Depok, LIPUTAN 9 NEWS
“Ini jelas perilaku politik yang aneh dan tidak rasional dalam konteks negara demokratis. Ini memprihatinkan. Jangan-jangan kultur demokrasi sudah benar-benar luntur di kalangan elit kita. Hasrat untuk berkompetisi satu sama lain hilang. Semua takut bersuara berbeda. Politik kartel bekerja sepenuhnya.”
Ruang gerak partai politik sangat sempit dengan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah untuk bisa mengusung calon kepala daerah. Dengan aturan itu, umumnya partai tidak bisa leluasa mendorong kader terbaik mereka ikut kontestasi. Sebagian besar terpaksa mendukung kader partai lain atau tokoh non-partai. Kontestasi menjadi ambigu. Bukannya berlomba membesarkan kader sendiri, mereka justru harus ikut memperkuat branding kader partai lain yang nota bene adalah kompetitor.
Dengan nalar biasa, threshold 20 persen kursi atau 25 persen suara sah jelas merugikan umumnya partai politik. Ambang batas yang tinggi ini hanya menguntungkan satu atau dua partai besar saja.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menurunkan ambang batas itu secara langsung memberi peluang bagi partai-partai politik untuk bisa berkompetisi dalam Pilkada. Di Jakarta, misalnya, sebelumnya tidak ada satu pun partai yang bisa sendiri mengajukan calon. Keputusan MK No.60/PUU-XXII/2024 itu sekarang membuat 8 partai di DPRD Provinsi Jakarta bisa mengajukan sendiri pasangan calon gubernurnya. Ini adalah peluang politik yang sangat berharga bagi semua partai.
Namun yang mengherankan, kesempatan untuk mengusung calon dalam pemilihan kepala daerah rupanya tidak mendapatkan respons positif dari kebanyakan partai. Mereka justru terlihat panik dan memiliki tendensi melawan keputusan MK. Diberi kesempatan politik yang lebih luas kok malah menolak. Partai-partai bersepakat untuk membatasi kesempatan mereka sendiri mengajukan calon. Membingungkan.
Ini jelas perilaku politik yang aneh dan tidak rasional dalam konteks negara demokratis. Ini memprihatinkan. Jangan-jangan kultur demokrasi sudah benar-benar luntur di kalangan elit kita. Hasrat untuk berkompetisi satu sama lain hilang. Semua takut bersuara berbeda. Politik kartel bekerja sepenuhnya.
Ketika partai tidak lagi punya energi untuk berkompetisi, ketika para elit tidak lagi punya hasrat untuk saling koreksi, maka rakyatlah lagi yang harus turun ke jalan. Harus begitu. Mau bagaimana lagi?
Kita terpaksa harus menyanyikan lagi lagu-lagu perjuangan itu:
“Satukanlah dirimu semua
s’luruh rakyat senasib serasa
susah senang dirasa sama
bangun, bangunlah segera
Satukanlah berai jemarimu
kepalkanlah dan jadikan tinju
bara luka jadikan palu
‘tuk pukul lawan tak perlu meragu.”
Saidiman Ahmad, Alumnus Crawford School of Public Policy, Australian National University