Jakarta | LIPUTAN9NEWS
Nama Habib Luthfi bin Yahya tentu bukan nama asing bagi warga Nahdlatul Ulama (NU). Ia dikenal sebagai tokoh spiritual, ahli thariqah, dan juga ulama yang punya pengaruh di kalangan santri, habaib, dan elite nasional. Tapi belakangan, gelombang wacana baru mulai muncul yang secara perlahan menggoyang posisi dominan para habib, termasuk Habib Luthfi sendiri.
Salah satu pemicu munculnya wacana ini adalah kajian dari Kiai Imaduddin Utsman Al-Bantani yang menggelegar. Dalam penelitiannya, Kiai Imaduddin menyatakan bahwa nasab para habaib dari klan Ba’alawi tidak tersambung sampai ke Rasulullah SAW. Kajian ini tentu bukan sekadar soal silsilah. Ia punya dampak besar: meruntuhkan klaim otoritas spiritual yang selama ini dipegang oleh keturunan Nabi.
Di tengah polemik itu, Habib Luthfi menggagas organisasi baru bernama JATMA Aswaja (Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah An-Nahdliyyah Aswaja). Organisasi ini hadir dengan semangat melestarikan nilai-nilai spiritual Ahlussunnah wal Jama’ah dan membumikan thariqah dalam kehidupan berbangsa. Tapi, pertanyaannya: masihkah warga NU mau menerima model spiritualitas yang ditawarkan habib Luthfi? Mari kita urai.
Warga NU Lebih Kritis
Dulu, mungkin banyak santri yang manut saja ketika tokoh bergelar habib bicara. Tapi sekarang, generasi NU muda mulai berpikir lebih kritis. Mereka tak segan mempertanyakan sanad keilmuan, kontribusi sosial, bahkan asal-usul nasab tokoh agama.
Beberapa bahkan mulai menolak hegemoni spiritual yang hanya mengandalkan status “dzurriyah Nabi”. Ini terjadi bukan karena kebencian, tapi karena munculnya kesadaran baru: bahwa otoritas dalam Islam mestinya dibangun atas dasar ilmu, bukan semata-mata darah.
Tak heran, kajian Kiai Imaduddin yang dulu dianggap terlalu berani, kini justru jadi rujukan di banyak diskusi-diskusi informal warga NU akar rumput. Bahkan ada yang menyebut ini sebagai bentuk “perlawanan kultural” terhadap dominasi habib di ruang-ruang keagamaan.
Nah, di sinilah JATMA Aswaja diuji. Habib Luthfi bukan orang sembarangan. Ia dihormati, punya sanad thariqah, dan dikenal sebagai tokoh perekat bangsa. Tapi di saat yang sama, posisinya sedang tidak “aman”. Ada tuduhan pembelokan sejarah NU, bahkan isu pemalsuan makam leluhur yang menyerempet wibawanya.
Bila JATMA Aswaja ingin diterima oleh warga NU saat ini, ia harus bisa menjawab keresahan publik. Ia tak bisa hanya mengandalkan nama besar Habib Luthfi. JATMA harus tampil sebagai wadah baru yang inklusif, membuka ruang dialog, dan berani bersikap transparan soal sejarah, nasab, maupun kontribusinya terhadap umat.
Kenapa? Karena yang sedang terjadi saat ini adalah geserannya arah. NU mulai masuk fase di mana spiritualitas tidak lagi identik dengan garis keturunan. NU mulai menata ulang peta otoritasnya: siapa yang didengar bukan hanya yang berdarah Arab, tapi yang punya kontribusi nyata dan punya kompetensi keilmuan.
Kalau JATMA Aswaja bisa beradaptasi dengan realitas ini—bukan melawan arusnya—bisa jadi ia akan punya tempat terhormat di hati warga NU. Tapi jika masih bergantung pada glorifikasi simbolik, maka bukan tidak mungkin JATMA akan terpinggirkan, bahkan layu sebelum sempat berkembang.
Karena pada akhirnya, warga NU adalah masyarakat yang setia pada tradisi, tapi tak pernah lelah berpikir. Dan di antara keduanya, NU selalu memilih: yang lebih maslahat bagi umat.
Wallahu A’lam Bishowab.
Tentang Penulis: Yusuf Mars adalah Magister Ilmu Komunukasi Politik, Founder @PadasukaTV, Channel Youtube Sosial Politik dan Keagamaan dan Inisiator Indonesia Terang. Pemerhati Komunikasi politik dan kebijakan publik.