tentang Irian jaya yang tengah memberontak di antaranya merubah nama Irian Jaya menjadi Papua yang kemudian meredakan pemberontakan laik diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Sedangkan Idrus bin Salim Al-Jufri, tidak ada dokumen apapun yang menyebut ia selama hidupnya pernah melakukan tindakan-tindakan semacam itu.
Kemudian pada point “b” disebutkan “tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan”, point ini sangat sulit untuk disematkan kepada seorang Idrus bin Salim. Jika seorang tokoh telah ditemukan dokumen tertulis sebagai pemimpin perjuangan bersenjata maka itu saja tidak cukup untuk ia memenuhi sarat sebagai Pahlawan Nasional, kecuali tidak ditemukan dokumen ia pernah menyerah pada musuh. Sedangkan Idrus bin Salim ini, tidak ditemukan data selama hidupnya pernah mengangkat senjata melawan penjajahan, oleh Karena itu tidak diperlukan adanya data bahwa ia pernah menyerah kepada musuh atau tidak.
Bahkan, ketika Idrus bin Salim telah tinggal di Indonesia pada tahun 1922 pada umur 26 tahun, kemudian tidak ada satu data pun bahwa ia pernah berjuang melawan penjajahan baik dengan perjuangan bersenjata atau lainnya, maka bisa juga itu difahamai bahwa ia mendukung penjajahan itu, apalagi adanya preseden sebelumnya dari Klan Ba’alwi seperti Utsman bin Yahya yang menjadi antek penjajah. Klan Ba’alwi adalah sebuah rumpun keluarga dari imigran Hadramaut yang terdiri dari marga-marga seperti Bin Yahya, Al-Jufri, Bin Syihab, Alatas, Asegaf dll.
Kemudian pada pasal 26 pont “c” disebutkan seorang Pahlawan Nasional harus “melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya”. Narasi ini sungguh tidak tepat untuk Idrus bin Salim Al-Jufri, karena ada waktu antara tahun 1922 sampai tahun 1949 yang seharusnya ketika itu ia berjuang bersama pejuang lainnya dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan tetapi ia tidak melakukannya, tidak ada satupun dokumen tertulis yang mencatat perannya dalam perjuangan itu. ini menunjukan adanya kekosongan pengabdian dan perjuangan yang dibutuhkan bangsa ketika itu dari hidup Idrus bin Salim.
Dalam point “d” disebtkan “pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan Negara”. Point ini pun nihil untuk seorang Idrus bin Salim Al-Jufri, tidak ada gagasan atau pemikiran besar yang orisinal yang ia lahirkan yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan Negara. Apakah seorang Idrus bin Salim mempunyai buku yang berisi gagasan-gagasannya tentang pembangunan? Tidak ada. Buku yang berisi gagasan-gagasan besar tentang memberantas korupsi misalnya? Tidak ada. lalu berdasar apa ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional?
Kemudian dalam point “e” disebutkan “pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa”, apa karya besar idrus bin Salim yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat? Mendirikan Yayasan Al-Khaerat? Ribuan ulama sanggup mendirikan yayasan semacam itu, jadi itu bukan hal yang luar biasa. Kesejahteraan bukan hanya bicara tentang keamanan dan kesentosaan, tetapi ia bicara tentang kemakmuran, bicara tentang perekonomian yang dapat meningkatkan harkat martabat bangsa. Idrus bin Salim tidak mempunyai karya besar dalam bidang tersebut.
Dalam point “f” dan “g” disebutkan Pahlawan Nasional harus “memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.” Frasa “konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan” sulit disematkan untuk Idrus bin Salim karena tidak ada data tertulis dari tahun 1922 sampai 1949 tentang semangat kebangsaannya dalam mencapai kemerdekaan dan mempertahankannya. Perannya dalam membesarkan Yayasan sehingga bisa berada dalam beberapa wilayah provinsi tidak bisa dianggap sebagai perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional, karena ide dasar dari mendirikan Yayasan itu bersifat local, berbeda tentang ide kemerdekaan bangsa Indonesia, walaupun ide itu dilaksanakan dan digerakan dari suatu daerah terpencil tetapi ide dasarnya mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional. Jika seorang yang mampu mendirikan yayasan yang mempunyai banyak cabang bisa ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, maka ke depan, akan banyak pimpinan yayasan yang berhasil mengembangkan yayasan sehingga mempunyai cabang diberbagai daerah yang akan diangkat menjadi Pahlawan Nasional.
Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai Pahlawan Nasional. Gelar Pahlawan Nasional adalah gelar tertinggi yang diberika Presiden, jangan sampai ia diberikan tidak sesuai aturan yang berlaku. Tidak boleh Gelar Pahlawan Nasional diberikan hanya karena kuota provinsi, atau kuota Ormas, apalagi hanya karena semangat merangkul, ia harus diberikan berdasarkan perannya yang luar biasa di masa lalu yang bisa menjadi inspirasi orang yang hidup di hari ini. Pahlawan Nasional tidak boleh diangkat karena intrik politik, ia harus diangkat berdasar bukti otentik dan sumber yang dapat dipercaya. Jika pemerintah terbukti mengangkat Pahlawan Nasional tidak sesuan dengan Undang-Undang yang berlaku, maka pemegang kebijakan itu bisa di bawah ke ranah hukum.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantani, Pengasuh dan Pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Kampung Cempaka, Desa Kresek, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.