JAKARTA | LIPUTAN9NEWS
Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) menyampaikan tujuh poin tuntutan atas penayangan Program Xpose Uncensored oleh Trans7 pada tanggal 13 Oktober 2025 tentang tuduhan perbudakan di Pesantren.
“Tayangan tersebut melukai hati dan perasaan kalangan santri dan keluarga besar Pondok Pesantren di Indonesia sehubungan dengan adanya fitnah, ujaran kebencian dan framing narasi yang tidak sesuai dengan realita (hoaks),” demikian bunyi keterangan RMI PBNU dikutip dari NU Online pada Selasa (15/10/2025).
Melalui keterangan tertulis itu, RMI PBNU memberikan sikap dan langkah tegas melalui tujuh poin.
- RMI PBNU mengecam keras tayangan dalam program Xpose Uncensored Trans7 yang mengandung fitnah, ujaran kebencian, berita hoaks dan mendiskreditkan para kiai dan keluarga besar pondok pesantren.
- RMI PBNU menuntut Trans7 untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka di seluruh jaringan trans media dalam waktu maksimal 1×24 jam dari hari ini 14 Oktober 2025.
- RMI PBNU meminta Tim dan Management Trans7 untuk melakukan Evaluasi dan Pemberhentian Sementara Program Xpose Uncensored Trans7 sebagai bentuk komitmen penayangan tontonan televisi yang mendidik.
- RMI PBNU bersama LPBHNU PBNU sedang mempertimbangkan untuk melakukan tindakan hukum terhadap Trans7.
- RMI PBNU juga mengimbau agar Trans7 dan seluruh media dalam membuat pemberitaan dan konten lainnya tetap berpegang teguh terhadap prinsip dan kode etik jurnalistik.
- RMI PBNU juga menyampaikan kepada seluruh santri dan keluarga besar pesantren yang akan menyalurkan aspirasinya atas peristiwa ini agar tetap mematuhi aturan yang berlaku.
- RMI PBNU sebagai sebagai rumah besar bagi pesantren di Indonesia, membela dan membersamai pesantren.
“Berdiri tegak bersama Pesantren dalam menjaga dan membela dari setiap Tindakan dan upaya yang merugikan Pondok Pesantren,” pungkas.
Senada, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Istimewa Yogyakarta Hilmy Muhammad mengecam keras tayangan salah satu program di Trans7 yang dianggap melecehkan pesantren dan memelintir peran kiai.
Menurutnya, media mestinya mempertimbangkan soal etika dan memberikan porsi yang seimbang ketika membuat narasi pemberitaan. Tidak justru membuat kesenjangan informasi.
“Jurnalis dan tim produksi yang membuat tayangan di Trans7 itu telah abai terhadap etika, merusak citra pesantren, dan melukai rasa hormat jutaan santri kepada gurunya. Ini melukai martabat pesantren,” katanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (14/10/2025).
Gus Hilmy, sapaan akrabnya, menjelaskan bahwa tuduhan bahwa pesantren adalah ruang feodal dan penuh penindasan mencerminkan ketidaktahuan terhadap sistem pendidikan pesantren. Kedisiplinan, penghormatan kepada kiai, dan tradisi khidmah di pesantren justru menjadi latihan moral dan sosial yang sangat berharga.
“Roan (kerja bakti), ngecor, nyapu, atau membantu kegiatan pondok itu bukan perbudakan. Itu bentuk latihan khidmah, pendidikan pelayanan, dan pengabdian kepada masyarakat. Santri belajar memberi tanpa pamrih, belajar amal jariyah, dan berlatih menjadi manusia yang berguna bagi banyak orang,” ujar salah satu Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta tersebut.
Gus Hilmy menegaskan, media juga perlu memahami realitas sosial pesantren secara lebih luas. Ribuan santri di Indonesia hidup dari beasiswa dan bantuan pesantren. Banyak di antara mereka datang tanpa membawa apa pun, lalu ditanggung penuh kebutuhan makannya, tempat tinggal, hingga pendidikannya oleh pesantren.
“Banyak santri yang datang ke pesantren hanya membawa pakaian di badan. Mereka belajar, makan, dan hidup di sana tanpa dipungut biaya. Pesantren menanggung semuanya. Kalau mau jujur, justru pesantrenlah yang menanggung beban sosial negara,” kata Gus Hilmy.
Selain itu, kata Gus Hilmy, pesantren juga menjadi pusat ekonomi masyarakat. Ratusan pedagang kecil, tukang jahit, petani, hingga pengrajin di sekitar pesantren menggantungkan penghidupan dari aktivitas santri dan kiai.
“Pesantren menghidupi lingkungannya. Warung, toko, petani, bahkan tukang becak di sekitar pondok, semua mendapat manfaat dari keberadaan pesantren. Jadi ketika pesantren dilecehkan, bukan hanya santri yang tersakiti, tapi juga masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sana,” sambungnya.
Gus Hilmy menilai bahwa jurnalis yang membuat tayangan tersebut gagal melihat makna pendidikan pesantren yang hakiki. Menurutnya, pesantren melatih santri untuk berdisiplin, menundukkan ego, dan menjadikan pengabdian sebagai jalan hidup. Nilai-nilai itu yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan bahan sensasi.
“Media semestinya menjadi jembatan pemahaman antara dunia pesantren dan masyarakat luas, bukan malah menyulut prasangka. Karena itu, jurnalis maupun tim produksi yang membuat tayangan itu harus bertanggung jawab,” kata anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut.
Gus Hilmy menegaskan, dunia pesantren tidak menolak kritik, tetapi menolak fitnah dan kesalahpahaman yang lahir dari ketidaktahuan. Ia mengingatkan bahwa pesantren selama ini menjadi penjaga akhlak bangsa dan sumber moralitas publik.
“Santri bisa sabar, tapi tidak akan diam jika kehormatannya diinjak. Pesantren tidak butuh pembelaan dengan amarah, tapi dengan ketegasan dan fakta. Wartawan yang keliru harus berani mengakui kesalahannya,” ungkap Gus Hilmy.
Gus Hilmy menambahkan, peristiwa ini harus menjadi pelajaran bersama bagi semua pihak: bagi insan media agar lebih berhati-hati dan berimbang dalam menulis serta menayangkan tentang dunia pesantren, bagi masyarakat agar tidak mudah percaya pada narasi yang menyesatkan, dan bagi pesantren agar terus membuka diri melalui dialog yang sehat.
“Kita semua belajar dari kejadian ini. Media, masyarakat, dan pesantren punya tanggung jawab yang sama: menjaga marwah, memperluas pemahaman, dan menumbuhkan saling percaya,” tutup Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
























